Binar jatuh cinta pada kakak kelasnya sudah sangat lama, namun ketika ia merasa cintanya mulai terbalas, ada saja tingkah lelaki itu yang membuatnya naik darah atau bahkan mempertanyakan kembali perasaan itu.
Walau mereka pada kenyataannya kembali dekat, entah kenapa ia merasa bahwa Cakra tetap menjaga jarak darinya, hingga ia bertanya dan terus bertanya ..., Apa benar Cakrawala juga merasakan perasaan yang sama dengannya?
"Jika pada awalnya kita hanya dua orang asing yang bukan siapa-siapa, apa salahnya kembali ke awal dimana semua cukup baik dengan itu saja?"
Haruskah Binar bertahan demi membayar penantian? Atau menyerah dan menerima keadaan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon And_waeyo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 8. Salah Paham Aneh
"Cak, lo biasanya bawa air minun deh. Minta dong dah haus nih, siapa tahu kan kecipratan ganteng lo." Garuda langsung mengambil botol minum milik Cakra dari tas lelaki itu tanpa persetujuan si empunya botol.
"Lah anjir? Beli sendiri dong!"
"Cuma dikit doang, jangan pelit!" Garuda sudah berlari sambil membawa botol minum milik lelaki itu.
"Sampai lo minum air dari sana, gue cincang lo jadi empat puluh delapan bagian!" Cakra mengejar dengan kecepatan super yang ia punya. Ia bahkan sampai menaiki bangku agar bisa lebih cepat mengejar Garuda.
Ketika Cakra hendak melompat turun untuk menangkap lelaki itu, pendaratan yang ia pikir akan mulus malah sebaliknya. Garuda tiba-tiba berhenti berlari, dengan wajah blank menatap padanya... dan begitu saja, ia menimpa lelaki itu dengan posisi yang super awkward karena ia berada di atas tubuh Garuda.
"Permi---KAK CAKRA!"
Cakra refleks menoleh ke arah sumber suara. Kedua matanya membulat melihat Binar nampak syok sambil menatap ke arahnya. Cakra sadar, ia buru-buru menyingkir dari atas Garuda yang merintih kesakitan sembari mengumpat karena tertimpanya.
"Gue tahu lo suka banget sama gue, Cak. Tapi nggak gini juga, gue masih normal," canda Garuda tak tahu situasi lalu mengubah posisi jadi duduk.
"Hah?" Binar mengerjap, ekspresinya berubah tampak kecewa.
"Binar, semua nggak seperti yang lo dengar dan lihat!" Cakra menatap, ia sudah berdiri.
Binar menggelengkan kepala dengan ekspresi tak menyangka. Kemudian berbalik dan berlari. Cakra yang melihat itu jadi mengumpat kecil, berlari untuk mengejar Binar. Kata Pelangi, Binar itu masih polos-polos goblok.
"Bi, Binar! Dengerin gue dulu!"
"Aku nggak nyangka Kak Cakra gitu!"
Keduanya yang berlarian di koridor menjadi perhatian beberapa orang yang lewat. Cakra merutuk dalam hati kenapa juga pas scene yang bisa menimbulkan kesalah pahaman itu harus banget pas Binar lihat. Mana Binar salah pahamnya sama cowok.
Punten ya Cakra normal! Batinnya bersuara.
"Bi, astaga dengerin gue," kata Cakra setelah mendapatkan Binar dan kini memegang kedua bahu gadis itu sembari merunduk untuk menatapnya.
"Nggak mau! Lepasin! Aku mau pulang!"
"Sttt ... nggak enak dilihatin sama yang lain."
"Biarin! Kak Cakra homo!"
Kedua mata Cakra membulat sempurna. Ia langsung membekap mulut Binar dengan tangan kanannya, sementara tangan kirinya sudah bertengger manis melingkari pinggang gadis itu, ia menarik paksa Binar yang terus minta dilepaskan. Entah kemana akan membawanya. Namun tentunya, itu menjadi hal yang tak dilewatkan seorang pun yang dapat melihatnya.
"Akh!"
Namun drama ini tak akan seru jika hanya berhenti di sana. Binar menginjak kaki lelaki itu, kemudian menggigit tangannya sampai Cakra melepaskan bekapan. Binar langsung lari kocar-kacir. Cakra meringis melihat gigitan Binar, ini yang sakit, kalau injakannya sih cuma cenat-cenut dikit.
Pandangannya menatap Binar yang sudah berlari lagi. Kalau nggak bisa cara halus, ia akan pakai cara yang lain. Cakra kembali berlari mengejar Binar, kecepatan lari mereka perbandingannya seperti langit dan bumi, langkah kaki panjang Cakra juga lebih memudahkan lelaki itu untuk mengejar Binar.
Ia berhasil menangkap gadis itu lagi yang bahkan kini memekik hingga mengundang perhatian banyak murid karena Cakra memanggulnya seperti karung beras.
"Kak Cakra lepasin!"
"Gue jatuhin mau?"
"Nggak mau."
"Makannya diam dulu. Lo emang kecil, tapi bukan berarti lo nggak berat."
Binar langsung diam, ia manyun. Sungguh, kalau Cakra tak tahu, Binar benar-benar tersinggung. Jadi maksudnya Binar gendut gitu? Satu hal lagi yang sensitif bagi Binar, tinggi dan berat badannya. Yang mungkin sebenarnya, ini menjadi topik yang cukup sensitif untuk kaum hawa pada umumnya.
***
Cakra baru menurunkan Binar ketika ia sampai di rooftop sekolah yang sepi. Wajar saja, karena di sini langsung terpapar cahaya matahari, jadi ya jarang yang datang. Bolos pun kalau nggak ke kantin belakang sekolah pasti lebih pada milih ke UKS aja. Ya, meski sekarang cuaca tidak panas setelah gerimis tadi pagi.
"Jangan lari lagi, capek," kata Cakra sambil memegang pergelangan tangan Binar, orang yang diajak bicara masih manyun.
Napas lelaki itu agak ngos-ngosan, wajar karena jarak dari tempat ia memanggul Binar tak bisa dibilang dekat tambah lagi harus menaiki tangga. Binar jadi sedikit merasa bersalah, ekspresinya melunak. Ia mengikuti saja ketika Cakra menariknya untuk duduk di sebuah bangku dekat lelaki itu.
"Dengar, apa yang lo kira, nggak seperti yang lo lihat," kata Cakra setelah sebelumnya ia menghela napas pelan.
"Apa iya? Terus kenapa cowok tadi bilang gitu?" Binar menatapnya dengan tatapan berkaca-kaca.
Serius? Apa Binar benar-benar percaya? Cakra jadi ingin tertawa tapi rasanya tak pantas karena Binar bisa saja malah jadi menangis.
Lalu, lelaki itu menjelaskan apa yang terjadi dari Garuda yang mengambil botol minum miliknya tanpa izin sampai dimana insiden itu terjadi. Binar mendengarkan, walau ia tak membalas tatapan Cakra padanya ketika lelaki itu bercerita.
"Gitu, jadi ... lo jangan salah paham. Selama ada lo, gue cowok normal."
Binar menoleh. "Kalau nggak ada aku?"
"Ya jangan dong!" Cakra menjawab sewot.
Gadis itu diam-diam mengulum senyum senang. Kemudian berdehem untuk menyamarkan salah tingkahnya.
"Udah nggak ngambek sama nggak salah paham lagi kan?" Cakra menggoda.
"Siapa yang ngambek?"
"Lo!" Cakra mencubit hidung Binar sampai gadis itu meringis kesakitan.
"Sakit ih!" Binar menepis tangan Cakra lalu mengusap hidungnya.
"Jangan salah paham lagi. Nih ya, kalau pun gue mau selingkuh. Pasti gue pilih cewek cantik."
Binar langsung mendelik garang. "Mau selingkuh? Aku juga bisa selingkuh sama bias aku kok!"
Oh, Cakra tahu. Tapi tetap saja merasa kalau dirinya lebih ganteng dari idolanya Binar itu.
"Sana, tapi kasih sayang yang dia kasih ke lo tuh terbagi-bagi. Karena fans-nya bukan lo doang."
"Nggak! Kasih sayang dia nggak dibagi-bagi, dia sayang kami sama rata, sama besarnya, kami tahu, nggak ada yang terbagi," keukeuh Binar.
"Darimana lo tahu?"
"Karena aku calon istrinya di masa depan."
"Heh! Minta banget dihujat netizen ya?" Cakra melotot.
"Biarin!" Binar balas melotot.
"Gue bisa beri lo kasih sayang yang nyata, tanpa didua apalagi dibagi-bagi. Jadi nggak usah ngomongin orang lain lagi diantara kita berdua ok? Ok sip." Cakra mengalihkan pandangan setelah mengatakan itu.
Ha? Gimana-gimana?
Binar barusan nggak salah dengar kan?
Gadis itu mengerjap, lalu kedua pipinya merona begitu saja, dengan senyum malu yang berusaha ia tahan setengah mampus.
"Heh, bekas gigitan lo sakit nih," kata Cakra membuyarkan kesaltingan Binar sembari menunjuk tangannya yang tadi digigit gadis itu.
"Ah? Mana? Maaf-maaf."
"Hadeuh, lo bukan vampir kayak si Edward kan? Gue nggak mau jadi vampir, karena sebangsaan setan itu masuk neraka. Dan gue nggak mau masuk neraka," kata Cakra sambil meraih dagu Binar dan memperhatikan gigi gadis itu.
"Iih, nyebelin banget sih! Ya bukanlah! Kalau aku vampir sekarang udah jadi abu nih kena matahari! Lagian vampir gigitnya di leher tahu!" Binar menggerutu sebal sambil melepaskan tangan Cakra dari dagunya.
Namun detik berikutnya, ia mengerjap. "Si Edward siapa lagi?" tanya Binar.
"Edward itu tuh yang main film sama Kristen," jawab Cakra.
"Oh ..., dih, apa banget tadi manggilnya si Edward kayak akrab aja."
"Gue sepupu jauhnya!"
"Iyain deh biar fast."
"Emang iya kok!" Cakra ngotot.
"Ok iya, balik ke kelas aja yuk? Kak Cakra belum makan kan?"
"Oh iya. Bentar lagi kayaknya bel masuk, untung udah ganti baju olahraga tadi."
Cakra berdiri lebih dulu, ia melangkah saja tanpa menunggu Binar, dan tanpa merasa berdosa telah meninggalkan sesuatu. Gadis itu kini menghela napas. Jadi pacarnya Cakra memang harus ekstra sabar, kalau nggak sabar kuadrat nggak akan jadi pacarnya Cakra. Ia menguatkan diri.
Binar rasa, yang menjadi pacar Cakrawala memang yang terpilih saja.
Kemudian, ia menyusul lelaki itu. Cakra dibuat tersentak pelan ketika ada yang menyentuh jari telunjuk tangan kirinya, ia menolehkan kepala dan melihat Binar kini sudah berada di sampingnya. Dengan ragu, Binar menyentuh telapak tangan Cakra, lalu menggenggam tangan lelaki itu. Kemudian, Binar mendongak padanya dengan senyum yang disertai ringisan kecil.
"Nggak papa kan?" tanyanya.
Cakrawala mengerjap, lalu mengalihkan pandangan kembali menatap ke depan, ia tak menjawab. Namun, tangannya mambalas genggaman tangan Binar, tak terlalu erat, namun juga tak terasa longgar, tangan kecil Binar ternyata sangat pas digenggamannya. Binar menunduk pura-pura memperhatikan jalan untuk menyembunyikan senyuman kecil yang terbit di bibirnya. Ia tak tahu, jika kedua telinga Cakra memerah.