Saat Aku Bernafas Aku Berharap
"Ayo sekolah, supaya pintar, juga kaya, juga sukses!" Membaca sampul majalah. "Mungkin seandainya, boleh aku ubah. Maka, aku akan merubahnya. Ayo sekolah, supaya pintar, supaya bisa belajar mencintai kehidupan ini. Apapun dan bagaimanapun, status serta kondisi kita, kelak di kemudian hari," gumamku di dalam kamar.
Matahari sudah membumbung tinggi, semua putra-putri indonesia sedang bersiap-siap berangkat ke sekolahnya masing-masing. Begitu juga denganku.
Sesampainya di sekolahan, bel berbunyi, hampir saja terlambat.
"Pagi, anak-anak ... ."
"Pagi, Ibu Guru!" Seperti biasa kita kompak, berdiri dan menjawab salam.
"Keluarkan buku matematika kalian," tegasnya Ibu Guru, setelah mengabsen para murid dan memberi mukadimah pagi. Semacam motivasi kepada murid-murid supaya semangat dalam belajar.
Satu jam penuh kami menyimak dan mencatat rumusan yang diajarkan oleh Beliau, hari ini. Sampai jam pelajaran matematika pun, selesai. Dan berikutnya pelajaran kedua, Teknik Mesin.
Alangkah senangnya, bapak guru tidak bisa hadir. Dikarenakan ada halangan. Separuh kelas bersorak, termasuk aku. Hehehe.
Tetapi, Ketua Kelas kami menginstruksikan untuk belajar mandiri, berkelompok. Satu kelas dibagi menjadi tiga. Aku yang tidak mau kehilangan momen, langsung memilih kelompok yang sepemikiran.
"Bagas, kumpulin anak-anak ke sini saja," ucapku.
"Pasti dong ... " sahut Bagas seraya mengajak teman yang lainnya. "Ayo, kita kumpul di belakang ... ."
"Kelompok tiga di sini," teriakku di sela ramaiannya kelas.
Kelompok pertama dipimpin oleh Ketua Kelas, berjumlah lima belas siswa. Kelompok kedua dipimpin Wakil Kelas, berjumlah sepuluh siswa. Dan yang terakhir, kelompok oposisi. Aku, Bagas, Deni, Toni dan enam teman lainnya yang belum punya cita-cita.
"Raka, awas loh. Jangan ganggu kelompok yang lain," pinta Ketua Kelas setengah mengancam.
"Siap, Pak Ketua!" seruku sembari berdiri meluruskan badan serta memberi hormat.
"Agenda kita ngapain nih, Raka?" tanya Bagas.
"Kita jadi penonton saja," balas Toni.
"Daripada nonton Marto sama Untung, mending tiduran," celetuk Bagas.
Marto adalah ketua kelas kami, dan Untung wakilnya.
"Iya betul," sahut Deni dan teman lainnya mengiyakan.
Diantara tiga kelompok - kelompok kami yang paling berisik.
"Kalian mau nggak? Dengerin ceritaku," ocehku pada teman kelompok.
Bagas merespon. "Boleh juga tuh. Pasti tentang riana anak SMA satu itu, ya. Bagaimana, kelanjutan perjuangan kamu? Masih belum menyerah."
"Siapa itu riana? Cantik nggak?" Toni menatap Bagas.
"Nanti, kapan-kapan, aku kenalkan riana ke kalian. Jadi ... begini ceritanya," ucapku setengah sungguh-sungguh kepada mereka.
Cerita pun dimulai.
"Waktu itu, aku sedang bersama riana, jalan-jalan di dalam mall. Karena sudah muter-muter cukup lama. Aku berinisiatif untuk membelikan dia, cemilan dan minuman. Tiba-tiba, datang dua scurity penjaga," ucapku pada teman-teman.
"Ayo, ikut kami ke kantor." Menarik lenganku.
"Ada apa ini, Pak." Mataku melotot, kaget.
Semua pengunjung mall yang berada di sekitar tempat kasir, kompak memandangiku penuh curiga.
Tanpa sedikit pun, menjawab pertanyaan dariku, dua Scurity itu langsung membawa aku ke ruangan yang tak jauh dari tempat kasir. Wajahku memerah, badanku berkeringat, padahal sedang berada di ruangan yang ber-AC.
Riana hanya berdiri mematung tanpa berkata dan membelaku.
Sesampainya di dalam ruangan. "Keluarin semua yang ada di dalam kantongmu," perintah Scurity dengan wajah garang.
"Maksudnya?" tanyaku, merasa malu karena sudah diseret di depan umum secara paksa.
Dari arah belakang, dua tangan besar langsung meluncur kedalam kantong celanaku. "Masih sekolah sudah berani mencuri! Mau jadi apa kamu, besarnya nanti," ucap Bapak Scurity, nadanya tinggi.
"Kamu kelas berapa?" tanya Bapak Scurity satunya.
"Sebelas," jawabku datar.
"Panggil sekarang juga orang tuamu ke sini." Bentaknya keras.
Aku bertanya. "Salah aku apa?"
Kemudian ruangan menjadi hening.
Lama.
"Kalian tahu, kan. Apa yang aku rasakan saat itu?" ucapku pada teman-teman.
"Terus - terus bagaimana?" kata salah satu teman, balik bertanya, yang lain masih khusyu'.
"Selang beberapa waktu kemudian, sesuai permintaan Bapak Scurity. Ibuku datang mengetuk pintu," sahutku pada teman-teman.
Mereka masih mendengarkan dengan khusyu'.
"Tok, tok, tok ... ketukannya semakin lama semakin keras bersamaan dengan teriakkan memanggil namaku." Aku menatap teman-teman. "Raka, Raka. Raka ... AYO BANGUN ... SUDAH SIANG NANTI KAMU TERLAMBAT KE SEKOLAH! Aku kaget, buru-buru bangun dari tempat tidurku," ungkapku pada teman-teman.
Seketika ruangan kelas menjadi pecah, ada yang tertawa, juga marah, juga memukul-mukul meja, merasa dikerjain dan menyesal mendengar kisah yang aku ceritakan tersebut.
...***...
Aku tidak jauh berbeda seperti siswa-siswi lainnya. Waktunya belajar, aku gunakan untuk belajar. Waktunya istirahat, aku gunakan untuk istirahat, hanya kadang, sesekali aku ingin menjadi pusat perhatian, atau barangkali, mungkin aku butuh hiburan di sela-sela waktu kosong seperti sekarang ini.
Dan tentang riana, benar adanya, dia adalah cinta pertamaku. Walaupun aku tahu, dia hanya menganggapku sebagai teman, tidak kurang - tidak lebih. Namun, aku selalu berharap, dia mau menjadi pacarku.
Kita satu kampung tapi beda sekolah. Riana bersekolah di SMA favorit, sedangkan aku bersekolah di SMA kejuruan yang biasa-biasa saja. Siapapun bisa masuk di sini, tanpa standar nilai ataupun test ujian masuk.
Setiap hari aku selalu berjuang keras supaya bangun lebih awal, agar bisa naik angkutan umum bersamanya. Bangun pagi, ternyata tidak segampang yang aku kira. Berkali-kali aku terbangun karena dibangunkan oleh ibuku.
Sudah bisa ditebak, riana sudah berada di dalam kelasnya, sedangkan aku masih di dalam kamar mandi.
Dua purnama telah berlalu begitu saja, rinduku tebal tak terobati. Matahari baru saja bangun dari tidur malam yang panjang. Dari kaki cakrawala nun jauh, sinar mentari menyebar ke setiap sudut kota. Angin, burung dan suara kendaraan berpadu jadi satu, bertalu-talu. Dedaunan di ranting-ranting pohon melambai riang gembira, naik turun mengabarkan kemenangan kepadaku setelah semalaman aku terjaga.
Aku yang sedari tadi bergelut dengan rasa kantuk, akhirnya bisa tersenyum lebar.
"Tumben, pagi-pagi sekali sudah bangun," tanya Ibu, penasaran.
Aku hanya melempar senyum pada Ibu, dan bergegas menuju halte, tempat di mana, riana menunggu angkutan umum.
Tepat pukul 06.00 WIB. Aku sudah berada di lokasi. Tidak lama kemudian, sesuai prediksi. Dari arah barat, dia muncul dengan seragam putih dan rok abu-abu lima belas centimeter di atas lutut.
Kuning langsat warna kulitnya semakin bersinar terkena paparan sinar mentari. Wajahnya terlihat lembut, ikal hitam, dia punya rambut yang tergerai angin, tampak menggoda.
Jarakku dan Riana hanya satu langkah. Pikiranku sudah bimbang duluan, sesekali menggaruk-garuk kepala yang tidak gatal.
"Hai ... ." Sapanya.
"Hai, juga, bagaimana kabarnya?" balasku, gugup.
"Baik ... Kamu apa kabar? Tumben jam segini sudah ada di halte." Riana tersenyum.
Beruntung aku sudah menyiapkan beberapa kalimat untuk dijadikan bahan obrolan dengannya. Obrolan mengalir begitu saja, sembari menunggu angkutan umum datang.
"Itu ... " Riana menyetop angkutan umum.
Kita duduk berhadapan. Jalanan masih relatif sepi, angkutan melaju pelan di Jalan Wahidin Sudirohusodo, yang masih lenggang. Tanpa hambatan. Pemandangan pagi yang cerah membuatku bersemangat. Warung dan toko-toko di sepanjang jalan belum banyak yang buka. Angkutan terus melaju meninggalkan Jalan Wahidin Sudirohusodo.
"Kamu ambil jurusan apa?" tanya Riana tepat di depan mukaku.
"Teknik mesin," jawabku sembari menoleh ke belakang keluar jendela, tidak kuat menatap kerling matanya, bikin jantung mau copot.
"Oh ..." Riana mengecek isi tas.
"Aku mau minta tolong, boleh?"
"Minta tolong apa dulu nih," sahutnya Riana.
"Bantuin aku mengerjakan tugas, mau yah?" Aku setengah memaksa.
"Hmm ..." Riana berpikir sejenak. "Kenapa harus aku," tanya Riana.
"Pliss!" Aku memohon.
"Memangnya tugas apa?" Riana menatap.
Jantungku kacau. "Matematika. Sekalian ajarin aku caranya belajar biar mudah paham, bisa, kan." Menggaruk kepala.
"Kapan?" balasnya Riana.
"Secepatnya ... ." Meringis
Riana merespon, mengiyakan. "Atur saja deh, aku tunggu kamu di rumah." Menyisipkan rambut ke telinganya.
Satu per satu penumpang naik, bangku menjadi penuh. Kita berdesakan dengan Ibu-Ibu yang hendak pergi ke pasar dan beberapa siswa sekolah lain. Sepanjang jalan terlihat banyak proyek pembangunan gedung dan mall-mall megah berjejer di pinggir jalan raya.
"Aku duluan, yah." Riana pamit turun.
Aku mengiyakan. "Hati-hati."
***
Semenjak hari itu, aku sudah tidak pernah lagi terlambat pergi ke sekolah. Ibu pun, tak perlu repot-repot membangunkanku, berteriak di depan kamar. Pribadiku yang malas berubah seratus delapan puluh derajat, seperti ada energi baru yang merasuk ke tubuhku.
Setiap hari, kita berangkat sekolah bersama, bercanda dan tertawa. Rutinan belajar bersama dengannya berjalan lancar setiap seminggu sekali. Tanpa membolos satu kali pun, sampai tiba waktunya ujian kenaikan kelas besok pagi.
"Semangat, yah?" Riana tersenyum.
"Pasti, kamu juga." Langkahku gagah menuju rumah, sesekali menengok ke arah belakang.
"Besok jangan terlambat," suruhnya seraya melambaikan tangan.
Aku tersenyum kegirangan. "Oke!" Mengangkat tinggi-tinggi ibu jariku.
"Hati-hati ... ." Suaranya melambung ke udara, sayup-sayup, perlahan Riana masuk ke dalam rumahnya.
Malam ini langit begitu cerah, bulan purnama dengan sejuta keelokannya dikelilingi bintang-bintang membentuk pola-pola indah. Aku enggan memejamkan mata, seakan tidak rela hari ini berlalu begitu saja.
Satu tahun kemudian.
Hari ini, aku dan Riana janjian akan mengunjungi destinasi wisata di kota kita. Riana seperti biasa, tampil sederhana tapi mempesona.
"Maaf, sudah menunggu lama." Mengatur nafas.
"Nggak kok," ucapnya sambil berdiri, sejurus kemudian angkutan umum datang.
Angkutan umum melaju membawa kita ke Guci. Satu jam lebih tiga puluh lima menit, setelah melewati perjalanan yang dilewati ninja hatori. Akhirnya, kita sampai di tempat tujuan. Pemandangan dari atas bukit begitu indah. Aku tidak punya kosakata untuk menggambarkannya.
Lama, kita saling mencuri pandang tanpa bicara.
"Kenapa senyum-senyum," tanya Riana menggoda.
"Itu pemandangannya indah banget." Aku menuding sembarangan.
"Mana? Aku kok nggak lihat," ujarnya.
Aku panik segera mencari topik lain. "Bagaimana menurutmu ujian nasional nanti?" tanyaku sambil menyodorkan minuman. "Nggak terasa, kita sudah kelas dua belas. Ujian nasional sudah dekat saja."
"Hmm ..." gumamnya Riana.
"Apakah akan sulit," lanjutku sembari memandangi hamparan hijau yang luas di depanku.
"Bisa jadi," celetuknya sambil makan dengan mulut seperti ikan buntal.
"Kamu sudah siap."
"Siap, nggak siap harus siap," sahut Riana dengan mulut masih penuh makanan.
"Soalnya ujian nasional, kan bukan hanya persiapan belajar saja. Tapi kita harus siap mental juga."
"Tinggal dijalani, nggak perlu takut," sahutnya cepat.
"Iya juga sih." Garuk-garuk kepala yang tidak gatal.
Senja telah tiba, matahari tergelincir di ufuk barat. Semburat jingga mengindahkan semua yang disentuhnya, laut, juga hutan, juga perkampunganku tampak terlihat indah dari atas bukit.
"Kamu tahu, kenapa aku suka senja?" celetuk Riana dengan pandangan lurus ke depan.
Aku menggelengkan kepala sembari menatap wajahnya penuh rasa kagum.
"Sebab, pagi tempatnya orang bergemuruh mengejar kehidupannya masing-masing. Sedangkan, senja waktunya melepas lelah dari hiruk pikuk dunia," ucapnya lirih.
Aku memberanikan diri meraih tangannya. "Ayo, kita pulang."
Tanpa memandang, tanpa berkata, kita berjalan meninggal tempat wisata.
Hari beranjak gelap.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 40 Episodes
Comments
DityaR
Keren, semangat, Thor! /Smile/
2024-11-05
3
Delita bae
hadir di sini👍👍👍🙏
2024-11-13
0
sean hayati
Saya mampir thour,salam kenal dari saya
2024-09-17
0