Kinan hanyalah gadis biasa, dirinya mengadu nasib pergi ke kota bersama temannya setelah mendapatkan informasi kalau ada yang membutuhkan pekerjaan sebagai asisten rumah tangga, demi kebutuhan dan juga ingin mengurangi beban keluarga Kinan akhirnya pergi ke kota jakarta, Di sana Kinan harus berhadapan dengan Daniel pria tampan yang bahkan tidak pernah terpikirkan dalam hidupnya. Mampukah Kinan bertahan di jakarta atau memilih pulang dan melanjutkan sekolah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon II, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kami Dekat, Tapi Terasa Jauh
Di tengah-tengah proses operasi Pak Arman, Keluarga Daniel datang di susul keluarga pak Arman dan sinta. Sedangkan keluarga pak Teo mungkin akan tiba esok hari karena jarak dari Surabaya dan Bogor akan memakan waktu. Singkatnya subuh keluarga Pak Teo akan tiba.
Daniel menangis dalam pelukan kerabatnya. Semua terpukul dengan kejadian di mana pak Teo harus kehilangan nyawa. Bergantian ke kamar jenazah untuk melihat kondisi Pak Teo, Keluarga Sinta yang ada di antara kerumunan tak kuasa menahan tangis, Sinta gadis baik yang di banggakan kini terbujur kaku di lemari pendingin. Malam itu juga jenazah Sinta langsung di bawa pulang untuk di makamkan. Pihak keluarga Pak Arman meminta maaf sebesar-besarnya kepada ayah Sinta, Memohon ampun berharap tidak membawa ke jalur hukum, Di tambah Pak Arman juga tengah koma.
Ayah Sinta berusaha menerima kenyataan, Tidak akan membawa jalur hukum karena dirinya tau ini sudah takdir. Pria matang itu pamit pulang dengan derai air mata memeluk tubuh putrinya yang terasa kaku. Dengan menggunakan mobil ambulans Sinta di bawa pergi meninggalkan RSUD.
Pak Danu sendiri di minta Daniel untuk menemani Kinan di ruang perawatan, berharap dengan adanya sang Ayah mertua, Kinan bisa lebih tenang.
"Bapak." Kinan histeris melihat Pak Danu masuk kedalam kamar perawatan.
"Neng," Pak Danu segera mendekati ranjang dan memeluk erat tubuh Kinan. "Alhamdulillah kamu ga kenapa-kenapa." Pak Danu merasa bersyukur melihat Kinan sehat tanpa kekurangan satu apapun.
"Sinta, Pak, Sinta," Kinan jelas terpukul. "Ayah meninggal Pak,"
"Istighfar Neng, ini takdir Allah," Pak Danu menenangkan Kinan yang terguncang, Kehilangan dua orang yang berarti dalam hidupnya.
Bi Teti dan Pak Saleh hanya diam menyaksikan bagaimana anak dan bapak itu menangis, Pukul 2 malam semua orang sibuk di rumah sakit, keluarga sebagian pulang untuk membawa jenazah pak Teo ke bandung, Sisanya menunggu di rumah sakit.
Tepat azan subuh, Dea selesai di operasi, kondisinya masih kritis dan kembali ke ruang ICU. Keluarga senantiasa menunggu di ambang pintu sampai mata hari mulai menyingsing.
Kinan yang masih lemas terlelap di ranjang, Pak Danu, Bi Teti dan pak Saleh mengisi perut bertiga saja, Daniel sendiri masih bersama keluarganya di ruang ICU. Suami istri itu berdekatan tapi terasa jauh.
"Assalamualaikum, Daniel."
Seseorang di sambungan telepon berbicara. Semua keluarga mendengarkan.
"Waalikumsalam, Om,"
"Om sudah sampai rumah, Ayah kamu-
Suara pria di sebrang sana merintih sedih, sesenggukan menhan tangis dengan suara bergetar.
"Ayah kamu mau Om bawa ke Surabaya, Kita makamkan di sana ya."
Daniel menangis begitu juga keluarga, keadaan dirinya tidak bisa melihat jenazah sang ayah untuk yang terakhir dan tidak bisa menemani sampai liang lahat membuatnya tersiksa, tapi bagaimana Adat di keluarganya kalau istri tengah hamil suami istri tidak boleh melihat jenazah tanpa terkecuali. Daniel meraung mengingat hal itu.
"Daniel harus bagaimana Om. Daniel bingung."
"Daniel di sana saja, kami mengerti kamu tidak bisa menghantar Ayah mu, Sabar Nak, kuatkan dirimu, In syaallah Ayah sudah bahagia di sana."
Daniel tak kuasa menahan tangis, dirinya memberikan ponsel ke lain kerabat.
Dokter Nendi baru datang menemui keluarga di ruang ICU. Daniel di minta keluarga untuk tenang dan lebih tegar, apalagi dokter Nendi semakin mendekati mereka.
"Pak Daniel ada yang ingin saya sampaikan."
Daniel beserta keluarga bangkit, ber sejajar dengan Dokter Nendi.
"Apa apa Dokter?" Daniel nampak putus asa, matanya bengkak dan memerah, terus menangis dan tak tidur membuat penampilannya menyedihkan.
"Alhamdulillah, Kondisi dari Bu Tata, Dea, dan Tamara mereka sudah melewati masa kritis, Jadi bisa di pindah ke ruang perawatan."
"Alhamdulillah." Serentak keluarga mengucap syukur, Rasa bahagia terukir jelas di wajah Daniel dan para saudaranya, Menangis lega karena sedikit beban di hati mereka perlahan menghilang.
"Kalau misalkan kita bawa pulang untuk di lanjutkan di bandung bagaimana dokter?" Tante Daniel yang lain bersuara, Mengingat jika harus terus di Bogor mereka akan sedikit kewalahan, di tambah keluarga besar ada di bandung mungkin juga bisa bergantian ke rumah sakit berbagi tugas juga karena akan mengadakan tahlilan Pak Teo.
"Boleh, Mungkin besok, Pak Arman dan Bu Tari juga bisa di lanjut di bandung, Nanti boleh kasih tau saya rumah sakit mana yang mau di tuju biar kami urus." Lanjut Dokter Nendi menjelaskan.
Salah satu kerabat Daniel segera memberi rekomendasi Rumah sakit di bandung untuk melanjutkan perawatan termasuk Bu Tari dan Pak Arman yang masih dalam keadaan Koma.
Siang harinya, Dokter Nendi memberi kabar kalau rumah sakit yang di maksud sudah memberi jawaban dan siap menerima para pasien juga akan menyiapkan ruangan VVIP demi kenyamanan keluarga.
"Daniel," Tante Vera, yang tidak lain Kakak dari Pak Teo. duduk di samping Daniel yang masih terlihat kacau, seharian dirinya masih belum mengisi perut, hanya berganti baju tanpa mandi yang di lakukannya. Untuk itu Tante Vera meminta Daniel mengisi perut hasilnya hanya gelengan kepala.
"Kamu harus makan."
"Ayah, Gimana Tante?" Daniel mengalihkan pembicaraan, dirinya enggan menanyakan proses pemakaman sang ayah karena hatinya tak kuasa, Tadi om nya menelepon mengabarkan kalau pemakaman akan di langsungkan. Memberi ide apakah Daniel mau melakukan sambungan video call. Daniel menolak dan pergi entah kemana. Tak kuat rasanya harus melihat proses itu.
"Sudah, Semua sudah selesai," Tante Vera kembali berderai air mata. Berusaha kuat untuk Daniel. Dirinya di minta untuk tinggal menemani Daniel, di Surabaya keluarga besar terhitung berdekatan jadi tidak harus bersusah payah saling menunggu.
Entah kenapa, Daniel merasakan lega di hatinya, seperti beben berat berangsur menghilang.
"Kamu harus kuat, masih ada bunda yang harus kamu jaga, kita doakan semoga bunda cepat sadar, bisa melewati masa komanya, Mudah-mudahan nanti kita bawa ke bandung, bunda bisa sadar." Tante Vera memeluk Daniel yang kembali menangis, Saling menguatkan di saat keadaan masih tidak baik-baik saja.
Sementara itu Kinan terlihat lebih baik, dirinya sedari tadi merengek meminta untuk ke ruang ICU. Pak Danu berusaha menahan tapi Kinan memaksa, setelah meminta saran dari suster Kinan di perbolehkan meninggalkan ruang perawatan menggunakan kursi roda. Dengan di bantu bi Teti, Kinan menuju ruang ICU. Pak Danu tak menghantar lantaran harus melaksanakan sholat ashar.
.
Di parkiran rumah sakit, satu mobil hitam terparkir, Dua orang turun dari dalam mobil segera berjalan setengah berlari tepatnya masuk ke rumah sakit. Wanita cantik dengan wajah pucat penuh kekhawatiran bertanya kepada bagian pendaftaran, menanyakan Pasian yang di maksud.
"Ada di ruang ICU."
"Terimakasih, " Setelah itu keduanya bergegas menuju ruang ICU.
"Pelanlah sedikit jalannya." Laki-laki tampan yang menemaninya itu merengek, pasalnya sulit mengimbangi langkah lebar si gadis.
"Ayo Daren, Daniel pasti sedang bersedih." Wajahnya tambah murung bahkan air mata terus mengucur mengaliri pipinya.
"Dia tidak sendiri, ada keluarga dan istrinya."
Tapi si gadis tidak menggubris, Kakinya terus berjalan sampai di ruang ICU. Terlihat ada Daniel di sana sendirian saja. Sebenernya ada keluarganya di sana tapi Daniel memilih duduk seorang diri.
"Daniel?"
Daniel melirik arah suara, Ia bangkit melihat si gadis berlari menghampiri.
"Sarah." Ucap Daniel pelan.
Sarah berlari kemudian memeluk Daniel erat.
"Maafkan, aku baru datang, maafkan aku." Ucap Sarah, terdengar si gadis terisak.
Daniel membalas pelukan Sarah karena memang dirinya begitu membutuhkan pelukan dari sang kekasih. Keluarga yang melihat hanya diam menyaksikan, mereka sesekali berbisik bingung dengan pemandangan di depan mereka, Daniel sudah menikah lantas kenapa masih menerima pelukan dari wanita lain.
Di waktu bersamaan, Kinan sampai, Dirinya mematung melihat Daniel dan Sarah tengah berpelukan. Wajahnya kaku, matanya kosong dan kedua tangan bermain karena bingung. Dadanya terasa sesak melihat Daniel nampak nyaman di peluk oleh Sarah.
"Bi, Kita balik lagi aja." Pinta Kinan sembari mengusap air mata.
"Kenapa Neng? Katanya mau ketemu sama suami neng, Den Daniel." Tanya Bi Teti, Merasa aneh dengan sikap Kinan.
"Ga papa, Kinan pusing bi." Dalih Kinan yang jelas di kabulkan bi Teti.
Daren yang tidak jauh dari Kinan melihat sikap gadis kecil itu aneh, apalagi dirinya meminta pergi tak melanjutkan perjalanan.
"Oh jadi ini istrinya si Daniel, dia bahkan masih anak kecil," Daren bergumam heran. Menjadi penasaran kenapa Daniel bisa menikah dengan gadis belia.
"Kurang apa Sarah, dia bahkan tidak sebanding dengan gadis itu. " Daren terus memperhatikan kepergian Kinan sampai tak terlihat lagi.
Gila, Daniel seleranya.