Siapa sangka, cinta yang dulu hangat kini berubah menjadi api dendam yang membara. Delapan tahun lalu, Alya memutuskan Randy, meninggalkan luka mendalam di hati lelaki itu. Sejak saat itu, Randy hidup hanya untuk satu tujuan : membalas sakit hatinya.
Hidup Alya pun tak lagi indah. Nasib membawanya menjadi asisten rumah tangga, hingga takdir kejam mempertemukannya kembali dengan Randy—yang kini telah beristri. Alya bekerja di rumah sang mantan kekasih.
Di balik tembok rumah itu, dendam Randy menemukan panggungnya. Ia menghancurkan harga diri Alya, hingga membuatnya mengandung tanpa tanggung jawab.
“Andai kamu tahu alasanku memutuskanmu dulu,” bisik Alya dengan air mata. “Kamu akan menyesal telah menghinakanku seperti ini.”
Apa yang sebenarnya terjadi di masa lalu? Mampukah cinta mengalahkan dendam, atau justru rahasia kelam yang akan mengubah segalanya?
Kisah ini tentang luka, cinta, dan penebusan yang mengguncang hati.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Byiaaps, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22
Saat Davin datang ke panti asuhan, keadaan Gio sudah membaik dan tak lagi demam. Bahkan, bocah itu sudah bisa bermain dan berlari-larian bersama anak-anak panti yang lain. Hanya saja, ia masih tak mau makan.
“Vin, kita pergi sama Gio juga ya, biar dia mau makan. Dari tadi pagi perutnya belum kemasukan nasi, semalam tubuhnya baru saja demam. Aku takut dia sakit lagi nanti. Siapa tahu kalau di luar dia mau makan,” ujar Alya saat menemui Davin.
“Iya, ajak saja. Itung-itung biar Gio dekat dengan calon ayahnya,” celetuk Bu Puri mendekati Davin.
Raut wajah Davin pun tak bisa bohong, seakan ia yang hanya ingin pergi berdua bersama Alya, terpaksa mengiyakannya karena tak enak hati jika menolak.
“Oh, tidak apa-apa. Kita pergi bertiga saja, nanti kita makan di luar,” jawab Davin menyunggingkan senyum palsunya.
Bu Puri pun meminta mereka segera berangkat dan berpesan pada Gio untuk tak nakal selama bersama Davin.
“Ma, kita di rumah saja,” rengek Gio yang malah tak mau pergi bersama Davin.
Langsung saja, Bu Puri membujuk anak Alya itu agar mau ikut. “Memangnya Gio tidak mau bermain di playground?”
Dengan polosnya, Gio pun memastikan hal ini pada sang mama bahwa apa yang dikatakan Bu Puri benar adanya, jika ia akan bermain di playground.
Mengangguk gemas, Alya meminta Gio janji padanya, selesai bermain Gio harus mau makan. Dengan penuh semangat Gio pun mengajak mamanya segera berangkat karena ia sudah tak sabar ingin bermain. Sedangkan Davin hanya bisa menghela nafas panjangnya, karena itu artinya ia tak jadi menonton film romantis bersama Alya, melainkan hanya makan dan menemani Gio bermain.
"Batal deh kencannya," batinnya dalam hati.
“Ya sudah, ayo,” ajak Davin menggandeng tangan Gio.
Sementara itu, Randy yang hari ini jadi bepergian bersama Nadia dan Raina, hanya bisa diam saat menyetir sepanjang perjalanan menuju mall.
"Seharusnya, aku pergi bertiga bersama Alya dan Gio,” batinnya.
“Papa, nanti kita beli mainan ya," pinta Raina memanja.
“Mainan Raina sudah banyak, buat apa beli lagi? Lagi pula, kata mama nilai rapor Raina turun. Papa mau belikan mainan kalau Raina bisa dapat juara kelas,” tutur Randy membuat anak sambungnya itu kesal.
Sontak hal ini pun membuat Nadia menegur suaminya.
“Jangan terlalu memanjakan anak. Bukan begitu cara mendidik yang baik. Ajari dia bersyukur dan hidup sederhana, banyak anak-anak yang hidupnya tak seberuntung dia,” jelas Randy.
Mengungkit soal anak Randy bersama Alya, Nadia menegaskan pada suaminya itu agar tak berbuat macam-macam. Ia yang sudah memaafkan Randy karena telah menghamili Alya, tak ingin lagi dibuat kecewa. Ia tak mau jika Randy sampai membawa anak itu ke rumah mereka. “Aku tak peduli anak itu laki-laki atau perempuan, kalau kamu hanya ingin memberi uang untuk hidup si anak haram itu, aku tak masalah. Aku rasa itu sudah cukup.”
“Jaga mulutmu atau aku akan memutarbalikkan mobil ini kembali pulang! Dia bukan anak haram!” tegas Randy.
Terdiam, Nadia tak ingin memperpanjang masalah ini agar Raina tetap bisa bermain.
Hingga setibanya di mall, mereka langsung menuju tempat bermain, melepaskan Raina bak melepaskan singa di habitatnya.
Sementara Nadia sibuk memvideokan Raina, Randy menunggu di tempat duduk tak jauh dari arena bermain. Samar-samar, ia mendengar nama Gio dipanggil. Merasa sedang berhalusinasi, Randy menggeleng-gelengkan kepalanya. Sungguh ia ingin sekali bersama Gio sampai terbawa pikiran.
Tapi, semakin jelas ia mendengar seseorang menyebut nama Gio.
“Ayo, Gio bisa!”
Celingukan mencari sumber suara, Randy menoleh samping kanan kiri. Hingga matanya pun tertuju pada sosok wanita yang membuat jantungnya berdegup kencang. Tak berkedip, dipandanginya terus wanita yang tengah berdiri di arena bermain sebelah arena tempat Raina bermain. “Alya.”
Karena masih baru buka, tak banyak orang berada di sana, hingga Alya pun bisa bebas untuk berekspresi tanpa takut bertemu banyak orang.
Saat ingin memanggil Gio, Randy mengurungkan niatnya karena pasti setelah itu Alya akan pergi membawa Gio. Ia pun hanya bisa diam sembari memandangi dua makhluk yang ia rindukan itu. Tak berhenti tersenyum, Randy lalu mengeluarkan ponselnya untuk memvideokan Alya dan Gio.
“Alya, setelah sejauh ini aku sadari, perasaanku memang tak pernah berubah padamu. Bahkan, saat aku dengan sengaja menyakitimu, aku berperang melawan rasa cinta itu dalam hatiku agar dendamku terus membara. Karena jika rasa cintaku yang menang, tentu aku tak bisa membalaskan dendamku padamu yang menjadi tujuanku saat itu. Meski aku tak seharusnya melakukannya. Kini, semuanya mungkin sudah terlambat, kamu seakan begitu sulit untuk kugapai kembali. Kamu dan Gio, anak kita berdua,” batinnya sesak.
Hingga tak lama, seorang lelaki yang pernah ia lihat sebelumnya, menghampiri Alya. Senyum Randy pun pudar. Segera disimpannya kembali ponselnya ke dalam saku celananya.
“Yuk, sudah? Kita makan dulu,” ajak Davin yang baru saja dari toilet.
Alya pun membujuk anaknya untuk menyudahi permainan.
Dengan raut wajah cemberut, Gio tampak begitu menggemaskan ketika dipaksa berhenti bermain.
"Tadi sudah janji sama Mama, kita pergi makan selesai Gio bermain,” tutur Alya memberikan telunjuknya.
Dengan terpaksa, Gio mengikuti perintah mamanya. Saat baru saja melangkah pergi dari arena bermain, kedua bola mata bocah itu melihat Randy yang sedang berdiri tak jauh darinya. Sontak ia melepaskan tangannya dari sang mama dan berlari menghampiri Randy. “Ooommm!”
Mereka pun seketika berpelukan, seolah sama-sama merasakan rindu yang begitu mendalam.
Alya yang akan menyusul Gio, memundurkan langkahnya. Reflek tangannya merangkul tangan Davin bak ingin mencari perlindungan. Saat melihat Randy, mentalnya seakan kembali melemah dan terguncang. Ia yang sudah mulai berani menghadapi dunia luar, seketika nyalinya kembali menciut.
“Davin, tolong ajak Gio pergi darinya,” pintanya lirih.
Mengangguk, Davin segera menghampiri Gio. “Ayo, Gio, kita makan dulu, Gio sudah janji sama mama,” bujuknya.
Menolak permintaan Davin, Gio mengeyel ingin bersama Randy saja. Hingga beberapa menit Davin kesulitan membujuk Gio, dengan terpaksa ia menggendongnya menjauh dari Randy. Kejadian itu pun membuat Nadia menyadari kericuhan yang terjadi.
Semakin menjauh, Gio terus berteriak memanggil Randy.
“Gio,” ucap Randy lirih tak bisa berbuat apa-apa, karena situasi ini begitu sulit baginya.
"Ada apa?” Nadia menghampiri suaminya.
Mengusap kasar setetes air matanya yang sempat jatuh, Randy mengaku tak ada apa-apa dan hanya mengatakan jika tadi ada anak kecil yang salah memanggilnya karena dikira ayahnya.
Syukurnya, Alya dan Davin juga Gio tak lagi terlihat, hanya suara teriakan Gio yang masih terngiang di telinga Randy.
...****************...
alurnya teratur baca jdi rileks banyak novel yang lain tulisan nya di ulang ulang terlalu banyak kosakata aku senang cerita kamu terus deh berkarya walaupun belum juara
Semangat kutunggu Karya selanjutnya Thoor, semoga sehat selalu