bumi yang indah dan tenang seketika berubah menjadi zona tidak layak huni.
semua bermula dari 200 tahun lalu saat terjadi perang dunia ke II, tempat tersebut sering dijadikan tempat uji coba bom atom, sehingga masih terdapat radiasi yang tersisa.
selain radiasi ternyata itu mengundang mahluk dari luar tata Surya Kita yang tertarik akan radiasi tersebut, karena mahluk tersebut hidup dengan memakan radiasi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon LiliPuy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
perjuangan Chris
Malam menutupi kota Reksa dengan selimut gelap. Hanya hiruk-pikuk suara langkah sepatu tentara dan gemerisik dedaunan yang mengisi kesunyian. Chris dan Allan berdiri di balik semak-semak, menatap pagar kawat berduri di depan mereka.
"Jendral Fury akan melakukan apa dengan semua itu?" Chris berbisik, matanya menyipit.
Allan menggigit bibirnya, berusaha menata pikirannya. "Kita harus tahu. Teknologi senjata alien itu bisa membuat mereka lebih berbahaya daripada yang kita bayangkan."
Chris mengangguk, berusaha menenangkan dirinya. "Tapi memasuki kamp ini seperti bunuh diri."
Allan menatap Chris dengan serius. "Kita tidak punya pilihan. Jika tidak, lebih banyak nyawa akan hilang."
Mereka melangkah lebih dekat, memeriksa sekeliling. Suara pengatur waktu datang dari pos jaga, mengingatkan mereka bahwa waktu terus berjalan. Chris meraih lengan Allan.
"Berhati-hatilah," katanya pelan.
Allan tersenyum sinis. "Aku tidak bisa jamin kita keluar hidup-hidup dari sini."
Mereka merunduk, menghindari sorotan lampu yang menyapu area itu, lalu bergerak ke arah celah kecil di sebelah pagar. Allan menginspeksi sekeliling dan melesat ke celah itu.
Chris mengikutinya.
Mereka memasuki area yang lebih dalam, aroma logam dan keringat menyengat hidung. Chris merasakan detak jantungnya berdegup kencang. Di depan mereka, tenda-tenda para tentara berjejer rapi, sementara kendaraan militer terparkir berderet.
"Kita harus ke ruang kontrol," Allan berbisik, berhati-hati melangkah.
Ketika mereka mulai bergerak, suara nyaring membuat mereka terhenti. Seorang tentara berjalan ke arah mereka dengan wajah serius. Allan menarik Chris ke belakang sebuah tenda yang gelap, menunggu.
"Ke mana dia pergi?" tanya Chris, suaranya hampir tidak terdengar.
“Bisa jadi ke ruang kontrol. Kita perlu bergegas.” Allan mendorong Chris maju, gelisah.
Mereka melanjutkan perjalanan, berlari pelan menuju ruang kontrol. Dengan cepat, mereka bersembunyi di balik pintu nuansa campuran di ujung koridor. Allan memeriksa situasi di dalam.
“Banyak sekali orang di dalam,” Allan berbisik. “Kita butuh rencana.”
"Rencana? Kita hanya bisa masuk dan ambil apa yang kita butuhkan," Chris menjawab penuh semangat.
Allan menggoyangkan kepalanya. "Bukan hanya itu. Apa yang kita ambil bisa berakibat fatal."
“Mengarungi tempat ini tanpa tujuan… kita seperti ikan yang tertangkap jaring,” Chris merenung, mengawasi tentara yang mondar-mandir.
Satu suara menyinterrupt mereka.
“Cek laporan. Pastikan semua teknologi aman,” teriak seorang perwira dari dalam.
Chris dan Allan saling memandang, wajah mereka penuh ketegangan. Allan memberi kode dengan tentus jarinya. Mereka mengendap-endap memasuki ruang kontrol.
Di dalamnya, layar komputer berkelap-kelip dengan data yang tidak bisa dimengerti Chris. Meja panjang dipenuhi alat komunikasi yang tampak canggih.
“Lihat itu,” Allan menunjuk ke salah satu layar. “Ada peta terperinci dan… apa itu?”
“Tetap diam,” Chris menahan napas ketika memperhatikan tentara lain berdiri tak jauh dari mereka.
Seorang tentara yang lebih tua berloncatan. “Ada yang masuk ruang ini? Cek!”
Allan mendorong Chris ke sudut, segera tampak kekhawatiran di wajahnya. “Cepat! Kita harus keluar!”
Dengan sigap, mereka memeriksa jalan keluar. Namun, suara langkah mendekat semakin terasa mengancam.
“Di sini!” Sergah Chris, menunjuk ke celah kecil di dinding. Mereka bersembunyi di balik meja.
Dari celah, mereka melihat sang jendral muncul. “Pastikan semua senjata alien dipindahkan ke lokasi aman. Ini tidak bisa jatuh ke tangan yang salah!”
“Dia menyebut senjata alien,” bisik Allan bergetar. “Kita harus dapatkan dokumen itu.”
Chris mengangguk, semangatnya tumbuh kembali. “Bagaimana jika kita menunggu mereka keluar dulu?”
“Jendral Fury tidak akan pergi. Kita harus ambil dokumen itu sekarang atau tidak sama sekali,” Allan berkata sambil menatap ke arah layar.
Chris menggigit bibirnya. “Bisa jadi ini adalah kesempatan kita.”
Allan mengambil napas dalam-dalam. “Oke. Aku distract mereka, dan kamu ambil dokumen.”
Chris menatap Allan, tidak yakin tapi akhirnya mengangguk. “Jangan sampai tertangkap.”
Allan merangkak keluar dari persembunyian, berdiri, dan dengan suara keras berkata, "Hey! Ada yang di sini!"
Tentara yang lainnya segera berbalik, melemparkan tatapan bingung ke arah Allan.
“Dia di sini!” teriak tentara lain. “Tangkap dia!”
Chris menahan napas saat semua perhatian teralihkan. Dia bergerak dengan cepat ke arah meja yang terletak di sudut. Jarinya memainkan tombol, berharap menemukan apa yang dicari.
“Allan! Ayo!” Desakan panik mendengar teriakan mereka.
Dengan dorongan adrenalin, Chris membongkar beberapa dokumen. Sebuah peta dengan lokasi yang terlabel, dan catatan tentang teknologi baru.
“Pindah! Masuk ke dalam!” teriak Allan, menarik perhatian mereka sejenak.
Chris merasa jantungnya berdebar keras. Dia mengumpulkan kertas-kertas tersebut, menggenggamnya sekuat mungkin, dan berlari menuju Allan.
Saat dia berbalik, dua tentara berdiri di depan mereka, wajah mereka penuh ketidakpastian.
“Hentikan!” perintah tentara itu, senjata terangkat.
Allan mendorong Chris maju, keduanya bergerak cepat ke sisi kanan, berusaha mencari jalan keluar. Mereka meluncur keluar, kebingungan melingkupi kepala mereka.
"Sebelah sini!" Allan menyeret Chris ke lorong gelap. “Kita harus kembali ke pagar!”
Mereka melintasi koridor, berjalan cepat bahkan saat suara langkah mengikuti di belakang mereka.
Di luar, suara tembakan menggema. Terlalu dekat. Chris menatap Allan, ketegangan memenuhi udara. “Satu-satunya jalan adalah tetap bergerak!”
Allan menggeleng, suara desiran angin menggemuruh di telinga mereka. “Ayo! Ke titik keluar di sebelah utara!”
Langkah mereka semakin cepat, hingga akhirnya sampai di pagar.
“Kita tidak bisa berhenti! Ayo!” Allan berdiri, berusaha mengingat lahannya.
Lalu, suara ledakan seperti kembang api meledak di kejauhan.
“Ambil jalanku!” teriak Chris, berusaha mengendalikan ketakutan yang menggigit.
“Di mana jalannya?” Allan bingung, menatap kebingungan di hadap mereka.
“Di sebelah sana!”
Mereka berlari, menembus kerumunan tentara yang terkejut.
"Jangan biarkan mereka lari!"
Teriakan terpantul, memaksa Chris dan Allan untuk bersembunyi kembali. Dengan refleks, mereka bersembunyi di balik sebuah kendaraan.
“Mereka makin dekat,” Chris melirik ke belakang.
“Allan!” Chris berbisik. “Kita harus kabur sekarang!”
“Aku tahu,” Allan menjawab, wajahnya membara. “Tunggu sampai mereka tidak melihat kita!”
Setelah beberapa detik yang penuh ketegangan, suara tentara berlarian mulai pudar. Chris dan Allan melanjutkan jalan mereka, menuju pagar dengan harapan bahwa keamanan sudah dekat.
“Dengan dokumen ini, kita bisa mengubah semua ini,” Chris berbisik saat mereka melewati pagar.
Allan tersenyum penuh arti. “Kita temukan cara untuk menghentikan jendral itu. Kita punya informasi.”
Mereka melangkah cepat, larut dalam keheningan malam, siap menghadapi apa yang akan datang.
Sebagai bayangan malam menyelimuti kota Reksa, mereka terus melangkah menjauh dari kamp tentara. Suara senjata terdengar samar di belakang, menjadikan setiap detak jantung mereka terasa lebih hidup. Allan menatap ke depan, menggenggam erat dokumen yang diambilnya.
"Kita harus menemukan tempat aman," Allan mengingatkan, sesekali melirik ke belakang.
“Bagaimana kalau kita ke rumah Toni?” saran Chris, pikirannya berputar. "Dia pasti akan tenang."
"Risiko. Lebih baik ke tempat yang lebih tersembunyi. Kita butuh waktu untuk merenungkan semua ini," jawab Allan.
Mereka berbelok ke jalan setapak, menembus kebun-kebun kecil. Kabupaten itu sepi, hanya suara angin dan desiran pohon yang menemani langkah mereka.
"Tahu tidak? Aku merasa seperti terjebak dalam film horor," Chris berbisik, menahan rasa takut yang menggerogoti.
Allan melirik dengan senyuman kecil. “Ini bukan film, Chris. Ini kenyataan. Kita harus melawan.”
Tiba-tiba, suara langkah kaki mendekat. Jantung Chris berdegup kencang. Mereka saling berpandangan, lalu bergerak cepat ke belakang sebuah pohon besar, berusaha menatap dari balik batangnya.
Dua pria berpakaian sipil melintas, wajah mereka serius. “Pencarian terus berlanjut,” salah satu dari mereka berbicara. “Jendral tidak akan tinggal diam. Pastikan semua tempat diperiksa.”
“Apakah mereka mencari kita?” Chris bergumam, ketakutan.
“Belum tentu. Mereka mencari para pengungsi, bisa jadi...,” Allan menghentikan kalimatnya, menyadari sesuatu. “Mungkin kita harus membaur.”
Chris mengernyit. “Kau maksud apa?”
“Kita bisa pergi ke tempat-tempat ramai, berbaur dengan orang-orang.” Allan mengatur napas. “Kita dapat informasi lebih banyak tanpa menarik perhatian.”
“Seperti pasar?” tanya Chris, salah fokus.
“Ya, pasar atau area publik. Tapi bersikaplah biasa saja. Jangan menarik perhatian,” ucap allan