NovelToon NovelToon
Clara : Si Pendiam Yang Di Inginkan Banyak Orang

Clara : Si Pendiam Yang Di Inginkan Banyak Orang

Status: sedang berlangsung
Genre:Duniahiburan / Mafia / Mengubah Takdir / Identitas Tersembunyi / Fantasi Wanita / Bullying dan Balas Dendam
Popularitas:4.2k
Nilai: 5
Nama Author: LiliPuy

meski pendiam , ternyata Clara mempunyai sejuta rahasia hidup nya, terlebih dia adalah anak dari seorang petinggi di sebuah perusahaan raksasa,

namun kejadian 18 tahun silam membuat nya menjadi seorang anak yang hidup dalam segala kekurangan,

dibalik itu semua ternyata banyak orang yang mencari Clara, namun perubahan identitas yang di lakukannya , menjadikan dia sulit untuk di temukan oleh sekelompok orang yang akan memanfaatkan nya

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon LiliPuy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

perjuangan peter

Jalan setapak berkelok diantara pepohonan, dikelilingi suara gemerisik dedaunan. Clara merasa jantungnya berdegup kencang, tapi semua rasa takut itu tenggelam saat ia menatap Peter. Mata Peter bersinar, menanti setiap langkahnya, seolah memancarkan kehangatan yang mampu mengusir segala keraguan.

“Mau kita cari tahu siapa wanita itu?” Peter memberi senyum, mengetuk-ngetuk dinding berdebu di bibir jalan.

“Tapi bagaimana kalau…,” Clara mengatur napas, “kalau dia tahu lebih dari yang kita duga?”

Peter mengangkat bahu. “Kita tidak akan mengetahuinya sampai kita bertanya,” jawabnya mantap.

Clara mengangguk, keputusan membawanya menuju rumah wanita tua itu. Mereka berputar di sudut jalan, dan saat melihat rumah kecil dengan cat yang pudar tampak tak terurus, Clara merasakan sesuatu di dalam dirinya. Cinta? Ketertarikan? Atau sekadar rasa penasaran?

“Masih mau cancel?” Peter bertanya ketika melihat ekspresi ragu Clara.

“Tidak,” Clara menggeleng mantap. “Ayo kita masuk.”

Mereka melangkah mendekati pintu, yang terbuat dari kayu tua itu sudah hampir runtuh. Suara ketukan tangan Peter menggema di antara ruang hampa. Sejenak, keduanya menunggu.

Pintu berderit pelan. Seorang wanita tua dengan rambut putih menjuntai keluar. Senyum tipis menghiasi wajahnya. “Ada apa, anak-anak?”

“Bu, kami ingin bertanya tentang Pak Vincent,” Peter menjelaskan, sedikit ragu.

“Vincent?” Wanita itu melewatkan telunjuknya ke arah dahi, “Sulit untuk terpisah dari masa lalu, ya?”

Clara merasakan sensasi aneh ketika mendengar nama itu. “Dia… dia sering mengunjungi Anda?”

“Setiap dia butuh jawaban.” Wanita tua itu membenahi posisi duduknya di kursi kayu. “Dia membuat saya teringat pada sesuatu yang kelam.”

“Apakah ada yang bisa kami dengar?” Clara melangkah sedikit lebih dekat, menunduk dengan penuh harap.

“Ah, anak muda selalu haus akan kebenaran,” jawab wanita itu sambil tersenyum, “Tapi hati-hati, kebenaran sering kali pahit.”

“Kenapa?” tanya Peter, mendekatkan wajahnya, mengharapkan penjelasan lebih.

“Karena cerita di balik Vincent bukan cerita yang biasa. Ia terlibat dalam sesuatu yang… lebih dalam daripada sekadar bisnes. Ada darah di tangannya.”

Darah. Kata itu membekas dalam benak Clara. Ia melihat ke arah Peter, yang terkesan mendengarkan setiap kata.

“Tentu, kami ingin tahu lebih banyak,” Clara mencoba berani.

Wanita tua itu mengamati sekeliling. “Apa kau tahu apa yang terjadi lima belas tahun lalu?”

Clara menggeleng, “Belum.”

“Orang-orang menghilang. Mereka dipanggil oleh Vincent dan beberapa orang berkuasa lainnya,” lanjutnya perlahan, “Kel Tua yang berani melawan kehilangan segalanya.”

“Penghilangan? Menghilangkan orang?” Peter menegaskan. “Apa bu yang dimaksud?”

Wanita itu menatap Peter dengan tajam, “Mereka yang menghilang adalah mereka yang mencoba melawan, termasuk orang-orang terdekat mereka.”

Clara merasakan kepedihan dalam ucapannya, seperti membayangkan keluarganya yang mungkin termasuk dalam tragedi tersebut. “Apa yang harus kami lakukan?”

“Bertanya lebih banyak kepada Vincent.”

Saat itu, senyum merekah di bibir Peter. “Bagaimana jika dia tidak mau menjawab? Atau bahkan melarang kami?”

“Tanyakan dengan lembut, tapi siap-siaplah untuk menerima jawaban yang mengguncang.” Wanita itu menekan telinganya. “Bukan semua kebenaran bisa kami tanggung.”

Clara meraih lengan Peter, menegaskan maksudnya. “Kami akan bersiap.”

“Perlu ada keberanian untuk mencari tahu,” lanjut wanita itu, “Tapi jika ini tentang si gelap,” ia menunjuk Clara, “Kau harus siap kehilangan segalanya.”

Dengan semua informasi tak terduga ini, Clara melangkah mundur. “Terima kasih, Bu,” ia menunduk.

“Jaga dirimu baik-baik,” wanita tua itu memandang dengan tatapan penuh khawatir.

Begitu mereka menjauh dari rumah wanita itu, udara terasa lebih berat. Peter mengelus latar belakang kepalanya, tampaknya terbenam dalam pikirannya.

“Vincent bisa saja menjadi kunci,” kata Peter, perlahan.

“Kalau memang begitu, kita harus mencari waktu yang tepat untuk bertanya.” Clara merasa darahnya berdesir, antisipasi dan ketakutan bersatu.

Peter berjalan beriringan, tetapi langkahnya panjang. “Kita tidak bisa terus bersembunyi. Jika ada kebenaran yang menyakitkan, lebih baik kita tahu.”

“Seperti kata orang tua itu,” Clara menambahkan, “kita siap mendapatkan kesakitan jika harus.”

Lalu, sebuah cahaya redup menyoroti wajah Peter. “Berani mencoba?”

“Tentu.”

Mereka berdua berjalan kembali ke mobil, di mana Clara merasakan jantungnya bergetar dengan setiap langkah. Dalam bayang-bayang kejadian yang tidak terduga ini, Clara teringat pada kematian dokter, dan bagaimana semuanya berkaitan satu sama lain. Peter adalah jembatan, tapi apalagi yang akan mereka temukan?

Malam itu, Clara tak bisa tidur. Gambar rumah wanita tua itu berputar-putar dalam pikirannya. Mereka berdua bukan hanya mencari jawaban, tapi juga mempertaruhkan perasaan masing-masing.

Keesokan harinya, Clara terbangun lebih awal. Ia merasa berat, seolah setiap tarikan napas membawa beban. Namun, langkahnya harus berlanjut. Ia dan Peter menjadwalkan untuk kembali menemui Pak Vincent. Seharusnya, kali ini, mereka tidak akan mundur.

“Siap?” Peter mengajaknya.

“Siap,” jawab Clara dengan tegas.

Kantor Vincent terasa menegangkan. Clara merasakan kemarahan dan ketegangan bergumul dalam perutnya. Mereka mengetuk pintu, menunggu sejenak sebelum suara diperkenankan masuk.

“Pagi, Pak.” Clara berkata, berusaha menahan getar suaranya.

Vincent menatap mereka seolah menilai, lalu kembali membereskan kertas di atas mejanya. “Ada apa? Aku sedang sibuk.”

Dengan napas dalam-dalam, Clara mendekati meja. “Kami mendengar rumor tentang orang-orang yang menghilang, Pak.”

Vincent menoleh, tertarik. “Dan?”

“Apakah Anda tahu sesuatu tentang mereka? Atau lebih baik, apakah Anda terlibat?” Tanya Peter langsung, tanpa rasa takut dalam matanya.

Vincent menatap tajam. “Jangan bertindak lebih jauh dari yang kamu bisa jalani.”

“Kami ingin tahu kebenarannya, Pak. Tentang apa yang terjadi,” Clara berusaha meyakinkan.

Vincent menggeleng, “Kerapuhan di dalam kebenaran bisa melukai.”

“Jadi, Anda mengakui ada yang bisa merugikan?” Peter tiba-tiba bersuara.

Vincent mengancam, “Jika itu yang kau inginkan, hati-hati. Ada hal-hal dalam kegelapan yang lebih dalam dari yang kalian bayangkan.”

Clara merasakan ketakutan itu kembali. Tapi jari-jarinya menggenggam lengan kursi, menambahkan kekuatan pada suaranya. “Tapi kita tidak bisa terus bersembuyi dari kebenaran ketika ada yang hilang, orang-orang yang kita cintai. Kita tidak bisa.”

Vincent terdiam, seolah menimbang sesuatu. “Terkadang, lebih baik hidup dalam kebodohan. Itu lebih aman.”

“Keamanan tidak sebanding dengan bayang-bayang yang menghantui kita.” Peter memegang juga lengan Clara.

Vincent menatap keduanya, matanya menyelidik. “Baiklah. Aku akan memberi satu kesempatan ini. Berhati-hatilah, anak-anak. Perhatikan langkahmu.”

Ketegangan menghilang begitu kata-kata itu terucap. Clara dan Peter saling bertukar tatapan, harapan menguntit di balik bahu mereka. Kebenaran mungkin lebih dekat daripada yang mereka duga.

“Terima kasih, Pak,” Clara berkata, mengesankan rasa syukur yang mendalam.

Vincent mengangguk pelan, tapi senyumnya tidak mencolok. “Ingat, kebohongan sering kali lebih manis dibandingkan kebenaran.”

Setelah keluar dari ruangan itu, Clara dan Peter menahan napas. Tangannya bergetar saat melewati koridor. Mereka menuju mobil dengan langkah penuh harapan dan sedikit ketakutan.

“Saya tidak tahu apa yang akan kita temukan,” Peter memecah keheningan.

“Apakah kita sudah siap untuk kebenaran itu?” tanya Clara, suaranya bergetar.

“Tidak ada jalan kembali sekarang,” jawab Peter, matanya penuh tekad.

Mobil meluncur di antara jalanan kota yang ramai, sementara pikiran Clara melayang kembali ke pernyataan wanita tua. Dia merasa terjebak antara rasa ingin tahu dan rasa was-was. “Kita harus menemukan orang-orang yang menghilang itu,” katanya.

“Setuju,” Peter membalas. “Mungkin mereka adalah saksi kunci. Mungkin mereka masih hidup.”

“Jika mereka hidup…” Clara ragu sejenak, “apa yang mereka tahu tentang Sky Corp?”

Peter mengerutkan dahi. “Dan tentang keluargaku.”

Mobil terhenti di luar kafe kecil. Dengan tidak sabar, Clara meraih pintu dan melangkah cepat. Sesampainya di dalam, aroma kopi menari-nari di udara mengisi ruang dengan kehangatan. Seseorang mungkin memiliki informasi penting di sini.

Mereka mendekati meja pemilik kafe yang terlihat ramah, seorang pria berusia paruh baya dengan senyum lebar. “Selamat datang! Ada yang bisa saya bantu?”

“Kami perlu informasi tentang Sky Corp,” Peter segera menjelaskan.

“Sky Corp, ya?” Pria itu mencondongkan tubuhnya, merapatkan bibir tanpa memberi tahu lebih lanjut seakan semua orang yang mereka temui enggan menjelaskan sejarah sky corp.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!