WARNING ⚠️
Mengandung beberapa adegan kekerasan yang mungkin dapat memicu atau menimbulkan rasa tidak nyaman bagi sebagian pembaca.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eva, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
7. »Apoch
Apoch [Sebuah masa dalam kehidupan]
***
Ctaarrr
Suara sebuah cambuk beradu dengan kulit. Siapapun yang mendengarnya akan bergidik ngeri, bahkan ikut merasakan rasa sakit jika melihatnya.
"Andaikan sejak awal anda berguna menjadi seorang Ayah ...." Agraven Kasalvori sudah gelap mata menyiksa seorang laki-laki paruh baya yang menurutnya sampah. Hal seperti ini sering Agraven lakukan dan ia sebut sebagai kegiatan pemusnahan sampah.
Pyar
Blaze si pisau kesayangan Agraven mendarat di sebuah cermin yang terdapat di ruangannya. Alhasil, cermin lebar itu hancur tak berbentuk.
Tangan kokoh Agraven menggenggam salah satu pecahan kaca cermin yang baru saja pecah. Tangannya mengeluarkan darah akibat terkena goresan kaca. Namun, Agraven seakan-akan tidak merasakan bahwa tangannya sedang terluka.
Wajahnya tetap datar. Perlahan kakinya kembali melangkah menuju pria paruh baya yang sedang diambang kematian.
"Anda tidak akan pernah bisa merasakan apa yang anak anda rasakan akibat ketamakan yang anda perbuat!" Dengan tidak ada rasa iba sedikitpun Agraven menancapkan serpihan kaca yang ia genggam tepat pada pipi, lalu berpindah ke kerongkongan temannya bermain, err lebih tepat pada mainannya.
Pria paruh baya itu nampak tercekat. Ia ingin terlepas, tapi peluangnya untuk bebas sangat mustahil.
Agraven menancapkan Blaze tepat mengenai jantung pria itu, detik berikutnya napas itu berhenti berhembus.
Melihat targetnya sudah tidak bernyawa, Agraven mendengus kesal. Kali ini ia begitu cepat dalam bermain. Hal itu dikarenakan, Agraven masih belum bisa meredamkan emosinya. Perkataan Ludira tadi siang masih terngiang-ngiang di kepalanya.
Laki-laki tampan itu berjongkok di samping tubuh kaku korbannya. Mata tajamnya memperhatikan setiap inci maha karyanya yang ia ciptakan di sana. Ia cukup merasa puas karena telah berhasil membayangkan pria di depannya saat ini adalah salah satu orang yang amat dibencinya seumur hidup.
Kilatan ingatan yang sangat memuakkan bagi Agraven, terlintas begitu saja dipikirannya.
"Anak penipu, haha!"
"Heh, Raven! Ngapain ke sini? Mendingan kamu ikut orangtua-"
"Aku mau sekolah."
"Hahaha! Orang kayak kamu dan kakakmu itu nggak pantas sekolah di sini! Mendingan kamu ngamen di jalanan. Lumayan buat nambah biaya hidup!" Agraven hanya menunduk tidak menjawab.
"Dasar anak koruptor! Penipu!"
"Mama Papa Raven ada, kok, di rumah. Mereka bukan penipu!" sanggah Agraven
"Liat, tuh! Mama papanya nggak jelas, makanya anaknya ikutan nggak jelas!!"
"Stop! Kalian nggak boleh gitu!" sela seorang gadis merangkul Agraven kecil. Ia baru saja datang dari kelasnya.
"Nah, ini anak koruptor satunya lagi!"
"Kenapa kalian jadi jahat sama kami?!" teriak gadis itu marah.
"Karena kalian anak koruptor!"
"Anak penipu!"
"Anak pembunuh!"
"AAARRGHHHHH!" Agraven tidak menyadari bahwa ia kembali menggenggam serpihan kaca yang berada di sampingnya. Tangannya kembali mengeluarkan darah segar yang lebih banyak dari sebelumnya.
"Kenapa lo nggak mati aja, bastard!!"
Malas kerena mengingat masa lalu yang telah ia ketahui semua faktanya, Agraven lebih dulu mengalihkan pikirannya ke seorang gadis yang sempat ia ikuti sebelum bermain dengan sampahnya.
"Waktu untuk mengucapkan selamat tinggal kepada pacar kesayangan kamu itu tinggal hari ini, kelinci manis," monolognya tersenyum miring.
Seperti biasanya, Agraven menyeret korbannya untuk dijadikan santapan si Elder macan kesayangannya.
"Selamat sore, Tuan Elder. Hm, Elder Kasalvori. Sore ini ada makanan spesial untuk kamu." Agraven mengelus puncak kepala Elder layaknya seekor kucing kecil yang imut. Si macan antusias itu langsung menerima santapan yang Agraven beri.
Setelah melihat Elder yang sangat menikmati korbannya, Agraven segera meninggalkannya.
***
Saat ini Agraven sudah berada di depan kawasan rumah yang cukup manusiawi dan tak kalah besar dari miliknya. Maksud dari cukup manusiawi adalah, karena rumah itu terdapat di sebuah komplek perumahan yang elite. Sedangkan rumah miliknya, terdapat di pinggir hutan yang cukup jauh dari pemukiman warga.
Kaki jenjang laki-laki itu melangkah dengan pasti untuk memasuki bangunan di depannya.
Seorang maid menyambutnya dengan senyuman hangat. "Selamat datang kembali, Tuan muda. Tuan sedang berada di dekat kolam halaman belakang," sambut maid paruh baya tersebut kepada Agraven. Namun, Agraven hanya mengangguk mengiyakan.
Agraven segera menuju tempat yang dikatakan oleh maid tadi. Di sana terlihat seseorang yang ingin ia temui.
"Kakek!"
Laki-laki yang sedang menyesap kopi hitamnya langsung menoleh ketika merasa dipanggil oleh suara yang sangat ia rindukan.
"Aih, Agra! Sini kamu!" jawabnya dengan nada kesal. Agraven tersenyum singkat. Tak urung ia mendekati pria yang ia panggil kakek itu, lalu memeluknya.
"Kakek apa kabar?"
"Orang tua ini hampir mati karena merindukan cucunya!" balas sang Kakek yang diketahui bernama Alferd Kasalvori. Tangannya lantas menarik telinga cucu laki-lakinya dengan kuat. Namun, Agraven sama sekali tidak merasa kesakitan.
"Dari mana saja kamu? Sudah lupa kalau orang tua ini masih bernapas?"
"Agra sibuk, Kek."
Alferd berdecih mendengar jawaban sang cucu. Ia sangat paham sibuk yang dimaksud oleh Agraven. "Sibuk mungut sampah?" tebaknya tepat sasaran. Ia sering mendengar Galva menyebut kegiatan keji yang dilakukan Agraven dengan sebutan memungut sampah atau memusnahkan sampah.
"Hm." Agraven hanya bergumam. Laki-laki itu menuntun kakeknya untuk duduk kembali di kursi yang semula ia duduki.
"Jangan lupa dengan tugasmu, Agraven," peringat Alferd.
"Enggak akan lupa, Kek."
"Baguslah," balasnya. "Ini kenapa?" Alferd mengangkat tangan Agraven, kemudian ia memperhatikannya dengan teliti. "Mungut sampah bisa luka?" tanya Alferd sirat akan makna.
"Nggak sengaja pegang kaca," ujar Agraven beralibi.
"Nggak sengaja matamu!" sarkas Alferd. Ia tau luka itu dibuat dengan sengaja.
"Apa Ludira yang menyuruhmu datang ke sini?"
"Iya," jawab Agraven singkat.
"Mereka kenapa nggak mati aja?" pertanyaan yang tiba-tiba dari mulut Agraven sontak membuat Alferd kaget. Tidak biasanya cucunya itu kembali mengungkit. Butuh beberapa menit ia baru bisa menjawabnya.
"Kakek nggak bisa berbuat apa-apa." Hanya itu yang bisa Alferd jawab.
"Kakek nggak usah munafik. Agra tau, Nenek-"
"Agra, gimana kuliah kamu? Masih betah bersembunyi?"
"Jangan mengalihkan pembicaraan, Kek," tekan Agraven. Baru saja Alferd ingin menjawab. Namun, terhenti oleh suara cempreng dua orang yang baru datang.
"Sore laki-laki kesayangan!!"
"Sore Kakek, Raven gila! Galva ganteng is kambek!"
Agraven menarik napass dalam-dalam. Ia berusaha menahan tangannya untuk tidak melempar Blaze ke mulut cempreng Galva yang menggangu pembicaraan sensitif-nya dengan sang Kakek.
Ludira menghambur ke dalam pelukan sang Kakek, lalu beralih kepada adik yang akhir-akhir ini jarang ia temui.
"Akhirnya kamu mau mampir ke sini, Rav. Lihatlah Kek, cucu kesayangan kakek ini sangat susah diajak ke sini!"
"Bahkan sampai sekarang dia juga masih betah menjomblo. Sangat disayangkan wajahnya yang tampan," adu Galva menambah.
"Kayak lo udah punya gandengan aja, Gal!" balas Ludira mengejek.
"Nggak usah ngecek, kita sama tsaayy!" balas Galva tertawa.
Luidra lantas tidak terima. Dengan santai tangannya melempar gelas kopi sang kakek yang sudah tidak ada isinya ke wajah Galva. Untung laki-laki petakilan itu cepat menghindar. Jika tidak, wajahnya sudah menjadi sasaran empuk lemparan dari Ludira.
"Kakak adek punya jiwa psycho semua," gumam Galva bergidik.
Dosa apa gue hingga bisa berhubungan dengan keluarga psycho, pikirnya.
"Sebentar lagi gue bakal terlepas dari gelar jomblo." Ucapan datar Agraven cukup mengagetkan semua orang yang berada di sana.
Bahkan Galva menganga tidak percaya. Ingatannya kembali ke kejadian tadi pagi saat di kantin kampus. Di mana saat Agraven asal mengklaim pacar orang adalah miliknya.
"Bang, Rap! Jadi omongan lo tadi pagi se-serius?" tanya Galva dengan wajah tidak biasa. Ia mengalihkan pandangannya ke arah Ludira. Perubahan sangat kontras dari wajah Ludira. Dan yang menyadari itu hanya Galva.
"Gue ke atas dulu. Kakek, Ludira ke atas dulu, ya," pamit Ludira langsung pergi.
"Emm, Kek, Rap! Galva ganteng mau ke toilet sebentar, ya." Galva ikut pergi. Alasannya ingin ke toilet, padahal cowok itu ingin ikut menyusul Ludira.
Setelah berhasil menemukan Ludira yang duduk di balkon lantai dua rumah Alferd. Galva langsung duduk di sebelah gadis itu tanpa meminta izin.
"Lo kenapa?" Ludira tersentak mendengar suara di sebelahnya.
"Lo ngapain ngikutin gue?" tanya Ludira berdecak.
"Harusnya lo senang kalo Agraven masih punya sisi manusiawi, dia cowok normal yang menyukai seorang cewek," ujar Galva menatap lurus ke depan. "Ya walaupun yang disukai cewek orang," sambung Galva dalam hati. Ingin rasanya laki-laki itu tertawa, tetapi ia tahan.
"Gue seneng ... tapi gue nggak suka," lanjutnya dalam hati.
"Gue tau, lo ada apa-apa. Gue tau isi hati lo," ucap Galva. Ludira tersentak, tetapi berusaha menormalkan ekspresinya.
"Nggak usah sok tau!"
Di lain tempat dalam waktu yang sama. Agraven dan Alferd sedang duduk di ruangan pribadi Alferd.
"Bisa jelaskan kepada Kakek, apa maksud ucapan kamu tadi?" tuntut Alferd sedikit antusias. Ia senang mendengar ucapan Agraven. Itu artinya, cucu kesayangannya masih menyukai seorang perempuan. Bukan menyukai korbannya saja.
"Maafkan Agra. Setelah ini akan ada kesalahan besar yang akan Agra perbuat," jawab Agraven yang justru meminta maaf.
Kening Alferd yang sudah berkerut, bertambah berkerut karena ucapan Agraven yang membuatnya bingung. "Maksudnya?"
"Agra nggak bisa kasih tau," jawabnya.
"Kesalahan besar apalagi yang akan kamu lakukan, Agraven? Tidak cukupkah kamu membunuh manusia yang menurut kamu mereka adalah sampah?"
"Kesalahan yang lebih besar," jawab Agraven tersenyum. Senyuman yang membuat Alferd terdiam.
•
•
•
To be continue...