Kejadian di toko bunga sore itu menorehkan luka yang dalam di hati Alisa.
Erwin, duda kaya raya yang merupakan pelanggan setianya, tega merenggut mahkota kebanggaannya dengan paksa.
Dendam dan kebencian meliputi Alisa.
Berbeda dengan Erwin, dia justru menyesali perbuatannya.
Berawal dari rasa frustasi karena di vonis mandul oleh dokter. dia khilaf dan ingin membuktikan pada dunia kalau hal itu tidaklah benar.
Sayangnya.. pembuktian itu dia lakukan pada Alisa, gadis belia yang sepantasnya menjadi putrinya.Penyesalannya berubah simpati saat mengetahui Alisa bisa hamil karena perbuatannya. dia meminta Alisa mempertahankan benihnya itu.
Berbagai cara dia lakukan untuk mendapatkan maaf Alisa, ibu dari calon anaknya. Mampukah Erwin mendapatkan maaf dari Alisa? kita ikuti kisah selengkapnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon balqis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28
Erwin merasa lega. Keluarga kecilnya sudah kembali berkumpul lagi. Ada Alisa yang semakin perhatian padanya, juga ada Langit yang semakin pintar.
Malam itu setelah makan malam dan bermain dengan Langit sebentar, Alisa mengunci diri di dalam kamarnya.
Ia ingin memastikan ponsel siapa yang di temuinya di dalam mobil Erwin? Lalu apa isinya? Karena penasaran, dia berusaha membukanya.
"Ternyata memakai sandi, bagaimana aku bisa membukanya?"
Alisa kebingungan sendiri. Lalu ia terbayang raut wajah cemas Valery tadi saat mereka berpapasan di tangga.
"Apa mungkin ini miliknya Valery? Lalu untuk apa dia menyembunyikannya dari Om Erwin?"
Tiba-tiba Erwin mengetuk pintu kamarnya.
Alisa panik dan menyembunyikan benda itu di bawah bantal.
"Alisa, kau sedang apa?"
"Iya, Om. Aku segera keluar...!"
Wajah Alisa menyembul dari balik pintu.
"Kau mengunci kamar ini seakan ada sesuatu yang sedang kau kerjakan.." ucap Erwin asal.
"Tidak.. Aku hanya sedang di kamar mandi, aku tidak mau orang nyelonong masuk tanpa sepengetahuanku."
"Kau sudah janji kita akan tinggal satu kamar kalau kau sudah siap, apa sampai sekarang kau belum siap juga?" goda Erwin.
"Kalau iya.. Kenapa?"
"Terpaksa, Om harus melanjutkan puasa." jawab Erwin acuh.
Alisa terkesiap.
"Kalau masih masih mampu, puasa dapat pahala lho, Om." Alisa balik menggodanya.
"Tapi kalau suami mu sudah tidak mampu lagi? Bukankah kau berkewajiban menghilangkan dahaganya?" Erwin menggenggam tangan istrinya, lalu menatapnya dengan kerinduan yang sangat.
Tiga tahun semenjak Valery meninggalkannya membuat dia harus menahan hasrat biologisnya. Sebagai orang kaya dan pengusaha sukses, dia sulit baginya mendapat tempat untuk memenuhi kebutuhannya yang satu itu. tepi Erwin berjanji hanya akan melakukannya dengan istri sah nya saja.
Dan sekarang, Alisa si gadis cantik dan mungil itu adalah sah istrinya, dosa kah bila dia mengharapkan hal yang satu itu?
Alisa tersipu. dengan wajah tertunduk.
Dia sungguh tidak berani menatap mata suaminya itu.
Erwin menarik tubuh mungilnya lebih dekat lagi sambil membelai wajahnya.
Merasa Alisa tidak menolak, dia berkata lagi,
"Om, tau kau masih trauma dengan masa lalu, tapi kalau tidak di coba, kapan kau akan sembuh?"
Erwin semakin berani meraba tengkuk gadis itu. Alisa mendesah pelan. Saat itu dia lupa kalau pernah benci dan menaruh dendam pada pria itu. Yang ada, dia menikmati setiap hembusan nafas Erwin yang begitu dekat dengan wajahnya.
Perlahan Erwin mengangkat tubuh Alisa ke pembaringan dengan lembut.
Setelah itu, dia menutup pintu rapat-rapat.
Alisa pasrah, dia berusaha menahan gejolak di dalam dadanya,tapi sia-sia saja. Apalagi saat Erwin menghampirinya dengan deru nafas yang memburu.
"Om, Janji akan melakukannya dengan pelan-pelan. Apa kau sudah siap?" bisiknya dengan lembut.
Alisa mengangguk samar.
Erwin tidak ingkar janji, dia benar-benar memperlakukan Alisa dengan lembut. Setiap memasuki babak baru dalam ritualnya itu, dia pasti bertanya dulu.
Lama kelamaan, Alisa menikmati setiap sentuhannya. Dia merasa pria yang sedang bersamanya saat ini bukanlah Erwin yang seperti saat itu.
Merasa Alisa mulai menikmati permainannya, Erwin semakin agresif. Tidak perlu menunggu lama, kamar yang remang-remang itu sudah di hiasi dengan desahan yang saling bersahutan.
***
Alisa membuka mata saat pagi mulai menjelang.
Dia sedikit kaget mendapati dirinya tengah polos berada di bawah selimut bersama Erwin. Pria itu terlelap di sampingnya. Entah berapa ronde mereka lewatkan semalam,Alisa tidak begitu ingat. Yang jelas, Erwin seperti musafir yang sedang menemukan oase di Padang pasir. Dia melampiaskan semuanya.
"Ini lah hidupku sekarang, dialah suamiku, dia adalah ayah dari anak ku.." gumamnya pelan.
Alisa menatap wajah Erwin yang tertidur lelap.
Perlahan dia bangkit hendak ke kamar mandi.
Tapi suara Erwin mengejutkannya.
"Terima kasih untuk semuanya.."
Alisa berbalik dan tersenyum.
"Sudah pagi, Om. Apa Om, tidak ke kantor?"
"Tentu saja sayang.. tapi aku merasa lemas sekali, kau sudah menguras stamina ku semalam." goda Erwin sambil tersenyum penuh arti.
Alisa tersipu malu dan langsung menuju kamar mandi.
"Alisa, tunggu..!" Alisa menghentikan langkahnya.
"Kita mandi bersama.." bisik Erwin di telinganya.
"Jangan, Om. Aku malu." sergah Alisa kaget.
"Kenapa masih malu, aku suamimu." Erwin mencoba mengingatkan.
Alisa tidak bisa menolak saat pria kekar itu sudah membopongnya ke kamar mandi.
Tidak bisa di hindari, rondenya harus bertambah di kamar mandi.
Alisa menyiapkan baju Erwin dengan bersemangat. Tak lupa dia mengantarkan kopi kesukaannya.
Sambil merapikan tempat tidur dia tersenyum sendiri membayangkan kejadian semalam di ranjang itu.
"Kau senyum-senyum sendiri, terbayang yang semalam, ya? Apa mau di tambah lagi?" goda Erwin sambil merengkuh pinggangnya.
"Apaan sih, Om?" jawabnya malu-malu.
Erwin meneguk kopi yang di sodorkan istri kecilnya.
"Bagaimana rasanya? Maklum, aku jarang membuat kopi." ucapnya cemas.
Mata Erwin berbinar.
"Hmmm.. Benar-benar pas. Sangat nikmat."
Mendengar pujian itu, Alisa malah merasa ragu. Bagaimana mungkin enak, dia selalu di olok oleh Adit kalau dia tidak bisa membuat kopi. Dan memang benar saat dia mencoba kopi buatannya selaku tidak pas.
"Masa, sih? Mana biar aku coba." Alisa meraih kopi itu, tapi Erwin menjauhkannya.
"Kau membuatkan untuk, Om. Kenapa harus di minta lagi?"
"Penasaran saja, ingin tau rasanya."
"Enak, kok. Percaya saja." Namun bukan Alisa namanya kalau segampang itu menyerah dari keinginan tuannya.
Dia merebut paksa dan meminumnya. Erwin meringis kecil.
"Huekk..!"
"Kayak gini, Om bilang enak?"
"Iya, kau membuatnya dengan tulus, kan? Itu nilai plus yang bisa membuatnya enak di lidah." jawab Erwin
Alisa menggeleng, begitu besar pria itu menghargainya.
"Terima kasih, baru sekarang aku merasa ada orang yang benar-benar menghargai perasaanku.." ucapnya terharu.
"Om akan selalu menghargai dan menghormatimu. selalu..!" Erwin menepuk pundaknya.
"Oh,ya. Bagaimana kabar hotel yang bermasalah itu?" Alisa berusaha mengalihkan pembicaraan.
"Kata Valery sih, sudah bisa di tangani oleh pengacaranya. Baguslah, Om tidak usah pergi kesana dan harus meninggalkanmu dan Langit." Jawa nya acuh.
Alisa menatapnya prihatin.
"Kau tidak tau kalau ini adalah akal-akalan Valery saja."
"Kenapa? Sepertinya justru kau yang antusias pada masalah itu?"
'Bukannya begitu, tapi aneh saja."
"Aneh bagaimana?"
Alia tidak mungkin mengatakan kecurigaannya, bisa-bisa suasana yang sudah menghangat itu kembali berjarak karena Erwin pasti membela Valery.
"Aneh saja, itu sih menurutku. Tapi kalau menurut, Om tidak apa-apa, lupakan saja."
Erwin mencium keningnya.
"Ayo kita sarapan."
Dengan riang Alisa mengikuti langkah suaminya turun. Dari meja makan, Valery memperhatikan suami istri itu.
Dia merasa muak melihat wajah mereka yang penuh senyum.
"Apa yang terjadi? Mereka terlihat sangat bahagia." ucapnya dalam hati.
Saat melewati kursi Valery, Alisa sengaja mengibaskan rambutnya yang setengah basah. ia sengaja tidak mengeringkannya untuk memanas-manasi wanita itu.
Valery terkejut.
"Rambut gadis ini masih basah, dan bibir mereka tidak berhenti tersenyum, apa artinya ini?"
"Terimakasih.." ucap Erwin dengan senyum lebar saat Alisa mengoleskan selai ke rotinya.
"Aku akan belajar memasak untuk membuatkan Om bekal makan siang." ucapnya riang.
"Oh, ya, Spa dulu Tante juga sering membuatkan bekal makan siang untuk Om Erwin?"
Valery gelapan karena tidak menyangka Alisa bertanya padanya.
"Iya, eh.. maksudku, Bibik yang memasaknya.' jawabnya belepotan.
Erwin hanya tersenyum kecil sambil mengunyah.
"Kalau tidak, aku harus memasak sendiri untuk suami ku." ucap Alisa gembira.
Valery semakin muak dengan tingkah Alisa.
Dia mohon diri dari meja makan.
"Tante, sarapannya belum habis, lho.'
Valery tidak perduli.
Di kamarnya, Valery melampiaskan kekesalan hatinya. Dia menyapu meja riasnya hingga berantakan di lantai.
"Gadis itu benar-benar sudah menguji kesabaranku. Aku tidak terima ini. Aku tidak terima mas Erwin menjadi miliknya ." Valery menangis tertahan. Hatinya remuk melihat kebahagiaan Erwin. Dia sungguh menyesal telah meninggalkannya. Dan sekarang. saat dia merasa kembali jatuh cinta pada mantan suaminya itu, semuanya sudah terlambat. Erwin tidak bisa di jangkau lagi.
Dia sudah melangkah dengan kehidupannya uang baru bersama Alisa gadis yang telah memberinya seorang anak. Valery semakin terpuruk.