Namaku Melody Bimantara, umurku baru dua puluh dua tahun, tapi sudah menjadi Manager sebuah hotel bintang lima milik keluarga.
Yang membuat aku sedih dan hampa adalah tuntutan orang tua yang memaksa aku mencari lelaki yang bisa dinikahi.
Kemana aku harus mencari laki-laki yang baik, setia dan mencintaiku? sedangkan para lelaki akan mundur jika aku bilang mereka harus "nyentana"..
Tolonglah aku apa yang harus aku perbuat??
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayumi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DION ALAKLO.
"Nyonya Melody....."
Aku hampir meloncat melihat bibi keluar dari kegelapan. Bibi ada-ada saja. Rumah ini besar dan pohon hias banyak, lampu semua dipadamkan. Tentu membuat aku takut.
"Bibi bikin kaget saja, aku kira ada Leak (manusia jadi-jadian di Bali) Dimana Arunakha dan yang lainnya, bi?" tanyaku sambil menenangkan diri.
"Mereka semua keluar menghindar dari teriakan nyonya Melody yang nyaring hehe.."
"Elehh...mana mungkin, mereka paling sekongkol untuk menyerangku."
"Bibi rasa tuan Arunakha takut bercerai. Karena tidak ada yang mengirim barang kehotel. Dulu sering bertengkar gara-gara mereka tidak mau capek."
"Sekarang gampang cari orang untuk menangani masalah supplier, asal mau keluar uang." kataku mulai menyalakan lampu di teras.
"Tidak ada yang betah, dulu sering ada pekerja tapi selalu mentok dengan gaji. Terlalu kecil dan kerjaan berat." ucap bibi mengajak aku duduk di teras.
"Begitulah kalau memakai orang. Coba kalau mereka bertiga saling bantu untuk mengerjakan ini semua, bisa selesai dengan cepat."
"Betul nyonya, mereka maunya hidup mewah tapi malas bekerja. Kelihatan kaya tapi tersiksa, tuan Arunakha tidak berani bergerak atau membantah nyonya Ajeng."
"Aku tidak mau mencampuri urusan mereka, aku mau minta cerai dulu. Disini tidak ada kedamaian, selalu ribut."
"Kalau nyonya pergi saya ikut pergi. Nyonya Ajeng sudah tiga kali tidak bayar gaji saya."
"Waduhh.... aku tidak nyangka."
"Begitulah nyonya, saya juga tidak mengerti kemana dibawa uangnya, padahal sudah ngirit."
"Lampu semua dipadamkan. Gelap sekali seperti nyepi."
"Supaya ngirit dan tidak bisa melihat." sahut bibi sambil memasukan kue ke mulutnya.
"Ada-ada saja, jangan terlalu pelit kepada diri sendiri nanti malah sakit."
"Nyonya Ajeng selalu begitu, terlalu banyak aturan, toh uang tidak dibawa mati."
"Uang tidak dibawa mati, tapi butuh uang untuk biaya Kremasi. Paling kecil seratus jutalah.."
"Benar nyonya, semoga saya punya uang. Ternyata uang untuk mati harus dipikirkan."
"Makanya jangan mati dulu sebelum punya uang, hehe..." kata ku membuat bibi termenung.
"Bibi tidak ngantuk? Jangan begadang bi. Tadi aku sudah mau tidur, ada saja yang ganggu."
"Saya tadi juga sudah tidur, nyonya. Setelah mendengar ribut-ribut saya jadi bangun tak bisa tidur lagi. Nyonya Ajeng memang sering ribut semenjak suaminya meninggal, stres kali."
"Sudah lama suaminya meninggal?"
"Ada setahun yang lalu, mungkin dicariin d*kun oleh nyonya. Suaminya itu ganteng dan ketahuan selingkuh. Tiap hari tengkar sampai mau cerai. Belum sempat cerai perut suaminya busuk dan meninggal."
"Waduhhh...aku jadi takut. Berarti bu Ajeng senang ke d*kun ya."
"Hoby..saya pernah di ajak ked*kun. Sekarang nyonya pasti tidak dibunuh karena masih di perlukan, tapi kalau dia sudah di rugikan, nyonya Ajeng akan membuat nona lewat."
"Ahhh...takut, aku mau ke kamar dulu."
"Baik nyonya."
Dengan perasaan sedih aku masuk ke dalam kamar. Baru sebulan Arunakha di buang oleh Belinda, Arunakha kini sudah kembali kepada Belinda.
Dimata bu Ajeng Belinda tetap baik, mereka silau harta padahal sudah jelas Belinda berkhianat.
Aku mematikan lampu kamar dan mengganti dengan lampu tidur. Kamar menjadi temaram.
Badan yang lelah membuat terlelap.
*****
Tiga hari sudah Arunakha, bu Ajeng dan Diah tidak terlihat di rumah. Mereka tidak menghubungiku padahal aku sudah punya hape.
Mereka pasti sedang bersenang-senang, aku tidak masalah. Asal Arunakha tidak menikah lagi sebelum aku cerai.
Sore ini aku kembali menyusuri pasar tradisional, membeli semua kebutuhan suplier. Aku melihat Dion di tokonya. Dia bos besar yang biasa menjual lobster ke luar negeri.
"Dion..." panggil ku setengah berlari.
"Hai kamu, sini aku kasi lobster." katanya senang.
Aku buru-buru mendekat. Disini khusus dijual ikan-ikan segar yang diperuntukan untuk komsumsi hotel, villa, restoran.
"Tumben jualan biasanya anak buah yang jaga." ucapku sambil memilih lobster.
"Aku sengaja datang nunggu kamu." ucapnya tersenyum tipis. Aku nyengir kuda.
Dion contoh anak muda masa kini, sukses dalam bisnis lobster. Aku kagum dengan sepak terjangnya. Dia baik tidak sombong dan sopan.
"Tumben datang sore, biasanya magrib baru nongol."
"Biasanya selesai belanja di tempat lain aku baru kesini. Sekarang aku duluan kesini, karena kamu ada di sini. Aura mu menarik minatku, seperti magnet." candaku sambil tertawa. Pedagang lain ikut tersenyum mendengar candaanku.
"Kamu juga sangat menarik, gimana kalau nanti malam kita ke beach club?"
Aku tersenyum dan berkata,
"Aku sudah punya suami dan kasta ku tinggi. Tidak mungkin aku menerima ajakan orang lain."
Dia tersenyum geli karena mengira aku bercanda. Kemudian dia mengambil hampers dan memberikan padaku.
"Untuk suami dan kastamu, aku sudah tau siapa kamu." katanya mengedipkan sebelah matanya.
"Aku tidak peduli kau tau siapa aku, bagiku hampers mu telah menarik hatiku. Trimakasih Dion besok-besok aku minta hampers yang banyak sebanyak cerita hidupku."
"Kau tau, aku sangat ingin melindungimu tapi aku tidak sanggup membawamu terbang ke langit."
"Rayuan pulau kelapa. Aku mau belanja keliling, tolong suruh anak buahmu bawa ke mobil."
"Aku akan menemanimu." sahutnya.
Kamipun pergi mencari segala kebutuhan hotel. Aku mencari dua orang yang bisa membantu bawa barang ke mobil. Dion humoris membuat aku bersemangat.
Jarang sekali aku tertawa lepas, karena selama ini yang aku ajak bergaul adalah orang toxic.
"Dion, aku sudah selesai belanja. Trimakasih atas bantuanmu, kau baik dan aku senang." ucapku sambil menaruh belanjaan di mobil box.
"Apakah aku bermanfaat untukmu?"
"Apa maksudmu? Semenjak aku berlangganan denganmu, aku menjadi temanmu. Aku membeli barangmu, tapi aku tidak pernah memanfaatkan kamu. Mana mungkin gadis miskin berkasta rendah berani kepadamu."
"Apakah kau masih seorang gadis? Kau mengaku sudah menikah."
Aku tertegun, aku lupa bohong. Makanya aku tidak senang bohong karena pelupa.
"Aku sudah bersuami, tadi aku salah ucap. Otak ku baru berpikir kalau kamu pasti tau tentangku dan pernikahanku."
"Maksudmu?" tanya Dion tidak mengerti. Ia memegang pintu mobil supaya aku tidak menutup kaca mobil.
"Arunakha dari dulu berlangganan lobster denganmu, kamu pasti juga diundang saat resepsi pernikahan yang mewah, yang tidak bisa dilupakan seumur hidup." ucap ku sinis.
Aku tiba-tiba merasa sensitif dan terluka. Seolah dia menertawakan pernikahanku.
"Apa salahku?" tanyanya ketika aku naik ke mobil dengan wajah kaku.
Semenjak Arunakha dan keluarganya suka menghina dan memaki ku, perasaan ku jadi cepat sensi.
"Kamu tidak salah Dion, situasi yang salah. Aku baru sadar selama ini kamu pasti menertawakan ku."
"Melody kau salah, aku memang ada pada saat pernikahanmu yang palsu itu, tapi...."
"Drrruummm....."
Peduli set4n, aku menghidupkan mesin mobil dan meluncur keluar dari parkiran.
"Melodyy....uuhhh...."
Aku melihat dari kaca spion, kekecewaan dari wajah Dion. Dia menatap ku bengong. Mungkin tidak menyangka aku kabur begitu saja, tentu dia berharap kata-kata manis setelah dia membantuku belanja ngubek-ngubek pasar.
Siapa suruh ikut, Dion hanya teman di pasar tidak lebih. Jangan sampai aku tergoda dengan pemuda lain. Masalah Arunakha belum tuntas.
Sampai di rumah aku mulai menyiangi sayuran dibantu oleh bibi.
"Bi, ada nasi bungkus dan kue. Nanti buah bisa di jus untuk tuan." ucapku ketika bibi sudah selesai membantu ku.
"Terimakasih nyonya, tapi darimana dapat uang, apa nona korupsi seperti kata nona Diah?"
"Buat apa korupsi, banyak teman di pasar mereka semua baik. Lihat ini bi, aku dikasi oleh Dion."
"Ya ampun....ini masakan lobster yang sangat enak. Apa Dion itu pacar nyonya?"
"Uss...tidak bi, dia teman yang baik dan tidak sombong seperti Arunakha."
"Apa orangnya ganteng?"
"Begitulah, yang penting bisa di ajak berteman tidak egois dan penipu." sahutku sambil menyerahkan hampers itu ke bibi.
"Apa itu?" aku kaget ketika melihat Arunakha sudah di belakang ku. Mereka akhirnya datang.
*****
sukses selalu ceritamu
tunggu karma mu kalian berdua !!😤