Kapan lagi baca novel bisa dapat hadiah?
Mampir yuk gaes, baca novelnya dan menangkan hadiah menarik dari Author 🥰
-------------------
"Aku akan mendapatkan peringkat satu pada ujian besok, Bu. Tapi syaratnya, Bu Anja harus berkencan denganku."
Anja adalah seorang guru SMA cantik yang masih jomblo meski usianya sudah hampir 30 tahun. Hidupnya yang biasa-biasa saja berubah saat ia bertemu kembali dengan Nathan, mantan muridnya dulu. Tak disangka, Nathan malah mengungkapkan cinta pada Anja!
Bagaimana kelanjutan kisah antara mantan murid dan guru itu? Akankah perbedaan usia di antara keduanya menghalangi cinta mereka? Ikuti kisah mereka di sini!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon HANA ADACHI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
12. Emosi
"Kak Raffi nggak ingat? Kemarin kan kita ketemu di restoran,"
Raffi terbelalak mendengar ucapan Nathan. Bagaimana bisa anak ini tau aku pergi ke restoran kemarin?
Raffi memperhatikan wajah Nathan dengan seksama. Setelah beberapa lama, ia baru menyadari kalau anak yang ada di depannya saat ini adalah pelayan di restoran hotel tempo hari.
Sial! Dari semua orang, kenapa harus bertemu dia?
"Sepertinya kamu salah orang," Raffi mencoba mengelak. "Aku bahkan baru datang dari Jakarta hari ini,"
"Oh ya?" Nathan tersenyum miring. "Tapi aku ingat betul. Nama rekening saat aku mengirim uang ganti rugi adalah Raffi Anugrah Surya Atmaja, persis dengan nama yang ada di situ," Nathan menunjuk id card kantor milik Raffi yang tergeletak di dashboard.
"Ada berapa kemungkinan ya untuk dua orang berbeda punya wajah dan nama yang sama persis?" lanjutnya lagi.
Tangan Raffi terkepal dan wajahnya memerah. Ia telah kalah telak. Dengan cepat, ia meraih kerah baju Nathan.
"Apa mau Lo, hah?!"
"Oh, sekarang wajah aslinya baru keliatan," Nathan tergelak. Wajahnya kemudian berubah serius. "Lepasin Bu Anja. Lo nggak pantas untuk bersanding dengan wanita sesempurna dirinya,"
Raffi mendengus. "Lo suka sama cewek gue?"
"Iya. Jadi lepasin dia dan biar gue yang mengambil alih,"
"Hahaha," Raffi tergelak. "Lo pikir Anja bakalan nerima bocah ingusan kaya Lo?!"
"Bocah ingusan kaya gue jauh lebih baik dari cowok tukang selingkuh kaya Lo!"
"B*ngsattt!" Emosi Raffi benar-benar sudah di ujung tanduk. Tapi ia menahan tinjunya karena melihat Anja yang sudah berjalan kembali ke mobil. Ia melepaskan cengkeraman tangannya dan memelankan suara.
"Kalau gue nggak mau lepasin Anja, apa yang bakal Lo lakuin?"
"Gue akan kasih tau dia semua kelakuan Lo," Nathan menatap Raffi penuh kebencian.
"Silahkan," Raffi tersenyum licik. "Lo pikir Anja bakalan percaya? Inget, gue itu pacarnya yang sudah menjalin hubungan selama enam tahun. Sedangkan Lo, cuma salah satu murid yang baru dia kenal selama beberapa bulan. Di antara kita, siapa menurut Lo yang bakalan dia percaya?"
Nathan menggertakkan giginya. Sial, ia tak memperhitungkan hal itu.
"Lagian, kalau Lo ngomong sama Anja, Lo bakal bikin guru kesayangan Lo itu sedih dan terluka. Lo mau hal itu terjadi? Nggak, kan? Jadi, saran gue, lebih baik Lo diem aja dan belajar yang bener, adik kecil." Raffi menepuk-nepuk pipi Nathan. Nathan langsung menepis tangan Raffi dengan tatapan benci.
Sementara itu, Anja, yang sudah melangkah mendekati mobil Raffi terkejut saat melihat Nathan keluar dari dalam mobil.
"Mau kemana Nathan?"
"Oh, aku turun di sini aja Bu," ucap Nathan sambil tersenyum.
"Loh, tapi ini kan masih jauh dari sekolah!"
"Nggak apa-apa Bu, kebetulan aku ada urusan di dekat sini," bohong Nathan.
"Oh, begitu. Ya sudah, hati-hati ya pulangnya. Jangan lupa, besok sudah masuk sekolah seperti biasa. Les privat kita juga akan dimulai lagi,"
"Baik Bu," Nathan mendekati Anja dan mencium tangannya. "Bu Anja juga hati-hati di jalan,"
"Terima kasih," ucap Anja sambil tersenyum, lalu melangkah masuk ke dalam mobil. Nathan hanya mampu memperhatikan gurunya itu dari jauh dengan tangan terkepal menahan marah.
Di dalam mobil, Anja merasakan ada perubahan pada suasana hati Raffi. Laki-laki itu tampak gelisah dan kesal sendiri.
"Sayang," Anja menyentuh bahu Raffi lembut. "Kamu nggak apa-apa?"
Raffi menghela napas panjang. "Aku nggak suka sama muridmu itu,"
"Hah?" Anja mengernyitkan dahi. "Maksud kamu Nathan? Kenapa? apa dia mengatakan sesuatu yang tidak sopan? Maaf ya, Nathan memang begitu anaknya, agak rebel. Aku harap kamu maklum,"
"Kenapa kamu malah membela dia, sih?!" Raffi yang penuh emosi menaikkan volume suaranya. Anja sampai sedikit terlonjak karena terkejut.
"Aku nggak ngebelain dia, Raffi. Aku hanya bilang kalau Nathan memang sikapnya begitu, jadi aku ingin kamu sebagai orang dewasa untuk memakluminya,"
"Ya sama aja itu kamu belain dia!" Raffi semakin ngegas. "Mulai sekarang, aku minta kamu untuk nggak deket-deket sama dia lagi!"
"Loh, tapi kan dia anak muridku, dan aku adalah wali kelasnya. Gimana caranya untuk nggak deket-deket sama dia, coba?"
"Ya usaha kek! Kamu pindah kelas apa gimana!"
"Astaga, Raffi.. Kamu kenapa, sih? Jangan kaya gini dong. Kamu kan tau kalau aku baru masuk kerja beberapa bulan. Ya masa aku udah langsung minta ganti kelas sih? Apa kata kepala sekolah dan rekan-rekan kerjaku coba? Sudahlah sayang, jangan kebawa emosi, oke?"
"Anak ingusan itu suka sama kamu! Dia bilang padaku suruh ngelepasin kamu! Gila nggak, sih?! Siapa yang nggak emosi coba kalau digituin!"
"Astaga, jadi kamu emosi cuma gara-gara anak itu bilang suka padaku? Raffi, sepertinya kamu salah paham. Mungkin maksud Nathan, dia menyukaiku sebagai gurunya, bukan rasa suka seperti yang kamu pikirkan."
"Oh, jadi sekarang aku yang salah?!"
"Astaga... Bukan begitu Raffi..."
"Jadi gini, rasanya udah berjuang tapi malah nggak dihargai!" Raffi menggelengkan kepala dengan frustrasi. "Kamu tahu nggak? Aku udah jauh-jauh datang ke sini demi ketemu kamu! Aku sampai bela-belain cuti dari kerja, nyetir lima jam! Tapi kayaknya kamu nggak ngelihat usahaku sama sekali dan malah sibuk ngebelain cowok lain!"
Anja menghela napas panjang. Ia memandangi Raffi dengan campuran lelah dan kecewa. Ini bukan pertama kalinya Raffi terlalu terbawa emosi, dan setiap kali hal ini terjadi, ia selalu merasa tidak didengar.
"Raffi, dengar dulu," ucap Anja, suaranya lebih tenang. "Aku tahu kamu berjuang. Aku menghargai itu. Tapi kamu harus mengerti, aku punya tanggung jawab sebagai guru. Kamu nggak bisa nyuruh aku menjauh dari muridku hanya karena kamu cemburu. Itu nggak adil."
Raffi mendengus, menatap lurus ke depan. "Nggak adil? Apa menurut kamu, perasaanku sekarang adil?"
Anja merasa semakin sulit menahan diri. "Ini bukan tentang keadilan perasaan, Raffi. Ini tentang bagaimana kita bisa saling percaya. Kamu nggak bisa terus-terusan cemburu sama murid-muridku. Nathan cuma anak remaja yang sedang mencari arah hidupnya, dan aku harus ada di sana sebagai pembimbing, bukan malah menjauhi dia."
Raffi memutar matanya. "Pembimbing? Kayanya dia lebih dari sekadar murid buat kamu sekarang."
"Raffi!" Anja meninggikan suaranya, jarang sekali ia kehilangan kontrol seperti ini. "Cukup! Kamu harus berhenti berasumsi yang nggak-nggak tentang aku dan Nathan. Dia cuma muridku, itu saja. Masalah ini terjadi bukan karena dia, tapi karena kamu yang nggak percaya padaku."
"Sekarang kamu bahkan berani membentak aku demi cowok lain,"
"Astaga.." Anja menarik napas panjang lagi. Ia tahu percakapan ini akan sia-sia. Pada akhirnya dia memilih untuk diam.
Karena mereka berdua sama-sama terdiam, suasana di dalam mobil terasa semakin tegang. Hening yang berat menggantung di antara mereka, seolah-olah kata-kata berikutnya akan menentukan arah hubungan mereka selanjutnya. Anja menoleh keluar jendela, melihat Nathan yang masih berdiri di tepi jalan, sosoknya semakin kecil dalam pandangan. Cowok itu masih terus memandanginya dengan ekspresi yang sulit diartikan.
kamu g tahu aj sebucin apa Nathan