Mengejar mimpi, mencari kebahagiaan untuk mendapatkan apa yang diinginkan, Raka harus menghadapi keadaan pahit atas dosa-dosa sosialnya, juga konflik kehidupan yang tak berkesudahan.
Meski ada luka dalam duka, ia harus tetap bersabar. Demi bertemu kemanfaatan juga kebahagiaannya yang jauh lebih besar dan panjang.
Raka rela mengulang kembali mimpi-mimpinya. Walaupun jalan yang akan dilaluinya semakin terjal. Mungkinkah semesta akan mengamini harapannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rurri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Poster Suram
"Raka!" seru Tegar.
"Aku nggak mau mengulangi kesalahan yang sama." Mengangkat kedua tangan.
"Kamu memang nggak bisa diandalkan, Raka." Timpalnya Supri.
"Sekali lagi saja." Tegar melangkah mendekati. "Setelah ini, kita akan berhenti, hanya sekedar untuk bisa bertahanan hidup, Raka. Bukankah setelah keluar dari sini, kamu juga perlu modal untuk mendapatkan pacarmu kembali, dan kamu juga sudah menyadarinya, kan. Jaman sekarang, cinta saja nggak akan cukup, Raka. Kita semua butuh uang." Bujuknya Tegar.
"Yang jelas." Menarik nafas panjang, menghimpun tekad dari seluruh doa orang tua, guru-guru dan semesta ke dalam paru-paru untuk disalurkan ke dalam sikap. "Di mana pun dan dalam kondisi apapun, aku sudah nggak mau lagi terlibat di dalam lingkaran hitam, aku nggak akan mengingkari hati nurani. Aku mau yang wajar-wajar saja, hidup apa adanya," tegasku pada mereka.
Kali ini, semua pandangan tertuju padaku.
"Kalian bebas menentukan jalan hidup kalian di dunia ini, begitu juga denganku. Tapi, kalau kalian masih mau mendengarkan saran," ucapku seiring berjalan keluar dari kamar tahanan. "Lebih baik, jangan lakukan itu. Kenyamanan hanya dipinjamkan sesaat, selebihnya penyesalan panjang sedang menanti kalian semua."
"Raka!" seru Tegar.
"Biarkan saja, tanpa ia pun, kita bisa menjalankannya - " Suaranya terdengar sayup dan menghilang.
Perlahan matahari merangkak naik tepat di atas kepala. Beberapa tamping dapur masih sibuk memunguti tempat makanan yang dibagikan waktu pagi. Di bawah pepohonan besar, tamping kebun sedang beristirahat. Dan di dalam pos jaga, para jagoan blok bawah sedang asik main domino. Senda gurau petugas memang ampuh, sekali lirik, ia dapat untung banyak. Sebab yang namanya dosa tak bersuara.
Siang ini, di sela riuhnya distrik blok bawah, senandung adzan dhuhur melantun bersamaan dengan langkahnya khairudin. Poster suram itu, melangkah menuju keabadian. Mata dan telinga tak bisa menjadi tolak ukur, karena yang mereka tahu hanyalah bentuk.
Selepas dhuhur. Kedua mataku kembali bereksplorasi, menyelisik ke setiap sudut distrik blok bawah. Tanahnya, juga tumbuhannya, juga bangunannya, juga orang-orangnya serta semua dan seluruh aktivitas yang ada.
Aryanto berlari menghampiriku. "Raka, aku ikut kamu." Nafasnya terengah. "Kapan kita akan pindah ke komplek A?"
"Sementara, kita nikmati dulu, waktu kita di komplek B," sahutku.
Aryanto menyandarkan badannya di tiang serambi masjid. "Aku lelah, Raka."
"Siapa suruh berlari ke sini." Aku memperbaiki posisi duduk.
"Bukan - bukan itu, Raka. Maksudnya, aku sudah lelah bekerja di lingkaran hitam." Aryanto meluruskan. "Sudah bertahun-tahun, aku ikut dengan indra kuncoro. Nyatanya, kehidupanku nggak kunjung berubah. Ekonomi ancur, status sosial nggak jelas, dan jauh dari nilai-nilai yang dianjurkan." Aryanto menghela nafasnya. "Jadi, buat apa, aku kembali beraksi."
Aku mendengarkannya sambil mantau sekitar. Aktivitas sebagian orang nampak masih ramai. CCTV dan mata para petugas jaga menjadi saksi, atas kegelisahannya khairudin, korban salah tangkap yang dimasukkan ke dalam bui. Itu lah, desas-desus berita yang baru aku dengar di dalam masjid.
"Semoga pertemuan kita, menjadikan niatku semakin kuat untuk berubah. Makanya, aku mau ikut denganmu, Raka. Biarpun harus pindah ke komplek A." Aryanto masih berbicara mengeluarkan isi hatinya.
Pandanganku tertuju pada khairudin yang melangkahkan kaki menuju kamar nomor delapan. Sesekali, ia menghentikan langkahnya di setiap pos jaga yang di lewati. Jerit kerasnya merintih meminta keadilan, tak kunjung datang dan di dengarkan. Petugas jaga hanya bergeming di hadapan khairudin. Barangkali mungkin, para petugas sudah terbiasa melihat wajah murungnya yang tak penting bagi mereka.
"Di komplek A, katanya, nggak enak. Apa kamu sudah yakin?" tanyaku sembari memperhatikan setiap langkahnya khairudin yang semakin sempoyongan.
"Namanya juga penjara, Raka," sahutnya Aryanto.
Perlahan khairudin menghilang dari pandanganku. "Syukurlah kalau kamu sudah mulai sadar," ucapku datar.
"Aku masih ingat, apa yang pernah kamu katakan, Raka." gumamnya sambil merebahkan badan di serambi masjid. "Dari kecil sampai sekarang, aku belum pernah mendengar ada orang yang mati karena kelaparan, yang aku dengar justru sebaliknya. Banyak orang mati karena kekenyangan. Di pikir berapa kali pun, yang namanya orang hidup, dalam sehari hanya membutuhkan nasi dua atau tiga piring saja. Sebenarnya dari dulu, penghasilanku sudah mampu untuk mencukupi kebutuhan hidup. Hanya saja, keinginanku yang berlebihan. Jadi, aku merasa kurang." Aryanto mengeluarkan isi pikirannya. "Aku benar-benar ingin merubah hidupku, Raka. Aku nggak mau, diam-diam anakku tertular keburukanku. Menurutmu, aku harus memulainya dari mana?"
"Jangan marah!" seruku seiring memperhatikan seorang lelaki yang baru keluar dari warung telepon umum, ia sekarang berdiri di sebelah belokan jalan setapak, seperti sedang menunggu sesuatu.
"Selain itu?" tanya Aryanto.
"Banyak ... . Itu saja dulu, di pegang yang erat. Nanti yang lainnya ikut menyesuaikan dengan sendirinya," celetukku dengan pandangan memantau seorang lelaki yang masih berdiri di sana.
"Apa itu saja sudah cukup," ucap Aryanto.
"Sementara itu saja," jawabku bersamaan dengan datangnya seorang tamu yang berbadan gelap, menghampiri seorang lelaki tersebut. Mereka bercakap-cakap.
"Kalau hanya seperti itu, gampang," sahut Aryanto. "Selama nggak ada yang menyenggol, aku nggak bakal marah," imbuhnya.
"Di senggol atau nggak di senggol, upayakan jangan marah," ucapku dengan pandangan masih di sana.
"Misalkan kita sedang di tindas, apa yang harus kita lakukan?" tanya Aryanto.
"Di tindas seperti apa? Kalau kita dalam keadaan benar, ya harus dilawan, sesuai kadarnya." Aku berpikir. "Apa kamu nggak malu, menyoalkan itu?" Berbalik tanya pada Aryanto.
Aryanto bergeming.
Aku menghela nafas. "Saat kamu berbuat kesalahan, kamu ingin segera dimaafkan dan dilupakan. Sedangkan, saat orang lain yang berbuat kesalahan, kenapa kamu nggak segera memaafkannya dan melupakannya."
Aryanto masih bergeming.
Seorang lelaki dan orang yang berbadan gelap itu, bertukar barang dan berlalu pergi, berlawanan arah. Padanganku berpindah pada seorang lelaki gemuk di samping sebuah kantin. Di atas meja terlihat ada dua mangkok makanan yang masih mengebul. Melihatnya sedang makan, nafsuku menggeliat, apalah daya hanya sanggup menelan ludah.
Hembusan angin silir, menerpa tubuh. Aryanto tertidur dengan berbantal sebelah lengan di atas lantai serambi masjid.
Dari dalam masjid terdengar lantunan Kalamullah, hati bergetar, meskipun belum tahu artinya. Perasaan putus asa kembali memburu pikiran. Namun, satu hal yang aku tahu saat ini, hayat masih di kandung badan, asaku belum mati, jalan masih terbentang. Dan rumus hari ini, besok pagi, juga lusa nanti, tak boleh menyerah memperbaiki diri.
Tiba-tiba suara gaduh melambung naik. Orang-orang mendekat mengerumuni di depan gerbang komplek B. Satu - dua orang berteriak memanggil petugas jaga.
Nampak Tegar, Supri dan teman lainnya sedang menggotong Khairudin ke pos jaga.
Aku berlari menghampirinya
"Khairudin nggak sadarkan diri, pingsan," ucap Tegar.
"Mukanya pucat, seluruh badannya dingin!" seru seseorang yang sempat ikut menggotong Khairudin.
Para petugas jaga datang kerja cepat, membawanya menuju ruangan periksa di distrik blok bawah.
Berita tentangnya langsung seliweran menjadi tema hangat. Apa, siapa, kenapa, bagaimana, kapan dan di mana. Semua ingin tahu.
Tak berselang lama, petugas jaga membubarkan kerumunan.
Selepas ashar. semua orang kembali ke kamar tahanannya masing-masing dan berhitung. Pintu-pintu jeruji segera di tutup dan terkunci kuat.
Sore ini, cuaca di selimuti awan hitam, suara guntur bergemuruh bersamaan datangnya kilatan yang menyambar. Sekejap kemudian, hujan lebat turun membasahi tanah distrik blok bawah.
"Khairudin ke mana? Kok, belum pulang ke sini." Aryanto yang sedari tadi tertidur di serambi masjid, belum mengetahui beritanya.
karya² kk juga sama bagus²🌷🌷🌷
😅😅