Laura dan Morgan telah menjalin hubungan sejak mereka duduk dibangku SMA. Bahkan, Morgan berjanji ketika dewasa kelak dirinya akan menikahi Laura. Namun nasib berkata lain, tiba-tiba saja Morgan dijodohkan oleh orang tuanya dengan wanita lain.
Bagaimana nasib Laura kedepannya? Yuk simak kisah mereka
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon muliyana setia reza, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Penolakan Morgan Untuk Tidur Bersama
Sebulan lebih sudah Rani dan Morgan menjadi sepasang suami-istri dan menjalani kehidupan rumah tangga berdua saja di rumah milik Morgan, hadiah dari Ikhsan untuk putra semata wayangnya.
Sebulan lebih Rani tidak merasakan yang namanya tidur bersama, karena ia dan Morgan selalu tidur terpisah.
Bahkan, untuk sekedar menyapa pun tidak pernah dilakukan oleh keduanya.
Sebagai seorang istri, Rani mencoba untuk mendekati suaminya dan berharap cinta Morgan datang padanya. Akan tetapi, Morgan sama sekali tidak meliriknya dan hanya membuat Rani merasakan frustasi.
“Kak Morgan baru pulang?” tanya Rani mencoba menyapa suaminya yang baru saja pulang dari kantor.
Morgan tak menjawab dan malah melengos pergi tanpa ingin melihat wajah Rani.
Rani mengepalkan tangannya kuat-kuat melihat Morgan yang hanya berlalu pergi tanpa menoleh sedikitpun padanya.
“Aku harus melakukan apa lagi untuk bisa membuat Kak Morgan suka padaku? Aku sudah berdandan, berpakaian cantik dan aku bahkan memakai wewangian yang katanya bisa menggoda siapapun yang mencium wanginya. Akan tetapi, semua yang aku lakukan tak pernah berhasil. Kak Morgan terus saja cuek padaku dan menganggapku seperti musuh bebuyutannya,” ucap Rani bermonolog.
Morgan masuk ke dalam kamarnya dan tak lupa mengunci pintu kamarnya agar Rani tak bisa masuk. Sebelumnya, Morgan pernah tidak mengunci pintu kamarnya dan Rani masuk seenaknya seakan-akan itu kamar miliknya.
Rani dengan kesal berjalan menuju ruang tamu seraya merenungkan nasibnya.
“Apa keputusan untuk menikah dengan Kak Morgan adalah kesalahan besar? Tidak. Aku tidak boleh berpikiran seperti itu dan harus mencari cara agar Kak Morgan bisa melihatku,” gumam Rani.
Rani pun berteriak memanggil Bibi Har, pembantu yang bekerja di rumah itu.
“Ada apa, Nona?” tanya Bibi Har.
“Bi, pokoknya malam ini buatkan aku makanan yang enak,” ucap Rani.
Bibi Har mengiyakan dan bergegas pergi untuk melanjutkan pekerjaannya.
Waktu makan akhirnya tiba, Rani sengaja menahan diri untuk tidak makan agar bisa makan semeja dengan suaminya. Namun, cukup lama Rani menunggu Morgan tak kunjung datang yang membuat Rani semakin kelaparan.
“Bi, tolong panggilkan Kak Morgan dan minta dia untuk makan!” perintah Rani.
Bibi Har pun pergi menuju kamar Morgan dan meminta Morgan untuk segera keluar dari kamar karena waktunya untuk makan.
Morgan pun keluar dari kamarnya dan akhirnya ia pergi ke ruang makan.
“Kak Morgan mau makan apa?” tanya Rani sambil memberikan piring kosong kepada Morgan.
Rani belum mengerti apa yang harus ia lakukan sebagai seorang istri. Yang ia pikirkan hanya mendapat cinta dan cinta dari Morgan tanpa tahu bagaimanapun memperlakukan seorang suami dengan baik.
Morgan tak ingin menerima piring kosong terus, ia malah mengabaikan Rani dan mengambil piring yang berada dirak piring.
“Kak Morgan apa-apaan sih! Aku sudah berusaha baik dan Kakak malah mengabaikan aku seperti ini,” ucap Rani yang tak bisa menahan diri untuk tidak marah dengan sikap dingin Morgan padanya.
Morgan tidak ada waktu untuk berdebat, apalagi sampai meladeni Rani yang jelas-jelas sudah membuat hidupnya seperti terbelenggu.
Gara-gara pernikahan itu, ia tidak sanggup untuk menemui Laura dan Morgan pun tidak sanggup untuk melihat wajah kecewa dari kekasihnya itu.
Rani semakin kesal ketika melihat Morgan yang fokus dengan makanannya dan semakin dingin padanya.
“Kak Morgan, bicaralah padaku dan jangan sibuk makan seperti ini,” ucap Rani.
Bibi Har mencoba menenangkan Rani karena saat itu Morgan sedang menikmati makanannya. Namun, Rani bersikap acuh tak acuh hingga membuat Bibi Har terjatuh.
“Rani!!” Morgan berteriak membuat Rani terkejut hingga tak bisa berkata-kata.
Morgan bangkit dari kursi dan membantu Bibi Har untuk bangkit.
“Dari awal tingkahmu sangatlah kurang ajar. Kamu tidak bisa menghargai orang lain, terlebih lagi orang yang lebih tua darimu. Aku heran, bagaimana cara orang tuamu mendidik kamu hingga sebesar ini saja otaknya pun tidak digunakan,” ucap Morgan.
Morgan tidak pernah bicara, sekalinya bicara malah membuat tangisan Rani pecah.
Morgan pada akhirnya pergi dengan menyisakan setengah dari makanannya.
Rani mencoba mengejar Morgan, namun Morgan segera menepis tangan Rani yang ingin menyentuhnya.
“Kak Morgan, tolong jangan perlakukan aku seperti ini. Aku ini istri kakak, setidaknya lihat aku sebentar saja,” ucap Rani memohon.
Morgan pun masuk kedalam kamarnya dan dengan cepat Rani menyusul masuk.
“Keluar!!” Morgan mengusir Rani yang tiba-tiba masuk ke dalam kamarnya.
“Tidak. Rani tidak mau keluar dari kamar kakak. Rani mau kita tidur bersama, seperti suami istri pada umumnya,” tutur Rani bersikukuh untuk tetap berada dikamar Morgan.
“Keluar sekarang atau aku terpaksa berbuat kasar padamu,” tegas Morgan.
“Kakak kenapa sih harus bersikap dingin sama aku? Sebenarnya aku salah apa? Tidak bisakah malam ini saja kita tidur bersama!”
“Selamanya kita tidak akan pernah tidur bersama. Aku menolakmu dan sampai kapanpun aku tidak bisa menerimamu sebagai istriku. Terserah kamu anggap aku apa! Anggap saja aku sudah mati,” pungkas Morgan.
“Kak Morgan tidak bisa memperlakukan aku seperti ini. Kalau kakak terus seperti ini, aku akan memberitahu orang tua Kak Morgan,” ucap Rani mengancam Morgan.
“Silakan saja, lakukan sesukamu. Kamu pikir, aku takut dengan apa yang kamu katakan? Justru, aku bisa lebih mudah menceraikanmu.”
Morgan tak pernah kasar dengan wanita manapun, tapi kali ini pengecualian. Morgan menarik paksa Rani dan mendorong Rani keluar dari kamarnya.
Rani terjatuh dengan posisi kedua lututnya mencium lantai.
Rani menangis dengan posisi memeluk kedua lututnya. Susah sekali untuk bisa membuat Morgan mencintainya, bahkan selama sebulan itu Rani hanya merasakan yang namanya kesendirian.
Bibi Har mencoba mendekati Rani yang sedang menangis sembari meringkuk memeluk lututnya. Bibi Har kemudian menuntun Rani masuk kedalam kamar untuk beristirahat.
“Non yang sabar ya,” ucap Bibi Har mencoba menghibur Rani.
“Bibi jangan sok menceramahi aku. Aku kurang sabar apa lagi? Sekarang, bibi lebih baik keluar dari kamar aku, sekarang juga!!!”
Rani berteriak histeris dan melempar semua yang ada didekatnya, termasuk alat-alat make up dimeja riasnya.
“Aku adalah istrinya, tapi kenapa bukan aku yang diliriknya. Apa mungkin Kak Morgan pergi menemui Laura sialan itu,” ucap Rani sambil terus mengobrak-abrik isi kamarnya.
Rani menundukkan kepalanya karena merasakan perih di lututnya dan ketika Rani memperhatikan lebih jelas, rupanya kedua lututnya mengalami lecet.
Rani yang sebelumnya tidak pernah terluka, seketika itu juga memanggil Bibi Har untuk mengobati luka di lututnya yang jika diperhatikan hanya luka kecil biasa.
Bibi Har pun menuruti ucapan Rani dan mengoleskan salep khusus luka dilutut Rani secara perlahan.
“Bibi, bisa pelan tidak? Kalau kenapa-kenapa dengan lututku bagaimana?” tanya Rani dengan nada membentak.
Bibi Har hanya bisa meminta maaf dan kembali mengoleskan salep tersebut ke luka Rani.