Akhir diskusi di majelis ta'lim yang dipimpin oleh Guru Besar Gus Mukhlas ternyata awal dari perjalanan cinta Asrul di negeri akhirat.
Siti Adawiyah adalah jodoh yang telah ditakdirkan bersama Asrul. Namun dalam diri Siti Adawiyah terdapat unsur aura Iblis yang menyebabkan dirinya harus dibunuh.
Berhasilkah Asrul menghapus unsur aura Iblis dari diri Siti Adawiyah? Apakah cinta mereka akan berakhir bahagia? Ikuti cerita ini setiap bab dan senantiasa berinteraksi untuk mendapatkan pengalaman membaca yang menyenangkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hendro Palembang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Suasana Di Kediaman Panglima
Setelah semua kembali ke posisi masing-masing, Panglima Jenderal Asrul berjalan menuju kediaman dirinya yang dahulu dia pernah tinggal.
"Panglima.. Tunggu aku.. Jangan terlalu cepat berjalan! Kita mau kemana? Apakah kita langsung menuju kediaman Panglima? Panglima.. Kenapa berhenti disini? Apakah Panglima hendak mengunjungi teman Panglima terlebih dahulu?"
Sepanjang perjalanan Siti Adawiyah tidak henti-hentinya mengoceh, ibarat seekor burung yang selalu berkicau di pagi hari. Asrul tidak menjawab perkataan Siti Adawiyah sedikitpun. Hal ini tidak membuat Siti Adawiyah berhenti berkicau. Bagaimana tidak, Panglima Jenderal Asrul adalah idolanya sejak dahulu. Walaupun baru kali ini Siti Adawiyah berjumpa dengan Asrul, Siti Adawiyah sangat mengenal Asrul karena buku biografi Panglima Jenderal Asrul telah dibacanya berulang kali. Hari ini Siti Adawiyah sangat bahagia, karena dia akhirnya mendapatkan sesuatu yang didambakannya selama ini, hidup bersama sang idola.
Panglima Jenderal Asrul berhenti didepan sebuah gedung yang sederhana. Asrul tidak langsung masuk ke gedung itu, melainkan memandangi setiap detail kondisi gedung tersebut.
"Panglima.. Kenapa tidak masuk? Apakah Panglima telah lupa alamat yang Panglima tuju?" Siti Adawiyah sedikit keheranan.
"Baiklah Panglima, izinkan aku memastikannya."
Siti Adawiyah segera berlarian menuju pintu gedung tersebut. Tatkala Siti Adawiyah hendak mengetuk pintu, tiba-tiba pintu terbuka sendiri dan keluar seorang perempuan yang berusia sekitar empat puluh tahun.
Perempuan itu bengong sesaat melihat seorang wanita yang tidak dikenalnya. Kemudian perempuan itu melihat ada Panglima Jenderal Asrul, lalu dia segera mendekati Asrul.
"Salam hormat Panglima.. Terimalah sembah sujud dari Surti."
Perempuan itu bersujud dihadapan Asrul, keningnya menyentuh lantai, tidak bergerak sedikitpun, hingga beberapa saat. Dia akan tetap bersujud selamanya seandainya Asrul tidak memerintahkan kepadanya untuk bangun.
"Satrio.. Kamu Satrio kan?.. Bangunlah.."
Asrul mengangkat bahu perempuan itu untuk membantunya bangun.
"Satrio.. Kenapa engkau sekarang seperti ini? Apa yang telah terjadi?" Asrul masih mengenal Satrio walaupun sekarang Satrio telah berubah menjadi Surti.
"Panglima.. Sudah dua puluh tahun kita tidak bertemu. Musim telah berubah, peredaran bintang juga sudah tidak seperti dahulu lagi. Kini aku adalah Surti, aku sekarang sudah menjadi seorang wanita seratus persen."
Asrul hanya bisa menghela nafasnya. Asrul sebenarnya tidak menyangka, Satrio yang merupakan ajudan pribadinya, seorang Jenderal yang gagah perkasa yang mampu menghadapi seratus orang musuh dalam sekejap, sekarang menjadi seorang wanita yang lemah gemulai.
"Panglima.. Ini.." Surti masih bertanya-tanya siapa gerangan wanita cantik yang bersama Panglima Jenderal Asrul.
"Salam kenal.. Nama saya Siti Adawiyah. Mungkin sudah ditakdirkan bahwa saya berjumpa dengan Panglima. Mulai sekarang saya akan bersama Panglima untuk meningkatkan kemampuan saya dalam berkholwat bersama Panglima, juga saya akan menjamin seluruh kebutuhan Panglima dalam pemulihan kesehatan dan merawatnya. Sepertinya usiamu sedikit lebih tua daripada saya. Kalau begitu aku akan memanggilmu senior Surti. Bolehkah?"
Siti Adawiyah buru-buru menjelaskan identitasnya kepada Surti.
"Senang telah mengenalmu. Saya sudah tidak sabar untuk bekerjasama denganmu." Surti menunduk sedikit.
Kemudian Surti bertanya sesuatu kepada Asrul. "Panglima, bagaimana cara saya mempersiapkan akomodasi putri Siti Adawiyah? Apakah ada sesuatu yang khusus yang harus saya persiapkan?"
"Tidak perlu perlakuan khusus. Yang perlu engkau ketahui adalah bahwa Siti Adawiyah ini orangnya lincah, keras kepala, dan seringkali melanggar peraturan. Engkau harus bisa mendisiplinkan dirinya. Tujuanku kali ini hanyalah untuk memulihkan staminaku. Sebaiknya tolak semua tamu yang datang, dan sekarang mulailah bekerja seperti biasanya."
Asrul menjelaskan garis besar watak Siti Adawiyah dan memberikan pesan kepada Surti.
Asrul berjalan menyusuri setiap bagian gedung tempat dia tinggal. Dilihatnya semua tetap sama seperti dahulu sebelum dia meninggalkan tempat ini.
Surti menjelaskan kepada Asrul bahwa segala sesuatu yang berada disini selalu dalam penjagaannya agar tidak ada perubahan sedetail mungkin.
"Panglima, Sejak Panglima meninggalkan tempat ini, aku setiap hari merawatnya, agar tidak ada yang berubah. Bahkan pohon apel ini menghentikan pertumbuhannya agar tetap terlihat tidak berubah."
"Sekarang kalian pergilah.." Asrul langsung berbalik dan berjalan menuju teras serambi atas.
"Baiklah Panglima.."
Surti menarik tangan Siti Adawiyah membawanya menuju kamar mereka.
"Aneh sekali.. Padahal Panglima sendiri yang meminta aku untuk melayaninya. Kenapa Panglima mengatakan bahwa aku tidak patuh?..." Siti Adawiyah mulai berkicau tiada henti.
Surti hanya menanggapinya dengan senyuman.
Sementara itu Asrul duduk dengan berlutut menghadap pekarangan.
"Salam hormat saya sampaikan kepada para pejuang korban peperangan yang terpaksa terbunuh oleh tanganku sendiri. Kedepannya saya akan berusaha menjaga agar pengaruh Iblis tidak lagi merasuki prajurit negeri akhirat."
Siti Adawiyah bersama Surti sedang berada di taman depan gedung kediaman Panglima. Siti Adawiyah sangat terkejut melihat kedatangan ayahnya bersama kakak seperguruannya, Maelin.
"Ayah.. Kenapa ayah dan Maelin kemari? Dimana Wildan?"
Maelin menjawab. "Wildan telah saya ikat di pohon apel depan rumah. Dia telah bersalah karena tidak menjagamu sehingga kamu harus meninggalkan lembah taman seribu bunga. Hukuman itu kurasa patut dia terima atas kelalaiannya."
"Nak, tega sekali engkau meninggalkan ayah. Mengapa engkau memilih untuk tinggal bersama Panglima Jenderal Asrul. Dia itu orangnya membosankan. Aku takut engkau akan bosan tinggal bersamanya. Lagipula apakah engkau sanggup memenuhi kebutuhan Panglima Jenderal Asrul?.. Ah.. Sudahlah. Ini sudah menjadi takdir. Ambil ini, jagalah baik-baik." Jena menyerahkan koin simbol bergambar petir kepada Siti Adawiyah.
"Ayah jangan terlalu mengkhawatirkan aku. Sekarang aku telah dewasa, aku bosan jika seumur hidup ayah mengurungku di lembah taman seribu bunga. Aku menginginkan kebebasan. Apa ini ayah?"
Siti Adawiyah memandangi koin simbol yang barusan diberikan oleh Jena.
"Sudah, jangan banyak tanya. Pokoknya engkau harus menyimpan ini baik-baik. Jika engkau kehilangan kepalamu, ayah bisa menggantikannya. Namun jika engkau menghilangkan koin simbol ini, ayah pasti akan meminta pertanggungjawaban darimu."
Jena berpesan dengan penuh harapan.
"Ayah.. Jika koin ini begitu berharga, saya tidak akan menerimanya. Silahkan ayah ambil kembali." Siti Adawiyah mengembalikan koin simbol bergambar petir tersebut.
"Tidak boleh!.. Engkau harus menyimpan koin simbol ini! Tidak ada lagi cara ayah untuk melindungi kamu selain menyerahkan koin simbol ini kepadamu." Jena bersikeras untuk memberikan koin simbol itu kepada Siti Adawiyah.
Akhirnya Siti Adawiyah menerimanya dan menyimpannya. Jena kembali menyesalkan keputusan Siti Adawiyah untuk tinggal di istana negeri akhirat.
"Anakku, seandainya engkau menuruti perintah ayah untuk memberikan obat tersebut kepada Wildan, biarkan Wildan saja yang mengantarnya ke istana negeri akhirat,..."
Maelin memotong perkataan Jena. "Sudahlah guru.. Ada baiknya Siti Adawiyah tinggal di istana negeri akhirat ini. Kelak dia akan belajar mandiri. Tidakkah guru menginginkan Siti Adawiyah dewasa?. Siti Adawiyah, jika suatu saat engkau membutuhkan pertolonganku, cari aku di lembah taman seribu bunga."