Tipe pria idaman Ara adalah om-om kaya dan tampan. Di luar dugaannya, dia tiba-tiba diajak tunangan oleh pria idamannya tersebut. Pria asing yang pernah dia tolong, ternyata malah melamarnya.
"Bertunangan dengan saya. Maka kamu akan mendapatkan semuanya. Semuanya. Apapun yang kamu mau, Arabella..."
"Pak, saya itu mau nyari kerja, bukan nyari jodoh."
"Yes or yes?"
"Pilihan macam apa itu? Yes or yes? Kayak lagu aja!"
"Jadi?"
Apakah yang akan dilakukan Ara selanjutnya? Menerima tawaran menggiurkan itu atau menolaknya?
***
⚠️NOTE: Cerita ini 100% FIKSI. Tolong bijaklah sebagai pembaca. Jangan sangkut pautkan cerita ini dengan kehidupan NYATA.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon widyaas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28
Keringat dingin mulai bercucuran di pelipis Ara. Keningnya mengerut dalam, tak lama kemudian air matanya terjun begitu saja. Bibirnya terus bergumam aneh. Padahal matanya masih terpejam rapat.
"Bunda... Bunda... Ara bukan pembunuh, Bunda..."
Lama-lama tangisannya semakin kencang. Tangannya seperti sedang menggapai sesuatu tak kasat mata.
Ara mimpi buruk.
Hampir setiap malam dia selalu mimpi buruk. Itulah kenapa Ara sering meminum kopi dan berakhir begadang, karena dia takut tidur. Setiap tidur, Ara akan dibawa ke alam mimpi yang membuatnya menangis dan berakhir menyalahkan diri sendiri saat bangun.
"Ayah... Kakak... Ara bukan pembunuh..."
Tubuhnya meringkuk dan gemetar, namun matanya masih enggan terbuka.
Gevan yang baru saja kembali dari dapur pun mengerutkan keningnya mendengar suara tangis diiringi gumaman aneh. Buru-buru Gevan mendekati gadis itu.
"Ara?" Gevan mengguncang pelan pundak Ara, namun Ara masih setia memejamkan matanya dan semakin menangis keras.
"Ara!" Kedua tangan kekarnya menangkup wajah kecil Ara sembari menepuk pipinya dengan pelan.
Tak menyerah begitu saja, Gevan pun mengangkat tubuh mungil itu dan memangkunya. Sebelah tangannya sibuk menepuk-nepuk pipi Ara.
Hingga tak lama kemudian, usaha Gevan membuahkan hasil. Ara membuka matanya lebar-lebar dengan nafas tersengal-sengal. Badannya menggigil karena kedinginan, keringat dingin pun terus mengucur sampai membuat bajunya basah.
Ara menatap wajah tampan tunangannya dan langsung memeluk leher pria itu.
"Tenang, ya?" Gevan mengelus punggung rapuh Ara dengan lembut, berusaha memberi ketenangan untuk si gadis.
"Ara bukan pembunuh..." gumam Ara masih dengan nafas terengah seperti baru saja berlari 10 km.
"Iya, Ara..." Gevan menciumi puncak kepala Ara dengan lembut.
Setelah makan malam tadi, mereka berdua memutuskan untuk nonton film. Tapi, Ara ketiduran lebih dulu. Untung saja Gevan belum pulang.
Ara melepas pelukannya sambil mengusap bekas air matanya.
"Sudah tenang?" tanya Gevan. Dia mengusap kening Ara yang berkeringat.
Ara mengangguk. Gevan pun mengambil air yang ada di atas meja kaca depan mereka, lalu membantu Ara untuk minum.
"M-makasih..." kata Ara.
"Mau tidur lagi?" tanya Gevan.
Ara menggeleng. Dia takut mimpi buruk itu datang lagi. Gadis itu menyandarkan kepalanya di dada bidang Gevan. Karena sedari tadi Ara masih berada di pangkuan Gevan.
Gevan mengangguk paham. Pasti tidak mudah menjadi Ara. Gevan juga yakin jika setiap malamnya pasti mimpi buruk selalu datang saat Ara tidur. Lalu, bagaimana Ara bisa tidur nyenyak kalau seperti itu?
Keduanya masih diam, hanya suara detik jam saja yang terdengar.
"Jangan pikirkan apapun yang membuat kamu sedih, Ara," ucap Gevan.
"Iya..." Lain di hati lain pula di mulut. Padahal hati Ara sangat gelisah saat ini. Dia tak bisa tenang begitu saja, seolah dia benar-benar seorang pembunuh.
"Janji sama saya?"
"Iya..."
Tentu Gevan tau bahwa Ara berbohong. Terlihat tatapan matanya begitu kosong menatap lurus ke depan.
Itulah kehidupan Ara. Penuh kekosongan.
****
Paginya, Ara tak bisa melakukan apa-apa. Kepalanya pusing dan tubuhnya panas, dia juga baru saja muntah tadi. Untung saja tadi malam Gevan menginap. Tapi, dia tidur di sofa ruang tamu setelah berhasil membuat Ara tidur pulas dan memindahkannya ke kamar.
Dan pagi ini Gevan kembali repot karena harus mengurus Ara.
"Ke rumah sakit, ya?" kata Gevan membujuk.
Ara menggeleng. Ia menyandarkan kepalanya di dada bidang Gevan. Saat ini kedua manusia itu duduk di sofa yang ada di kamar Ara.
Gevan menghela nafas. Dia memberikan air hangat dalam gelas untuk Ara, ia juga membantu Ara minum.
"Sepertinya ini gara-gara kamu kebanyakan mengonsumsi mie sama kopi," ucap Gevan.
Ara langsung melirik sinis pria itu. Dia tak suka jika Gevan menjelek-jelekkan makanan dan minuman favoritnya.
"Nggak ada hubungannya!" ketus Ara. Meskipun sakit, dia masih bisa ngegas.
"Kamu mau bukti? Kalau gitu kita periksa ke dokter sekarang," tegas Gevan.
"Gak mau!"
"Ya sudah. Saya ambil stok mie sama kopi kamu yang ada di dapur. Biar kamu bisa belajar hidup sehat," ujar Gevan.
"Jangan ngatur aku!" kesal Ara.
"Saya gak bakal begini kalau kamu gak gitu, Ara," ucap Gevan ambigu.
Bibir Ara cemberut. Dia bergeser menjaga jarak dari Gevan. Entahlah, dia bad mood jika Gevan menyuruhnya berhenti makan ini itu, padahal semuanya adalah favoritnya.
"Saya bikin sarapan dulu," ucap Gevan. Dia tak membujuk Ara yang sedang ngambek.
Ara melihat punggung tegap itu dengan alis mengerut tak suka, bibirnya pun masih cemberut. Akhirnya dengan langkah pelan, Ara pun mengikuti Gevan.
Bubur adalah makanan yang biasa untuk orang sakit. Tapi, Ara bukan orang itu. Ara tidak terlalu suka bubur. Jadi ia berpesan pada Gevan sebelum pria itu bergerak.
"Aku gak mau bubur," ucap Ara.
"Hm. Saya tau," jawab Gevan. Dia membuka kulkas dan melihat isinya. Hanya ada daging ayam dan kentang wortel, karena yang lainnya sudah Ara habiskan untuk makan malam kemarin.
Ara mendengus mendengarnya sahutan Gevan. Ia memutuskan menunggu di meja makan sambil terus mengusap perutnya yang sedikit nyeri. Ara juga membawa minyak angin untuk dibalurkan di perut dan lehernya.
Tak lama kemudian, sup ayam buatan Gevan sudah matang. Aroma masakan pria itu selalu memanjakan indra penciuman Ara.
"Tolong ambilin sambel aku di lemari atas, Kak," pinta Ara tanpa bersalah.
Gevan yang sedang menyajikan sup ke dalam mangkuk pun melirik datar ke arah Ara.
"Gak usah nambah penyakit, Ra. Jangan membantah. Saya begini juga demi kesehatan kamu. Saya khawatir," ucap Gevan dengan cepat.
Ara yang tadinya ingin membantah segera mengatupkan bibirnya kembali.
Masa, sih, khawatir? Batin Ara tak percaya. Namun dia tetap diam dan menunggu Gevan menyiapkan semuanya.
"Pelan-pelan, masih panas," kata Gevan sembari meletakkan mangkuk berisi sup ayam buatannya dan juga nasi.
Ara mengangguk. Ia mulai mencicipi masakan Gevan yang tak pernah gagal itu.
Gevan menelpon Nike lebih dulu sebelum ikut menikmati sup ayam bersama Ara.
"Ya, Tuan?"
"Tolong belikan obat penurun demam dan pusing di apotek. Lalu antar ke alamat yang saya kirim nanti."
"Baik."
Sambungannya terputus. Setelah itu Gevan mengirim lokasi pada Nike, dia juga minta agar lebih cepat datangnya. Dan Nike hanya bisa menurut saja.
Ara mendengar percakapan mereka, tapi dia hanya diam, karena sup buatan Gevan terlalu enak jika diacuhkan. Bahkan dia berniat untuk nambah lagi nanti.
"Minum air hangat dulu, ya," kata Gevan sembari meletakkan segelas air hangat di samping Ara.
Ara mengangguk. "Makasih, Kak."
Gevan tersenyum tipis sambil mengusap rambut Ara.
Begitu telatennya Gevan merawat Ara. Jika dulu Ara sakit dan merawat diri sendiri, kali ini ada yang merawatnya dengan suka rela tanpa rasa terpaksa. Ara juga bisa merasakan ketulusan Gevan padanya.
***
LIKE LIKE LIKE LIKE LIKE LIKE LIKE LIKE LIKE LIKE LIKE LIKE
indah banget, ga neko2
like
sub
give
komen
iklan
bunga
kopi
vote
fillow
bintang
paket lengkap sukak bgt, byk pikin baper😘😍😘😍😘😍😘😍😘