Difiar Seamus seorang penyihir penyedia jasa pengabul permintaan dengan imbalan sesuka hatinya. Tidak segan-segan Difiar mengambil hal berharga dari pelanggannya. Sehingga manusia sadar jika mereka harus lebih berusaha lagi daripada menempuh jalan instan yang membuat mereka menyesal.
Malena Safira manusia yang tidak tahu identitasnya, pasalnya semua orang menganggap jika dirinya seorang penjelajah waktu. Bagi Safira, dia hanyalah orang yang setiap hari selalu sial dan bermimpi buruk. Anehnya, mimpi itu merupakan kisah masa lalu orang yang diambang kematian.
Jika kalian sedang putus asa lalu menemukan gubuk tua yang di kelilingi pepohonan, masuklah ke dalam penyihir akan mengabulkan permintaan kalian karena mereka pernah mencicipi rasanya ramuan pengubah nasib yang terbukti ampuh mengubah hidup.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gaurika Jolie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dunia Jahat Untuk Orang Sebatang Kara
Satu ruangan mendadak hening setelah Safira melakukan kesalahan. Safira menunduk dalam, batinnya berkecamuk terus-terusan mengumpat pada atasannya yang bertingkah seenaknya itu.
“Udah dibilangin, kalau ada customer marah-marah jangan dibalas! Cukup dengarkan dan beri penjelasan selembut mungkin!”
“Masalahnya ... aku lagi capek, Pak! Coba bayangin kalau Bapak ada di posisi aku yang seharusnya pulang dua jam lalu disuruh gantiin teman yang ijin, capek, kan? Belum lagi customer protes seenaknya dan mencela didikan orang tua. Aku aja sama sekali nggak pernah bertemu orang tua bagaimana bisa dididik mereka!”
Teman-teman Safira hanya bisa geleng-geleng kepala saat Safira membalas setiap perkataan Managernya. Mereka seharusnya sudah pulang beberapa menit lalu, tetapi tertunda setelah Safira berdebat dengan nasabah prioritas.
“Yang capek bukan cuma kamu! Seharusnya kamu harus tetap profesional, sabar sedikit bisa, kan?” Sang Manager memijit pelipisnya jadi ikut lelah menghadapi karyawan pembangkang.
“Aku bisa sabar, tapi kalau udah menyangkut orang tua nggak bisa ditoleransi!” jawab Safira yang kini tidak lagi menunduk. Dia berani menatap Managernya sebab pantas untuk membela diri.
Manager mengembuskan napasnya. “Bahkan seorang nasabah prioritas nggak bisa ditoleransi?”
Safira mengangguk. “Semua nasabah sama aja, kan?”
“Baiklah kalau gitu, kesalahan kamu juga nggak bisa ditoleransi. Besok siap-siap terima surat peringatan!” cetus sang Manager lalu pergi sehingga semua orang saling melempar pandangan.
Setelah apa yang diperbuatnya, Safira menyesali setiap tindakan terjadi begitu saja. Bahunya lemas, kakinya tidak kuat menopang tubuhnya sehingga dia duduk di atas meja meratapi nasibnya besok. Teman-teman sama sekali tidak ada yang membantu.
Setelah mengembuskan napas, Safira mengundurkan poni ke belakang. “Sial banget hari ini!”
Salah satu temannya menghampiri Safira lalu menepuk-nepuk pundaknya. “Nggak usah dipikirin sama omongan Yohan. Makan aja yuk, lupain masalah.”
Safira mendongak. “Bukan karena omongan dia, tapi besok pekerjaanku bagaimana?”
“Dipikir besok aja nggak, sih?” sahut wanita berambut pirang lalu menarik tangan Safira. “Nggak usah dibikin pusing, ayo kita bersenang-senang!”
Ketiga teman Safira memaksa dan memohon agar setuju. Sementara Safira melihat wajah mereka bergantian. Terlihat senang padahal harinya sedang kacau.
Karena tidak mau merusak kebahagiaan mereka, wanita berbaju merah itu mengangguk. “Aku juga lapar.”
Sontak mereka bersorak lantas menggandeng lengan Safira yang menjadi diam seketika. Mereka berempat menuju ke tempat makan pilihan wanita berambut pirang.
Ketiganya menikmati angin malam yang sejuk, tetapi tidak untuk wanita yang masih saja diam bak patung berjalan. Dunia masih tetap berjalan ketika harinya tengah kacau. Pikirannya berkecamuk ditambah harus berdampingan dengan orang yang sebenarnya tidak dekat dengannya.
“Caca! Kamu benar temanku waktu SMA dulu?” Seseorang datang menghampiri Safira yang tampak kebingungan. “Benar kamu Caca! Aku jelas ingat wajah kamu seperti dulu! Awet muda banget, ya!”
Wanita di sebelah Amira bertanya pada seorang pria berusia 44 tahun itu. “Bapak kenal sama Safira? Salah orang, Pak.”
Safira mengangguk lalu melihat pria itu bukannya ingat, tetapi batinnya yang dia dengar. “Pasti wajah kita sama ya, Pak? Tapi, kita orang yang berbeda.”
“Ingat nggak? Wajah kamu pernah dibilang persis seperti orang bersejarah di masa lalu? Sekarang wajah kamu masih sama seperti jamanku dulu nggak menua!"
Ketiga teman Safira kebingungan, mereka menuntut jawaban yang hanya dijawab gelengan saja. Mereka mengira jika pria itu orang gila.
“Kamu bukan penjelajah waktu, kan?”
Sontak mereka tertawa termasuk Safira yang membantah pertanyaannya. Safira sama sekali tidak kepikiran hal itu.
“Bukan. Aku hanya orang biasa, Pak,” jawabnya lalu menunjukkan kartu identitasnya.
Pria itu kebingungan setelah melihatnya. “Bagiku kamu Caca, temanku dulu! Aku mau minta tolong sesuatu.”
Tangan Safira langsung ditarik menuju tempat sepi yang membuatnya merasa tidak nyaman. Namun, jika mendengar batinnya yang berisik, pria itu butuh pertolongan.
“Cuma kamu orang yang aku kenal, bisa pinjam uang dulu? Berapapun itu pasti aku ganti,” kata pria itu yang memohon kepadanya.
Safira menelan saliva kasar. “Masalahnya, uangku juga cukup untuk angsuran dan bayar kos-kosan, sisanya untuk makan.”
“Aku butuh uang untuk menemui istriku,” ungkapnya yang semakin membuat Safira iba.
Masalahnya, bagi Safira pria itu asing walaupun baginya dia teman masa lalu. Masalah uang selalu saja menjadi masalah semua orang.
“Benar, Pak, uangku tinggal cukup untuk makan doang. Tega Bapak biarin aku kelaparan?”
Pria itu berdecak putus asa sampai marah. Sontak tangan pria itu hampir menampar Safira yang kurang fokus, untungnya teman Safira datang menyentak tangan itu.
“Kasar banget jadi cowok! Baru kenal aja main tangan, pergi sana!” bentaknya yang tidak peduli umur mereka.
Lantas mereka pergi melihat Safira yang kembali murung. “Jangan murung terus, Fir! Biasanya kamu cerewet, loh! Nggak usah dipikirin.”
Mendengar teguran temannya, senyum Safira mengembang. “Aku lagi mikir mau pilih menu apa? Kalian mau pesan apa?” tanyanya mengalihkan topik.
“Aku mau cumi oseng pedas, enak banget tuh dimakan sama nasi panas,” jawab gadis berambut pirang itu yang disetujui semua orang.
“Pesan level paling mentok ditambah minumnya soda!” sahut temannya yang juga disetujui.
Mereka langsung buru-buru masuk ke dalam resto dan membayar setelahnya Amira mencegah Safira yang ikut duduk. Pikiran Safira menjadi tidak enak.
“Aduh, dompet aku ketinggalan di kantor. Janjinya mau traktir kalian,” ucapnya penuh rasa bersalah, wajahnya memohon agar Safira mengerti.
Safira yang lelah itu jadi marah, tetapi malah bertanya, “Kok bisa? Kamu nggak mau ambil dulu? Kita tunggu.”
“Di sana aman nggak bakal hilang,” jawab Amira melihat Safira merasa bersalah.
“Bukan itu masalahnya. Ini siapa yang mau bayar? Aku tanya mereka, ya?” Saat Safira mau melangkah, Amira mencegah lagi.
‘Cewek nggak peka! Bayarin dulu kenapa? Uang kamu banyak, kan? Nggak usah pelit-pelit jadi orang!’
Satu hal yang tidak Safira sukai adalah dirinya yang bisa membaca pikiran orang. Sejak awal Amira mengajaknya hanya untuk menjadinya dompet berjalan. Tidak hanya hari ini, sebelumnya dia pernah melakukan hal yang sama.
“Nanti aku balikin besok!” pinta Amira yang membuat Safira muak.
Wajah Safira terlihat menahan amarahnya. “Kamu sering kayak gini loh, Mir. Besoknya kamu lupa.”
“Kamu nggak ingetin aku!” balas Amira yang meninggikan suaranya karena jengkel melihat wajah Safira serius.
“Aku udah ingetin kamu aja yang maksa suruh ikhlasin. Kamu pikir aku nggak punya kebutuhan lain? Kalau aku nolak berarti pelit? Kamu lupa setiap kita keluar aku yang selalu bayar!” timpal Safira seketika dua orang yang duduk itu melihat mereka berdebat.
Amira menelan saliva kasar seolah Safira mengerti batinnya. “Kalau nggak mau dari awal bilang! Nyesel ajak kamu makan. Ribet tau nggak deket sama kamu, nggak bisa ngertiin orang!”
“Maaf, Kak. Bisa diteruskan nanti? Antriannya banyak di belakang,” tegur sang kasir saat melihat ke belakang.
Sontak Amira membuang wajah. Dengan berat hati mengeluarkan dompet yang seharusnya bisa untuk dua minggu kedepan habis untuk semalam. Jika untuk keperluan bulanan tidak masalah, ini untuk orang lain.
‘Aku seperti dibully!’ batin Safira setelah membayar semuanya.
Keduanya menuju ke meja yang sudah dipesan. Amira langsung duduk melirik tajam ke arah Safira. “Ada yang malu-maluin berantem cuma gara-gara uang!”
Seolah tidak mendengarkan sindiran, Safira memilih membuka ponsel daripada berdebat dengan orang yang bukan circle-nya. Mereka membahas Manager yang selalu marah hal-hal kecil seolah tidak pernah salah. Sementara Safira tetap bungkam karena lebih menikmati makan.
‘Apa sih nggak asik banget, Fir! Ada orang ngobrol sibuk main hp sendiri, nggak sopan!’
“Memang kita akrab sampai bisa seasik itu?”
Pertanyaan Safira membuat mereka bertiga diam keheranan. Safira yang sadar tidak bisa membedakan batin dan ucapan langsung mengalihkan sebab mereka melihat ke arahnya.
“Ini ada yang chat,” ucapnya melihat mereka yang terlanjur tersindir.
Gadis di samping Amira merasa ucapan Safira tadi merupakan jawaban dari batinnya. “Kalau nggak mau gabung sama kita, pergi aja daripada di sini mancing emosi terus!”
Safira tertawa tidak percaya dengan yang terjadi saat ini. “Oh, jadi udah dimanfaatin terus dibuang? Gini kamu memperlakukan orang biar bisa tetap nongkrong? Gaya elit ekonomi sulit!”
“Hey! Ini bahas tentang uang lagi? Besok aku bakal bayar semuanya! Udah aku bilang dompetku ketinggalan!” teriak Amira seraya mendobrak meja.
Dirasa sudah keterlaluan, Safira yang enggan ribut itu terpancing lalu menggebrak meja sampai mengagetkan semua orang.
“Jangan sampai kalian memanfaatkan orang lain lagi demi kesenangan kalian! Cukup aku yang terakhir kalian manfaatin! Kalian pikir aku nggak butuh uang itu? Bagiku uang tadi bisa cukup untuk makan dua minggu!” gertak wanita yang meluapkan emosinya ke pada manusia yang tidak tahu diri.
“Dasar perhitungan! Nganggur aja sana di rumah! Kerja nggak becus, semoga cepat-cepat di pecat!” teriak Amira setelah kepergian Safira.
Wanita berambut panjang berwarna cokelat terang itu menikmati udara segar yang menerpanya. Di dalam terasa sangat panas sehingga membutuhkan udara segar. Seharusnya sejak awal dia menolak agar hal ini tidak terjadi.
Perlahan kakinya melangkah menuju tempat tujuan sambil meratapi hari ini. Baginya setiap kesalahan adalah kesialan. Bahkan, semua orang yang berpapasan di jalan pun memiliki hari yang serupa. Entah karena pekerjaan atau masalah lainnya. Terlihat dari wajah lesu serta langkah mereka yang berat.
Bus datang membawa banyak penumpang sehingga Safira harus berdiri berdesak-desakan. Aroma tubuh orang di sampingnya seakan menusuk hidungnya. Mau tidak mau Safira harus menahannya karena hari yang dilalui orang itu pastilah menguras tenaga.
Banyak hal yang harus dibingungkan dalam hidup. Dari banyaknya orang di sini, apa hanya dirinya yang bisa mendengar batin seseorang? Bisa saja aslinya Safira seorang pahlawan super yang kehilangan memorinya setelah mengalahkan monster jahat.
Seketika Safira yang berpikir dirinya pahlawan super langsung menertawakan dirinya. Secepatnya dia diam agar tidak membuat orang salah paham. Dirinya sebuah tanda tanya yang harus dipecahkan sendiri.
Setelah turun dari bus, dia melihat sekeliling yang setiap hari dia lalui. “Aku lelah.”
Safira melanjutkan perjalanan menuju indekos-nya, ketika melihat orang seumurannya naik motor, hanya bisa mengembuskan napas. ‘Aku udah bekerja keras dan istirahatku hanya sebentar, tapi aku sama sekali nggak punya kendaraan satupun. Gajiku entah ke mana perginya. Kakekku hanya meninggalkan utang yang harus diangsur setiap bulan.’
Tidak mau larut dalam penderitaan lebih baik bersenandung lagi agar tidak perlu memikirkan hal yang menambah beban pikiran. Setelah sampai indekos, dia membuka pintunya lalu terbaring di atas kasur. Hanya langit-langit kamarnya yang bisa dia lihat sebelum terlelap.
“Aku harap bisa bertemu orang tuaku.”