"Tolong maafkan aku waktu itu. Aku nggak tahu bakal kayak gini jadinya," ucap Haifa dengan suara pelan, takut menghadapi tatapan tajam Nathan. Matanya menunduk, tak sanggup menatap wajah pemuda di depannya.
Nathan bersandar dengan tatapan tajam yang menusuk. "Kenapa lo besoknya nggak jenguk gue? Gue sakit, dan lo nggak ada jenguk sama sekali setelah hari itu," ucapnya dingin, membuat Haifa semakin gugup.
Haifa menelan ludah, tangannya meremas ujung pasmina cokelat yang dikenakannya. "Plis maafkan aku... aku waktu itu lagi di luar kota. Aku beneran mau jenguk kamu ke rumah sakit setelah itu, tapi... kamunya udah nggak ada di sana," jawabnya dengan suara gemetar, penuh rasa bersalah.
mau kisah selengkapnya? ayo buruan bacaa!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon syah_naz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
kabar yg memilukan.
Di ruang tunggu rumah sakit, waktu terasa berjalan lambat bagi Gus Zayn dan Ummi Shofiah.
Kecemasan menyelimuti mereka, sementara Haifa masih terbaring di ruang UGD. Wajah Ummi Shofiah sembab karena tangis yang terus mengalir, sementara Gus Zayn berusaha tetap tegar meski hatinya turut dirundung kepedihan.
Setelah satu jam penuh penantian yang mencekam, seorang dokter akhirnya keluar dari ruang perawatan. "Ibu Haifa?" panggilnya sopan.
Ummi Shofiah segera berdiri, suara bergetar oleh harap dan takut. "Dok... bagaimana keadaan anak saya?" tanyanya penuh isak tangis.
Dokter menarik napas panjang sebelum menjawab.
"Haifa mengalami pendarahan cukup serius di bagian kerangka kepala depan. Kami telah melakukan penanganan, namun ada kemungkinan ingatannya terganggu untuk beberapa bulan. Dengan terapi intensif, memori tersebut dapat pulih."
Tangis Ummi Shofiah kembali pecah. "Ya Allah, Ifa..." isaknya, tubuhnya gemetar dalam pelukan Gus Zayn.
"Tenang, Mi," bisik Gus Zayn, meski suaranya sendiri bergetar. "Haifa pasti akan baik-baik saja. Dia kuat."
Dokter menambahkan, "Kami sudah memindahkan Haifa ke ruang perawatan VIP. tapi ini belum pasti juga ,karena sekarang Haifa mengalami koma,jadi kami tidak bisa mengambil keputusan sebelum mbak Haifa sadar."
"yaa Allaah ifaa... " ucap ummi shofiah yg kehabisan kata-kata.
Dengan langkah berat, mereka mengikuti dokter ke ruang inap VIP.
Di sana, Haifa terbaring dengan berbagai alat medis yang terhubung ke tubuhnya, membuat pemandangan semakin memilukan.
Ummi Shofiah terus berdoa di samping putrinya, tangannya menggenggam erat tangan Haifa yang dingin.
Gus Zayn yang merasa tanggung jawab besar terpikul di pundaknya karena Abi hamzah sedang keluar kota,dia pun bertanya dengan nada khawatir, "Dok, apakah ada kondisi yang lebih serius?"
Dokter menatapnya prihatin. "Untuk saat ini Haifa masih tidak sadarkan diri karena efek bius yang kuat dan mbak Haifa mengalami koma. Kami akan segera melanjutkan proses penyembuhan setelah mbak Haifa siuman. ."
Gus Zayn terdiam sejenak, berusaha mencerna kenyataan pahit tersebut. "Saya mengerti," ucapnya akhirnya dengan nada berat.
Dokter melanjutkan, "Sebagai seorang influencer terkenal, saya sarankan Mbak Haifa tidak banyak berinteraksi dengan orang luar dulu agar fokus pada pemulihan ."
"Terima kasih, Dok," ucap Gus Zayn, menahan emosi yang bergemuruh dalam dirinya.
Di dalam ruangan, suara alat medis menjadi saksi dari doa-doa yang tak henti dipanjatkan Ummi Shofiah.
Gus Zayn berdiri di sampingnya, berjanji dalam hati bahwa apa pun yang terjadi, ia akan melindungi Haifa dan memastikan ia pulih sepenuhnya.
......................
Di keheningan malam yang dipenuhi suara alat medis dari kamar Haifa, ponsel di saku Gus Zayn tiba-tiba berdering memecah suasana. Ia melangkah keluar ruangan dengan napas berat, lalu mengangkat telepon itu.
"Halo, assalamu’alaikum," ucapnya dengan suara parau.
Di ujung telepon, terdengar suara ceria Nathan. "Masya Allah, waalaikum salam Ustadz Zayn... eh, maksudnya Gus Zayn," canda Nathan dengan nada santai.
Gus Zayn menghela napas panjang. "Hem, ada apa, Nath? Gue nggak ada waktu buat bercanda sekarang," ucapnya datar namun penuh beban.
Nathan yang tak menyadari situasi langsung merespons, "Eh, maaf bro. Lo kenapa? Suara lo kok sedih banget?"
Tanpa sadar, pertahanan emosinya runtuh. "Haifa jatuh dari tangga... Sekarang dia di rumah sakit," ujar Gus Zayn, suara bergetar, air mata yang sejak tadi tertahan akhirnya mengalir juga.
Di seberang, Nathan terdiam sejenak sebelum berteriak, "Serius, bro?! Gue ke sana sekarang!" Nathan segera menutup telepon tanpa menunggu jawaban.
Gus Zayn menatap layar ponselnya yang kini gelap. "Astagfirullah... ngapain gue kasih tahu Nathan," gumamnya penuh penyesalan. Ia meremas ponselnya dengan kesal, lalu duduk termenung di kursi depan kamar inap Haifa.
Tatapannya kosong, pikirannya berkecamuk. "Harusnya gue bisa lebih kuat," bisiknya pada dirinya sendiri.
Namun di dalam hati, ia tahu bahwa Nathan adalah salah satu orang yang peduli dan mungkin bisa sedikit meringankan beban yang ia rasakan.
Di balik semua kerumitan ini, hanya satu doa yang terus menggema di benaknya — permohonan agar Haifa segera pulih dan kembali menjadi gadis ceria seperti sedia kala.
Gus Zayn membuka pintu kamar dengan hati yang berat melihat Ummi Shofiah duduk bersandar di sudut ruangan. Wajahnya menampakkan kelelahan setelah perjalanan panjang dari Kalimantan.
Sejak tiba, Ummi belum sempat beristirahat ataupun makan.
"Ummi," panggil Zayn lembut, namun sarat dengan keprihatinan. "Lebih baik Ummi pulang saja sekarang, biar Zayn yang jaga Ifa di sini."
Ummi Shofiah mendongak, mencoba tersenyum meski lelah masih jelas tergambar di wajahnya. "Kamu serius, Nak? Nanti kamu sendirian, nggak ada yang bantu."
Zayn mengangguk tegas. "Tenang saja, Mi. Jangan khawatir. Zayn sanggup jaga Ifa. Yang penting Ummi istirahat." Ada ketulusan dalam setiap katanya yang membuat Ummi tersentuh.
Ummi Shofiah memegang lengan Zayn, matanya berkaca-kaca. "Terima kasih, Nak. Ummi percaya sama kamu."
"Iya, Ummi. Zayn akan jaga Ifa dengan baik."
Sebelum berlalu, Ummi Shofiah berhenti sejenak dan bertanya pelan, seolah memastikan sesuatu. "Kamu sudah tahu, kan, siapa Haifa sekarang?"
Zayn terdiam sejenak, menelan perasaan campur aduk yang menyesakkan dada. "Iya, Ummi. Zayn sudah tahu. Abiy Ibrahim cerita waktu di pondok."
Suaranya terdengar berat saat mengakui kenyataan bahwa Haifa adalah saudari sepersusuannya.
"Alhamdulillah, kalau begitu Ummi lega." Ummi Shofiah menepuk bahu Zayn dengan penuh kasih sayang. "Ummi tinggal dulu ya, Nak. Jaga dirimu juga."
"InsyaAllah, Mi." Zayn tersenyum tipis, berusaha menyembunyikan gejolak di hatinya.
"Assalamu'alaikum," pamit Ummi Shofiah dengan langkah perlahan keluar kamar.
"Wa’alaikumussalam." Zayn menjawab dengan suara pelan, matanya masih tertuju ke arah pintu yang tertutup perlahan.
Kesunyian menyelimuti ruangan, menyisakan Zayn dengan pikirannya.
Kenyataan bahwa Haifa adalah adiknya kini membuatnya harus mengubur perasaan yang mungkin sebelumnya tumbuh tanpa ia sadari.