Terdengar Musik yang terus di putar dengan kencang di sebuah bar hotel, disertai dengan banyaknya wanita cantik yang menikmati serta berjoget dengan riang. Malam yang penuh dengan kegembiraan, yang tak lain adalah sebuah pesta bujang seorang gadis yang akan segera menikah dengan pujaan hatinya. Ia bernama Dara Adrianna Fauza, gadis cantik dan manis, anak sulung seorang pengusaha sukses.
"Dar, gue ngak nyangka banget Lo bakalan nikah. Selamat ya bestie?" Ucap salah seorang gadis yang merupakan teman SMA dara.
"Iya. Makasih yah bestie. Gue doain semoga Lo cepet nyusul yah? Biar gantian, gue yang di undang." Ucap Dara sambil tersenyum.
Dara yang merasa haus pun segera mengambil sebuah jus untuk di minum, ia pun meminumnya.
Pesta terus berjalan dengan lancar, semua teman dara menikmati pesta dengan bahagia. Seketika dara yang sedang bersama dengan teman-temannya pun menjadi pusing. Mata menjadi sangat berat, pandangannya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon megawati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab
Mereka berdua melewatkan makan malam dan kembali ke kamar. Ayra telah berganti gaun tipis menggoda. Dengan gerakan sensual, Ayra naik ke ranjang, kemudian melewati depan kaki Aldo.
Aldo tak melihat Ayra sekali pun dan hanya sibuk dengan ponselnya. Apapun yang Ayra lakukan, Aldo tak tertarik untuk mengetahuinya.
"Aldo..." Ucap Ayra menyambar ponsel Aldo selagi duduk berdekatan dengan sang suami. Dia sengaja membungkukkan badan agar lekuk tubuh indahnya terlihat jelas di mata Aldo.
"Kamu tidak mau menyentuh aku?" Tanya Ayra.
"Aku sudah mengatakan berkali-kali sama kamu. Tidak sekarang! Kita tidur saja." Ucap Aldo merebut lagi ponselnya.
Ayra melemparkan badan, lalu meringkuk sambil membelakangi Aldo. Dia sengaja membiarkan gaunnya tersingkap ke atas agar Aldo dapat melihatnya, juga berusaha keras agar tak tertidur selagi menunggu Aldo tergoda akan tubuhnya.
"Kamu sudah tidur?" Tanya Aldo di belakang kepala Ayra beberapa menit kemudian.
Ayra tersenyum samar dan berpura-pura masih marah kepada suaminya. Aldo harus merayu terlebih dulu agar dirinya tak terlihat murahan.
Arya yakin, usahanya kali ini pasti berhasil! Tak mungkin ada pria yang tidak mau tubuh indah wanita.
Akan tetapi, Aldo justru turun dari ranjang karena Ayra diam saja. Lalu keluar dari kamar dan menutup pintu perlahan.
Dinanti sampai berjam-jam pun, sang suami tak kunjung kembali. Ayra sampai menangis terisak-isak sendirian di kamarnya.
"Ini semua gara-gara Dara! Kenapa dia masih mengganggu hidup aku? Bahkan ketika aku sudah mendapatkan Aldo!" Batin Ayra.
Sekeras apapun Ayra memaki sang kakak tiri, Dara tak memperdulikan Ayra lagi. Kepala Dara saat ini hanya di penuhi oleh kata-kata Jasmine tadi.
"Boleh aku bertanya sesuatu?" Tanya Dara ketika dia dan Brama telah berbaring di ranjang.
Brama berguling menyamping dan menyandarkan kepala di lengannya.
"Hem..."
Dara sejenak ragu. Tidak masalah kalau dia menanyakan masalah pribadi Brama, bukan? Lagi pula, dia adalah istri Brama.
"Itu, kenapa kamu tidak pernah berkencan dengan wanita?" Tanya Dara penasaran.
Rahang Brama sontak mengeras.
"Kamu masih percaya dengan kata-kata kakak aku? Jasmine dan Mama tidak pernah tahu dengan semua wanita yang pernah aku kencani." Ucap Brama.
Dara mendadak murung. Brama mungkin menyembunyikan hubungan dengan para wanita itu karena dia hanya menginginkan cinta satu malam bersama mereka, seperti tokoh-tokoh dalam novel yang sering dibacanya.
"Aku punya selusin wanita yang pernah aku kencani. Tentu saja, aku sangat berpengalaman dengan para wanita." Ucap Brama dengan percaya diri.
Dara berputar memunggungi Brama, lalu menarik selimut hingga menutupi kepala.
"Ternyata benar, aku hanya mendapatkan pria bekas dari para wanita itu! Lagi pula, sangat tidak mungkin jika Brama belum pernah berkencan!" Batin Dara.
"Kamu tidak minta diajari lagi?" Tanya Brama menyibak selimut yang menutupi istrinya, lalu membuang selimut itu di bawah kaki.
"Tidak mau! Aku tidak mau disentuh pria yang sudah dijamah banyak wanita! Pergi saja dengan para wanita kamu itu!" Pekik Dara.
Ah...Brama salah langkah! Dia baru tahu jika wanita ingin menjadi yang pertama dan satu-satunya biarpun kenyataannya berbeda.
Brama tak mungkin mengatakan kebalikan dari kalimat yang terlanjur keluar dari mulutnya. Pantangan bagi Brama untuk menarik ucapannya sendiri.
"Dara Pranaja." Panggil Brama dengan nada tegas.
Dara bergeming karena sudah tertidur dengan wajah mengernyit.
Brama berpindah tempat di depan Dara. Jemarinya membelai kerutan di dahi sang istri dengan senyuman.
Ponsel Brama berdering. Dia melompat turun dengan cepat agar suara ponselnya tidak mengganggu mimpi indah Dara.
Di balkon, Brama segera mengangkat panggilan dari nomor telepon keponakannya. Dia tak bicara sebelum Aldo bersuara lebih dulu.
Akan tetapi, bukan Aldo yang terdengar dari sambungan telepon, melainkan suara wanita.
"Selamat malam, saya melihat nomor Anda di daftar panggilan Tuan Aldo Meyson. Bisakah Anda -" tiba-tiba panggilan terputus.
Panggilan terputus sepihak. Brama mengangkat sebelah alis. Dia pun melihat nomor telepon tadi sekali lagi.
Benar, nomor itu milik Aldo. Lalu siapa wanita itu?
Yang jelas, Ayra bukanlah pemilik dari suara itu. Kenapa ponsel Aldo dibawa wanita yang bukan istrinya selarut ini?
Brama memiringkan sedikit kepala, lalu masuk dan mematikan ponselnya. Jika sesuatu terjadi pada Aldo, Jasmine pasti sudah mengabari Brama terlebih dahulu.
Kalaupun Aldo bermain dengan wanita, itu lebih bagus lagi. Brama bisa menunjukkan kepada Dara jika hanya dirinya pria yang pantas menjadi suaminya.
"Istriku, ayo bangun. Kamu belum melaksanakan tugas kamu." Ucap Brama.
Tak juga bangun-bangun, Brama pun tak mau lagi mengganggu Dara. Dia berguling-guling seperti orang yang kesakitan di sekujur tubuhnya sehingga membuat dirinya tidur tak tenang.
Kepala Brama berdenyut-denyut karena ingin bercinta dengan istrinya. Namun, Dara tidur seperti orang pingsan dan tak dapat dibangunkan. Mata Brama pun tetap terbuka lebar hingga dini hari.
Dara mengerjapkan mata ketika merasakan sesuatu yang lembab menyentuh dadanya. Dia memekik tertahan tatkala melihat Brama telah bermain di sana dengan mulutnya dan sambil menutup mata.
"B-brama? Apa yang kamu lakukan?" Tanya Dara kaget.
Dara mendorong kepala Brama, tetapi Brama semakin kuat mengisap daging kenyal itu.
"Aku mengantuk, jangan ganggu aku." Ucap Brama dengan suara teredam oleh kulit Dara di mulutnya.
"Kamu yang menggangu aku. Ini sudah pagi, aku harus bersiap-siap ke kantor." Ucap Dara.
Brama melepaskan dada Dara dengan bunyi decapan basah yang cukup keras.
"Kamu hari ini libur. Tidurlah lagi, kepala aku sakit dan tidak bisa tidur karena kamu tidak mau melayani aku semalam." Ucap Brama.
"Tapi -" ucap Dara terhenti.
"Kamu mau membuat aku sakit-sakitan?" Pekik Brama.
Dara tak bisa menjawab. Brama kembali melanjutkan aktivitas kesukaannya.
Dara hendak menjauh saat Brama benar-benar terlelap, tetapi mulut Brama kembali bergerak-gerak seperti bayi kelaparan. Setiap kali Dara ingin berpindah tempat, mulut Brama langsung menyesap dan tak membiarkan dirinya pergi.
***
Aldo membuka mata dan menemukan nuansa merah muda di sekelilingnya. Kepala Aldo masih berdenyut-denyut kencang akibat efek alkohol yang masih sedikit terasa.
"Dimana ini?" Tanya Aldo.
Pintu kamar dibuka oleh seorang gadis yang belum pernah dilihatnya. Gadis itu membawa nampan berisi mangkuk makanan dan minuman.
"Tuan Aldo, Anda sudah bangun rupanya. Saya membawakan sarapan menyegarkan untuk menghilangkan pengar." Ucap gadis itu seraya meletakkan nampan.
Aldo tertegun sejenak. Bagaimana bisa dirinya berakhir di sebuah kamar seorang gadis yang tak dia kenal? Dia spontan melihat ke bawah selimut, membuat gadis itu mengikik geli.
"Astaga, saya bukan wanita mes*m, Tuan. Tenang saja! Semalam saya mencoba menghubungi beberapa nomor pada panggilan keluar di ponsel Anda, tetapi Anda terus-terusan merebut ponsel itu." Ucap gadis itu.
Aldo bernapas lega setelah memastikan jika dirinya tak melakukan sesuatu yang terlewat batas dengan gadis itu.
"Siapa kamu? Kenapa aku bisa sampai di sini?" Tanya Aldo.
"Anda lupa dengan saya? Saya yang bekerja di bar, yang melayani Anda dan rekan bisnis Anda semalam." Ucap gadis itu.
Aldo memutar ingatan semalam. Dia bersama beberapa kolega minum di bar dan di temani beberapa wanita. Gadis di depannya sangat berbeda dengan wanita-wanita semalam, Aldo hampir tak mengenalinya.
Kenapa gadis secantik itu menyembunyikan wajah aslinya dibalik riasan yang justru membuatnya terlihat lebih tua?
"Kenapa Anda menatap saya begitu? Masih pusing? Makanlah dulu sarapan Anda. Saya akan ambilkan jas Anda." Ucap gadis itu.
"Kamu, masih remaja? Kenapa kerja ditempat seperti itu?" Tanya Aldo.
Gadis itu tersenyum, kemudian duduk di lantai seraya mengenalkan diri sebagai Dilla Fatmalia Luzzi. Aldo yang tak enak hati pun ikut duduk di lantai. Kepalanya masih pusing, dan minta izin beristirahat sebentar di tempat itu.
Selagi Aldo menikmati sarapan buatan Dilla, gadis itu menceritakan jika dirinya memang masih remaja seperti dugaan Aldo. Dilla putus sekolah saat hampir ujian kelulusan karena memilih mencari uang demi bertahan hidup.
Mereka berdua menjadi dekat dalam sekejap. Hingga suara di ponsel Aldo berdering dan menghentikan percakapan mereka.
"Itu pasti istri kamu." Ucap Dilla kini bicara santai dengan Aldo.
"Om aku, kamu juga semalaman menghubungi dia." Ucap Aldo memberi isyarat pada Dilla agar diam selagi dia bicara dengan Brama.
Suara tegas dari Brama memaksa Aldo meninggalkan Dilla. Aldo memberi uang kepada Dilla karena mau menampungnya semalaman. Hanya sampai di sana saja pertemuan mereka, pikir Aldo.
"Gadis yang menyenangkan," gumam Aldo.
Mobil Aldo tertinggal di bar semalam. Dia lantas naik taksi menuju kantor Brama. Tentunya, dia sudah menumpang mandi di apartemen Dilla sebelum pergi walaupun pakaiannya masih sama seperti semalam.
Ketika langkah kakinya sampai di ruang kerja Brama, dia melihat Dara duduk di samping Omnya. Dan kursinya pun sama!
Ada apa ini? Perasaan Aldo jadi gugup dan was-was tak karuan. Brama bukan pria yang mudah mengizinkan orang lain dekat-dekat dengannya. Apalagi, Dara baru saja mencuri dana proyek dari perusahaan Pranaja Group.
Tapi tunggu dulu!
Kenapa Dara masih bekerja di Pranaja Group setelah Brama mengetahuinya perbuatannya?
Jantung Aldo terasa seperti diremas-remas. Dia semakin berpikir macam-macam dan tak masuk akal.
"Kamu tidak mau duduk?" Tanya Brama.
Ada yang berbeda. Aldo dapat merasakan itu.
Dara memandangi dirinya tanpa ragu atau pun menunduk malu seperti dulu, juga tak menunjukkan rasa bersalah seperti terakhir kali mereka berjumpa.
"Kenapa Om memanggil aku?" Tanya Aldo dengan nada dingin.
Brama menyodorkan kertas tebal dan beraroma wangi.
"Setelah kamu membacanya, aku ingin agar kamu tenang dan mendengarkanku lebih dulu." Ucap Brama.
"Baik." Ucap Aldo menelan ludah susah payah.
Begitu memegang kertas itu, Aldo tak membuang-buang waktu untuk membukanya. Sedetik kemudian, mata Aldo melebar, dan jantungnya seakan berhenti berdetak.
Dia membaca tulisan itu berkali-kali, (Undangan Pernikahan Brama Pranaja dan Dara Vandella).
Tak ada yang berubah meskipun Aldo berkedip berulang-ulang!
"O-om, apa ini? Kenapa? Bukankah aku sudah bilang..." Ucap Aldo dengan suara tersekat di tenggorokan.
"Aku akan menikah dengan Dara Vandella. Ini demi menjaga reputasi keluarga besar kita." Ucap Brama mempertegas ucapannya.
Aldo tahu itu. Dia pun sadar jika batalnya pernikahan dirinya dan Dara akan mengundang gunjingan orang-orang.
Mereka bisa saja mengasihani Dara yang telah ditinggalkan. Namun, Aldo tak akan dibiarkan tenang karena dianggap mempermainkan putri tertua keluarga Fauza.
Sebenarnya, Aldo pun sudah mulai mendengar orang-orang mencibirnya. Bahkan, beberapa investor menarik kerja sama karena tak mau mengambil resiko dengan mempercayakan dana mereka kepada pemimpin yang plin-plan dan seenaknya memutuskan sebuah hubungan.
Oleh karena itu, Aldo akhir-akhir ini sibuk mendekati kolega-koleganya untuk memperbaiki keadaan sekaligus menghindari Ayra. Tak jarang juga dia hanya ingin melupakan semua yang ada dengan minuman keras.
Yang paling membuat Aldo terpuruk adalah penghianatan wanita di hadapannya. Aldo menatap nanar Dara yang juga melihat ke arahnya dengan tatapan yang sulit diartikan.
"Ini semua tidak perlu dilakukan, Om! Aku tidak butuh bantuan Om! Aku akan mengatasi masalah aku sendiri!" Bentak Aldo sambil menggebrak meja.
(Meskipun berpikir buruk tentang Dara, tapi masih belum bisa move on. Aldo, Aldo, jadi cowok kok plin-plan. Ingat! Dirimu sudah menjadi suami Ayra, alias si rubah licik 😂. So, See you next part...)