Ariana tak sengaja membaca catatan hati suaminya di laptopnya. Dari catatan itu, Ariana baru tahu kalau sebenarnya suaminya tidak pernah mencintai dirinya. Sebaliknya, ia masih mencintai cinta pertamanya.
Awalnya Ariana merasa dikhianati, tapi saat ia tahu kalau dirinya lah orang ketiga dalam hubungan suaminya dengan cinta pertamanya, membuat Ariana sadar dan bertekad melepaskan suaminya. Untuk apa juga bertahan bila cinta suaminya tak pernah ada untuknya.
Lantas, bagaimana kehidupan Ariana setelah melepaskan suaminya?
Dan akankah suaminya bahagia setelah Ariana benar-benar melepaskannya sesuai harapannya selama ini?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon D'wie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Don't judge a book by it's cover
"Na ... "
Ariana berdecak, "Mas, please, jangan ganggu aku! Aku mau istirahat. Kalau mas mau pulang dulu untuk berganti pakaian, pulang saja dulu."
Ariana kebetulan tahu jadwal Danang hari ini memang sudah berakhir jadi ia sudah bisa pulang lebih awal.
Danang akhirnya mengangguk pasrah.
"Ada titipan?"
Ariana menggeleng.
"Keperluan kamu bagaimana?"
"Memangnya kalau aku meminta Mas bawakan keperluanku, Mas bisa?" Ariana tersenyum sinis. "Nggak perlu. Ibu yang akan bawakan keperluanku nanti."
"Jadi ibu akan mengambil keperluanmu di rumah kita?"
Ariana lagi-lagi menggeleng, "ibu akan bawa barang-barang ku yang ada di rumah. Bukankah barang-barang ku masih banyak di sana."
Danang hanya bisa mengangguk. Ia tidak tahu lagi harus berkata apa. Sepertinya Ariana benar-benar tidak ingin bicara dengannya.
Danang pun akhirnya memilih pulang untuk membersihkan diri dan berganti pakaian. Ia akan menginap di rumah sakit menemani Ariana.
Tak lama setelah Danang pulang, pintu ruangan Ariana terbuka. Ariana yang sejak tadi hanya diam termenung di tempat tidur lantas menoleh ke arah pintu yang terbuka. Dari baliknya masuk seorang perempuan sambil tersenyum ke arahnya.
"Hai, maaf kalau aku ganggu."
Ariana mendengus. Padahal ia sedang ingin sendiri, tapi ada-ada yang mengganggu dirinya.
"Kalau sudah tahu mengganggu, lebih baik pergi. Ngapain malah masuk ke mari," sinis Ariana.
Ariana tidak mau pura-pura baik atau bersikap sok ramah. Ia tidak mau munafik dengan menutupi rasa ketidaksukaannya pada sosok yang tak lain cinta pertama suaminya itu.
Monalisa terkekeh, "ternyata kau sangat ramah sekali ya!" sarkas Monalisa.
"Baguslah kalau kau tahu."
Lagi-lagi Monalisa terkekeh. Kemudian kekehannya hilang menjadi tatapan sinis penuh ketidaksukaan.
"Lucu sekali, demi mencari perhatian Mas Danang kau rela berpura-pura sakit dan mencelakakan dirimu sendiri. Sungguh sangat bodoh. Kau pikir dengan begitu, Mas Danang akan jadi lebih memperhatikanmu," sinis Monalisa .
Mata Ariana membulat. Ia geli sendiri bagaimana bisa seorang perawat seperti Monalisa berspekulasi sendiri seperti itu.
"Jadi kau pikir aku sebodoh itu mau berpura-pura sakit dan mencelakakan diri sendiri demi mencari perhatian Mas Danang? Hahaha ... Sinting. Otakmu sepertinya perlu dicuci agar tidak menduga-duga seenaknya. Kau pikir aku sebodoh itu? Kalau aku mau mencari perhatian dia, sudah aku paksa dia tetap tinggal di sini. Temani aku, bukannya ku suruh pulang. Kalau kau mau ketemuan sama dia di luar, silahkan. Tapi hati-hati dilihat orang yang kalian kenali. Kau tidak mau kan dicap pelakor?" ejek Ariana.
"Kau ... Aku bukan pelakor, ingat itu! Justru kau yang pelakor. Kau yang sudah merebut Mas Danang dari aku," desis Monalisa kesal karena disebut pelakor.
Ariana tergelak, "pelakor itu kan akronim dari kalimat perebut laki orang, apa aku merebut suamimu, hah? Nggak. Aku menikah dengan laki-laki lajang. Dan perlu kau ingat, Mas Danang yang melamarku. Bukan aku yang meminta dia lamar apalagi nikahi. Sementara kau saat ini sedang menjalin hubungan dengan suamiku. Jadi siapa yang pantas disebut pelakor saat ini? Kau atau ... aku?"
...***...
Setelah melalui perdebatan panas, akhirnya Monalisa memilih pergi. Ia kesal karena Ariana selalu saja bisa membalikkan kalimat yang ia ucapkan.
"Sialan! Awas kau perempuan sialan! Aku pasti akan membalas mu!" Smirk licik terbit di bibirnya yang tipis.
Sementara itu, di dalam kamarnya, Ariana meringis pelan setelah kepergian Monalisa. Ia benar-benar kesal, waktunya untuk beristirahat jadi terganggu setelah kedatangannya.
Menjelang sore, Giandra dan kedua adik kembarnya, Mike dan Mika datang melihat keadaan kakaknya.
"Kak Ana. Hiks ... hiks ... hiks ... Kak Ana kenapa sampai begini? Pasti kepala Kak Ana sakit banget," lirih Mika yang sudah tersedu-sedu melihat kakak sulungnya terluka akibat kecelakaan.
"Udah, Mika, kamu malah buat Kak Ana nggak nyaman," sergah Mike sambil menepuk-nepuk punggung Mika.
"Tapi Mike, Kak Ana ... "
"Kakak nggak apa-apa kok, Ka. Paling beberapa hari dirawat sembuh kok," ucap Ariana .
"Kakak kenapa sih maksain diri kerja padahal udah tahu sakit."
"Kakak kan dokter, Gi, harus profesional. Gimana kalau pasien kakak sudah jauh-jauh datang, tapi kakak justru nggak datang. Kan kasihan mereka."
"Tapi akhirnya kak Ana tetap nggak bisa kerja kan? Jadi sama aja. Seharusnya kak Ana menghubungi salah satu rekan kerja kakak terus jelaskan kalau nggak bisa datang ke rumah sakit, daripada celaka kayak gini. Untung aja Kakak selamat, kalau tidak ... " Giandra menghentikan kalimatnya. Matanya sudah berkaca-kaca. Giandra memalingkan muka tak ingin kakaknya melihat dirinya yang hampir menangis.
"Maaf," cicit Ariana.
"Kakak nggak perlu minta maaf sama kami. Cukup kakak jaga diri dan hati-hati. Kakak nggak tau, di rumah ibu nangis terus liat keadaan kakak kayak gini. Kami sayang banget sama kakak. Kami ... kami ... kami nggak mau terjadi sesuatu sama kakak."
Ariana yang duduk sambil bersandar di tempat tidur tak dapat menahan air matanya. Ia lantas meraih Giandra dan memeluknya. Mata Mike pun ikut berkaca. Meskipun ia hanya diam, sebenarnya dia pun bersedih. Apalagi saat melihat perban yang melingkari kepala sang kakak. Bercak darah terlihat jelas di sisi depan.
Karena hari sudah semakin sore, Mika dan Mike pun berpamitan pulang. Sementara Giandra memilih tinggal untuk menemani sang kakak seperti perintah sang ayah. Sebenarnya, walaupun tanpa perintah sang ayah pun, Giandra akan dengan senang hati ikut menjaga sang kakak di rumah sakit.
Belum lama Mika dan Mike pulang, pintu diketuk dari luar. Giandra pun bergegas membukakan pintu ruang rawat sang kakak.
"Assalamu'alaikum," ucap seorang laki-laki dari luar.
"Wa'alaikumussalam. Bang Ariq?" seru Giandra dengan wajah penuh keterkejutan saat melihat Athariq berdiri tegak di hadapannya. Giandra sampai menoleh ke kanan dan ke kiri untuk memastikan kalau tamunya itu tidak salah ruangan.
"Giandra, kamu di sini?" seru Athariq yang tak kalah terkejut.
"Iya. Aku sedang menemani kakakku."
"Kakakmu? Maksudmu ... Emmm ... Ariana?"
"Abang kenal?" tanya Giandra terkejut.
Athariq menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
"Sebenarnya Abang yang nggak sengaja nabrak kakakmu."
"Oh ya? Kok bisa? Abang kan ... "
"Namanya juga musibah, Gi. Nggak bisa diprediksi. Bisa terjadi pada siapapun dan dimanapun."
Giandra mengangguk, membenarkan.
"Oh, iya ya. Ayo, Bang, silahkan masuk!" ajak Giandra.
Dengan sedikit terpincang-pincang, Athariq pun masuk ke ruangan Ariana.
"Ah, hai, bagaimana keadaanmu sekarang? Apa sudah lebih baik?" Sebelum pulang tadi sebenarnya Athariq sudah sempat berbicara dengan Ariana, hanya saja ia baru sempat meminta maaf. Ariana benar-benar terkejut saat tahu motor yang ia tabrak itu ternyata milik laki-laki yang sudah 2 kali ditabraknya tanpa sengaja. Lucunya, bukannya menuntut pertanggungjawaban apalagi memintanya meminta maaf, justru laki-laki inilah yang meminta maaf padanya. Padahal saat itu, ia ingat sekali kalau dirinya lah yang menabrak laki-laki tersebut.
"Aku ... sudah merasa lebih baik. Maaf ya, gara-gara aku kakimu ... "
Ariana merasa bersalah, akibat kekeraskepalaannya, orang lain harus celaka. Beruntung kecelakaan itu tidak berakibat fatal. Kalau tidak, ia akan dihantui rasa bersalah seumur hidup.
"Tidak perlu meminta maaf. Namanya juga musibah, bisa terjadi kapan saja dan dimana saja."
Ariana tersenyum mendengar kalimat bijak tersebut.
"Ayo, Bang, silahkan duduk!" Giandra menaruh sebuah kursi di dekat tempat tidur Ariana .
"Kalian saling kenal?" tanya Ariana.
Giandra terkekeh, "dia kepala club' motor kami, Kak. Makanya aku kenal sama bang Ariq," ujar Giandra membuat Ariana melongo. Ariana memang tahu adiknya itu masuk ke dalam club' motor.
Awalnya ayah dan ibunya menentang. Mereka pikir club' motor sama seperti dengan gank motor yang terkena sering mengganggu ketenteraman masyarakat, tapi ternyata berbeda. Club' motor malah lebih sering melakukan kegiatan bermanfaat di luar kegiatan mereka yang suka nongkrong untuk saling mengenal satu sama lain. Kegemaran motor dengan jenis dan tipe serta merk yang sama membuat mereka bergabung dalam satu organisasi club' motor. Mereka kerap melakukan aksi sosial. Seperti saat terjadi pandemi, mereka akan melakukan kegiatan bagi-bagi masker. Saat ada bencana alam, mereka akan menggalang dana untuk disalurkan ke korban bencana. Mereka juga sering menyumbangkan sebagian rejeki mereka ke orang-orang yang membutuhkan seperti anak-anak di panti asuhan atau para lansia di panti jompo. Mereka juga sering bagi-bagi nasi berkah di setiap hari Jum'at.
Setelah mengetahui kegiatan Giandra ternyata berhubungan dengan aksi sosial yang bermanfaat, Samudera dan Tatiana pun akhirnya membiarkan Giandra dengan kegiatannya tersebut. Selagi bermanfaat, kenapa tidak.
Namun yang tidak Ariana duga, ternyata pemimpin club motor tersebut justru seorang laki-laki yang kini sudah tiga kali ia tabrak ini. Meskipun di dua kali pertemuannya, Athariq berpenampilan seperti preman, tapi ternyata ia memiliki sifat peduli sesama. Tanpa sadar Ariana tersenyum mengagumi sosok Athariq.
Pantas saja ada kalimat, 'don't judge a book by it's cover' yang artinya jangan menilai buku dari sampulnya. Ini adalah sebuah kalimat kiasan yang artinya "jangan menilai bobot atau nilai dari suatu hal dari penampilan luarnya saja karena bisa saja apa yang kita lihat tidak seperti yang kita pikirkan. Simpelnya, yang terlihat buruk belum tentu memang buruk dan yang terlihat baik belum tentu memang benar-benar baik.
Ariana diam-diam memperhatikan penampilan Athariq sore ini. Penampilannya terlihat santai, tapi elegan. Apalagi ia tahu dari pakaian yang Athariq pakai bukanlah merk biasa. Terlebih saat melihat jam tangan yang melingkari pergelangan tangannya yang merupakan brand ternama dunia. Dari situ saja Ariana bisa menilai sebenarnya Athariq bukanlah sosok yang biasa saja.
Ariana tiba-tiba teringat, saat Athariq dan kedua orang tuanya tadi berpamitan pada orang tuanya, ayahnya mengangguk hormat dan memanggil ayah Athariq dengan sebutan 'dokter'. Meskipun setelahnya ayah Athariq meminta ayahnya berhenti memanggilnya dokter sebab ia sudah lama melepaskan profesi itu. Tapi tetap saja, itu artinya ayah Athariq dulu adalah sosok dokter hebat yang dikagumi sang ayah. Ariana tiba-tiba merasa speechless.
...***...
Woaaa, panjang banget ini! Nggak nyadar, udah ngetik sepanjang ini. 😄
Sampai jumpa di bab selanjutnya, Kak. ❤️❤️❤️
...***...
...Happy reading 🥰🥰🥰...
Soale kan kandungan nya emang udah lemah ditambah pula,sekarang makin stress gitu ngadepin mantannya Wira
bukannya berpikir dari kesalahan
kalou hatinya tersakiti cinta akan memudar & yg ada hanya kebencian...