(Siapkan kanebo kering untuk menyeka air mata juga mental yang kuat untuk marah-marah!)
Sheila, seorang gadis culun harus rela dinikahi secara diam-diam oleh seorang dokter yang merupakan tunangan mendiang kakaknya.
Penampilannya yang culun dan kampungan membuatnya mendapat pembullyan dari orang-orang di sekitarnya, sehingga menimbulkan kebencian di hatinya.
Hingga suatu hari, Sheila si gadis culun kembali untuk membalas orang-orang yang telah menyakitinya di masa lalu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kolom langit, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Prolog
Di sebuah makam yang masih basah, seorang gadis remaja sedang bersimpuh menangisi seseorang yang telah berada di peristirahatan terakhirnya.
Isakan demi isakan terus menggema di tempat itu. Hingga hari menjelang sore. Langit yang mendung pun seolah mewakili perasaan gadis belia itu. Sheila, seorang gadis malang yang baru beberapa Minggu ditinggal keluarga yang dimilikinya satu-satunya.
"Kak, Kenapa kakak meninggalkanku secepat ini? Kasihanilah aku, Kak! Aku tidak punya siapa-siapa lagi sekarang." Gadis itu menangis hingga sesegukan, menyalahkan takdir yang terasa begitu kejam padanya.
Di belakang sana, seorang pria tampan, berpostur tubuh tinggi menatap punggung gadis belia itu.
Marchel Aditya Mahesa, adalah seorang dokter ahli jantung. Lelaki itu tidak pernah membayangkan sebelumnya bahwa dirinya akan menikahi salah seorang pasiennya, Sheila Bianca Azzahra, seorang gadis remaja berusia 17 tahun dan masih tercatat sebagai siswa SMA kelas tiga di salah satu sekolah swasta di kotanya.
Bukan tanpa alasan, Marchel yang notabene seorang dokter tampan, keren dan digilai banyak wanita mau menikahi seorang gadis yang sama sekali bukan seleranya. Sheila hanya seorang gadis remaja culun dengan kacamata tebal.
Demi memenuhi janji pada mendiang tunangannya Shanum, Marchel terpaksa menikahi Sheila yang merupakan adik Shanum.
Shanum, adalah seorang arsitek cantik berusia 27 tahun. Nasib naas menimpanya ketika dirinya mengalami sebuah kecelakaan di tempat kerja yang membuatnya terluka parah sehingga nyawanya tak tertolong.
Sebelum menghembuskan napas terakhirnya, Shanum telah menitipkan adik kesayangannya pada Marchel dan memintanya menikahi Sheila secara diam-diam dan rahasia. Marchel pun masih dipenuhi pertanyaan, mengapa Shanum meminta menikahi adiknya, namun berpesan agar pernikahan itu ditutupi untuk sementara waktu hingga Sheila berusia 21 tahun.
Hari beranjak sore, Marchel mendekati Sheila yang masih bersimpuh di sisi makam itu.
"Sheila, ayo kita pulang. Hari sudah sore," ucap Marchel yang masih berdiri di belakang Sheila.
Gadis kecil itu menyeka air matanya yang seakan enggan berhenti mengalir. Sesaat kemudian dia berdiri, menatap laki-laki yang sudah berstatus suaminya itu.
"Aku mau pulang ke rumahku saja. Boleh kan?" tanya Sheila dengan tatapan sendunya.
Marchel menghela napas berat, mencoba melepaskan semua beban di hatinya, "Tidak! Shanum menitipkanmu padaku, dan aku sudah berjanji akan menjagamu. Ayo!"
Marchel melangkahkan kakinya menjauh, dengan terpaksa Sheila mengekor di belakangnya. Hingga tiba di depan gerbang pemakaman itu. Marchel berjalan ke arah sebuah mobil yang terparkir di sisi jalan lalu membukakan pintu mobil itu untuk Sheila. Gadis itu pun melangkahkan kakinya yang terasa berat, lalu naik ke mobil.
Sepanjang perjalanan air matanya terus mengalir, tak ada suara, tak ada isakan. Hanya deraian air mata yang mampu menjelaskan betapa perih luka di hatinya. Sheila kehilangan satu-satunya keluarga yang dimilikinya, satu-satunya orang yang paling mencintainya di dunia. Sosok kakak kesayangannya.
Dua puluh menit berlalu. Mobil itu memasuki halaman sebuah rumah besar dengan taman yang luas. Untuk pertama kalinya, Sheila menginjakkan kaki di rumah itu sebagai istri Dokter Marchel.
Sheila baru saja diizinkan pulang setelah sebulan lamanya dirawat di rumah sakit setelah menjalani operasi transplantasi jantung. Bahkan gadis kecil itu tidak dapat menghadiri pemakaman kakaknya karena terbaring di rumah sakit.
"Ini rumahku, mulai hari ini kau akan tinggal di sini bersamaku," ucap Marchel saat mobil itu berhenti.
Marchel turun dari mobil diikuti Sheila. Gadis culun itu mengedarkan pandangannya pada rumah mewah itu. Sangat berbeda dengan huniannya sebelumnya bersama sang kakak. Mereka hanya tinggal di sebuah rumah minimalis peninggalan orang tua mereka.
Marchel kemudian mengeluarkan koper milik Sheila dari bagasi mobilnya, lalu memanggil seorang pria yang sedang berjaga di pos untuk membawa koper itu masuk ke rumah.
***
Jika seorang istri akan disambut hangat oleh anggota keluarga saat kedatangannya untuk pertama kali ke rumah suaminya, maka tidak dengan Sheila. Tidak ada penyambutan istimewa untuknya.
Di ambang pintu, seorang wanita paruh baya menatapnya dengan tatapan permusuhan. Ya, itu adalah ibu mertuanya. Ibu kandung Marchel.
Jika sang ibu sangat menyukai Shanum, maka berbeda dengan Sheila. Wanita itu menatap Sheila bagaikan serangga berbahaya yang harus segera disingkirkan. Bisa jadi rumah itu akan menjadi neraka bagi si malang Sheila yang kini hidup sebatang kara.
"Bu... Mulai hari ini Sheila akan tinggal bersama kita," ucap Marchel saat sudah berada di hadapan dengan sang ibu.
Sheila mengulurkan tangannya hendak mencium punggung tangan mertuanya itu, namun wanita itu seolah jijik bersalaman dengan gadis itu. Malu-malu, Sheila menundukkan kepalanya. Marchel yang melihat raut tidak suka dari ibunya hanya berdiam diri.
"Bibi Yum, tolong antarkan Sheila ke kamarnya," pinta Marchel pada seorang asisten rumah tangga.
Wanita itu segera mengajak Sheila menuju kamarnya yang berada di lantai dua, tidak jauh dari kamar Marchel.
Ibu menghela napas panjang, mengingat keputusan mendadak Marchel yang menikahi seorang gadis remaja tanpa seizinnya membuatnya naik pitam.
"Marchel, kenapa kau harus menikahi anak itu? Coba lihat dia! Dia benar-benar tidak pantas untukmu," ucap ibu dengan nada kesal.
"Bu... Sudahlah, jangan membahas itu!" Marchel mencoba menghindari pembicaraan itu namun ibu terus mengekor di belakangnya.
"Dia sangat berbeda dengan Shanum. Jika teman-teman ibu tahu kau menikahi gadis seperti itu, ibu akan jadi bahan tertawaan mereka."
Marchel mulai kesal dengan ucapan ibunya yang terus saja mendebatnya. Sejak kepergian Shanum, Marchel kadang tak bisa mengontrol emosinya. Kadang dia diam, kadang marah. dan kadang terlihat sedih.
"HENTIKAN, BU!" bentak Marcel mengagetkan wanita yang telah melahirkannya ke dunia itu. "Ibu pikir aku benar-benar ingin menikahinya? Apa ibu pikir aku senang? Aku bahagia, begitu? Tidak, Bu! Aku juga tidak mau menikahi Sheila. Aku tidak mencintainya dan tidak akan pernah! " Marchel mulai menunjukkan sisi lemahnya sebagai seorang laki-laki. Matanya mulai berkaca-kaca.
"Aku sudah berjanji pada Shanum akan menjaga dan menikahi adiknya. Hanya itu hal terakhir yang bisa ku lakukan untuknya. Aku juga tidak mau terjebak dalam pernikahan seperti ini, Bu. Tapi aku bisa apa selain menjalaninya."
"Kau kan bisa menjaga dan merawatnya tanpa harus menikahinya, kan?"
"Shanum membuatku berjanji untuk menikahi adiknya, Bu. Aku tidak punya pilihan." Marchel memejamkan matanya kasar. Mengingat janji terakhir yang diucapkannya pada mendiang kekasihnya sebelum menghembuskan napas terakhirnya.
Tanpa mereka sadari, Sheila telah mendengar pembicaraan itu. Dia bersandar dan bersembunyi di balik sebuah pilar besar. Napasnya berat, air mata seolah mendobrak keluar. Jika boleh memilih, Sheila pun tak ingin berada dalam situasi ini.
Di usianya yang masih 17 Tahun, dia harus kehilangan segalanya dan terjebak ke dalam sebuah pernikahan yang tak diinginkan. Bahkan Sheila masih berstatus sebagai pelajar.
Sheila menyandarkan punggungnya Di balik pilar itu, menghapus air mata yang jatuh tanpa izin.
Di sinilah Sheila sekarang, di dalam sebuah istana yang seolah akan runtuh menimpanya. Entah takdir apa yang sedang menantinya. Akankah Sheila menemukan kebahagiaan di rumah itu, ataukah rumah itu hanya akan menjadi penjara untuknya.
*****
Bersambung
PERINGATAN!!!
NOVEL INI BANYAK PART SEDIH YANG MEMBUAT EMOSI NAIK TURUN.
HARAP BIJAK DALAM MEMBERI KOMENTAR