~Jingga melambangkan keindahan dan kesempurnaan tanpa celah ~
Cerita ini mengisahkan tentang kehidupan cinta Jingga. Seorang yang rela menjadi pengantin pengganti untuk majikannya, yang menghilang saat acara sakral. Ia memasuki gerbang pernikahan tanpa membawa cinta ataupun berharap di cintai.
Jingga menerima pernikahan ini, tanpa di beri kesempatan untuk memberikan jawaban, atas penolakan atau penerimaannya.
Beberapa saat setelah pernikahan, Jingga sudah di hadapkan dengan sikap kasar dan dingin suaminya, yang secara terang-terangan menolak kehadirannya.
"Jangan harap kamu bisa bahagia, akan aku pastikan kamu menderita sepanjang mejalani pernikahan ini"~ Fajar.
Akankah Jingga nan indah, mampu menjemput dinginnya sang Fajar? layaknya ombak yang berguling, menari-nari menjemput pasir putih di tepi pantai.
Temukan jawabannya hanya di kisah Jingga.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rengganis Fitriyani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ruang Spa
Jingga beranjak dari kamarnya, meninggalkan Fajar yang masih asyik bergelut dengan bantal dan gulingnya di atas kasur. Ia mulai menuruni anak tangga dengan membawa nampan yang berisi gelas kosong.
Satu kesimpulan yang dapat ku ambil dari perkataan Tuan Fajar suamiku, “penampilan”. Baiklah aku akan membuat penampilanku terlihat lebih menawan dan elegan namun tak meninggalkan kesan sederhana di sana. Aku akan berusaha untuk tampil cantik di depanmu, agar kamu tidak malu mempunyai istri aku, seorang yang bukan dari kalanganmu. Aku akan berhias untukmu, bukankah aku adalah wanita yang halal untukmu. Sudah sepatutnya aku berhias untuk suamiku.
.
.
.
.
Bu Nadin, menuju taman belakang rumah. Kebetulan saat itu berpapasan dengan Fajar yang handak menuju ruang olahraga untuk menjalankan rutinitas setiap paginya.
“Fajar”. Panggil Bu Nadin, pada anak satu-satunya.
Fajar melihat ke arah Mamanya dan menghentikan langkah kakinya sejenak.
Diam.
Fajar berhenti, namun ia hanya diam saja enggan untuk membuka suaranya menjawab sapaan Mamanya.
“Fajar, Mama mau bicara sama kamu, ikut Mama sebentar”. Satu tangan Bu Nadin, meraih tangan anaknya dan membawa ke taman belakang, Fajar mengikuti saja langkah Ibunya tanpa bertanya.
“Ceraikan saja istrimu, jika kamu tidak menyukainya. Kamu pikir Mama tidak tahu apa yang sudah kamu lakukan pada Jingga. Kamu pernah mencekiknya bukan di malam pertama?. Mendorongnya hingga tersungkur jatuh ke lantai, kamu juga sering berkata kasar dengannya bukan?”. Bu Nadin, tersenyum sinis menatap anaknya.
“Laki-laki macam apa kamu Fajar?, apa Mama pernah mengajarimu bersikap kasar pada perempuan?”.
“Dari mana Mama tahu semua itu? Apakah dia mengadu sama Mama?”, desis Fajar membuka suaranya.
“Kamu pikir Jingga, wanita seperti itu heh? Mama akui dulu Mama pun demikian tak menginginkan kehadiran Jingga di sini. Tapi setela beberapa waktu tinggal bersama dengannya, Mama tahu jika dia bukanlah wanita sembarang”.
“Belajarlah untuk menerima dan mencintai istrimu Fajar, dia adalah wanita yang baik”.
“Tapi aku tidak mencintainya Ma”.
“Kamu pikir, Jingga mencintaimu? Hahahaha Mama rasa tidak, hanya saja dia sedang berusaha untuk menerima takdirnya. Apa kamu pikir Mama juga tidak tahu hubungan kamu dengan Maura? Bahkan sampai saat ini kalian berdua masih menjalin hubungan di belakang bukan?”.
“Fajar....Fajar, kamu laki-laki yang sungguh sangat bodoh jika menyianyiakan Jingga. Bersikaplah baik padanya, kerana Omamu akan datang setelah ini!”. Tukas Bu Nadin, dengan menabrak dada anaknya.
Beberapa langkah kemudian ia menghentikan sejenak langkah kakinya.
Jangan sampai kamu menyesal membuang batupermata demi batu kali.
Fajar melongo mendengar penuturan sang Mama, ia tak habis pikir bagaimana bisa Mamanya, sampai tahu semua detail yang terjadi padanya dengan Jingga. Bukankah mereka berdua sudah bersandiwara dengan begitu indahnya kala di depan keluarga. Lantas hubungannya dengan Maura? Bagaimana Ibunya bisa mengetahui hal itu, padahal semua begitu tersimpan rapi.
Sementara itu Bu Nadin, ia melangkahkan kakinya dengan tersenyum. Bagaimana bisa hipotesisnya mengenai hubungan Fajar dengan menantunya hampir mendekati benar, padahal ia hanya menduga-duga saja. Ia hanya berharap hubungan yang terjalin antara anak dan menantunya dapat berjalan layaknya kehidupan pasangan suami istri pada umumnya.
.
.
.
Jingga telah mandi dan sedang memilih beberapa potong gamis yang sudah Bu Nadin berikan semalam. Tangan mungilnya membentangkan beberapa baju tersebut. “Aku rasa tidak ada yang cocok denganku, ini terlalu mewah jika hanya di pakai di rumah”, serunya dengan kembali meletakkan baju-baju tersebut di almari penyimpanan.
Derap langkah kaki terdengar di balik kamar yang kemudian di susul dengan suara ketukan pintu.
Tok..tok...
Jingga menghentikan sejenak aktivitasnya untuk memilih baju.
“Nona ruang spa sudah siap”. ucapnya dengan membungkukan tubuh sebagai tanda hormatnya pada Nona muda di rumah itu.
“Ruang spa?”. Jingga mengerutkan dahinya, ia kerap kali mendengar kata-kata spa dulu ketika masih menjadi pelayan Dahlia, tapi ia sendiri tak mengetahui apa itu spa.
“Nyonya Nadin sudah menyiapkan semuanya”. Ucapnya kembali kala melihat wajah Jingga yang tampak kebingungan.
“Mari Nona”. Tangan pelayan tersebut menunjuk salah satu arah ruangan dalam rumah utama, yang konon katanya adalah ruang khusus untuk kecantikan.
Dengan raut wajah yang masih bingung, Jingga memutuskan untuk mengikuti langkah dua pelayan yang menjemput di kamar.
Jingga mulai memasuki ruang kecantikan tersebut, di sana terdapat dua wanita yang bertugas untuk memijat dan melakukan perawatan kecantikan secara menyeluruh untuk tubuh. Rupanya Mama mertuanya sering kali melakukan hal demikian, hingga ia membuat sendiri salon di rumahnya.
Pantas saja menginjak usianya yang sudah menuju paruh baya tapi kecantikannya tetap paripurna.
Jingga kembali di buat takjub dengan keadaan yang ada. Matanya terus memindai setiap detail yang ada dalam ruang tersebut. “Mama di mana?”, tanyanya kemudian setalah mendapati dalam ruangan tersebut tak terlihat bu Nadin di sana.
“Nyonya tidak ada, beliau sedang menjemput Oma di bandara. Beliau memerintahkan kami untuk melakukan perawatan menyeluruh pada Nona jingga”, terangnya dengan lembut dan sopan.
Jingga masih tertegun, ia sama sekali tak menatap wajah pelayan tersebut, ia lebih memilih untuk mengamati isi ruangan.
.
.
.
“Bagaimana Non Jingga, apakah sudah ada perubahan? Apa tubuh Nona Jingga sudah merasa lebih baik?”.
“Iya”. Jawabnya dengan cukup lirih, Matanya terpejam menikmati pijatan yang mengenai setiap lekuk tubuhnya.
Ini adalah pengalaman pertama bagi Jingga, untuk bisa merasakan nikmatnya memanjakan tubuh.
Rileks.
Benar-benar rileks apa lagi ketika, bau-bau lilin aroma terapi yang menyeruak memenuhi isi ruangan. Musik yang menenangkan mulai saling beralun membentuk irama yang menenangkan jiwa.
Tubuh Jingga masih tengkurap, dengan wajah yang menempel di matras empuk. Kini tubuhnya sudah di balut’i dengan aneka rempah-rempah dan lation khusus, yang konon dapat membuat kulitnya semakin bercahaya.
Matanya benar-benar terpejam, tak dapat di pungkiri ketenangan yang tercipta di ruang sapa dapat memberikan kenyamanan baginya. Tak banyak obrolan yang tercipta di sana karena Jingga, benar-benar terlena dengan suasana yang ada.
Seperti inikah menjadi seorang putri dalam kerajaan.
Tok...tok...tok...
Suara ketukan pintu menghentikan sejenak kegiatan pelayan. Jingga yang di pijat dengan posisi tengkurap otomatis tidak leluasa melihat siapa yang datang, karena posisi tubuhnya membelakangi pintu.
Dengan sigap, Susi bangkit dari tempat duduknya, perlahan ia berjalan menuju pintu dan membukanya hanya sebagian.
Jingga masih menikmati suasana yang ada, ia yang awalnya begitu canggung kini mulai bisa menikmati setiap rangkaian perawatan yang dilakukannya.
Lama Jingga menunggu, namun Susi tak kunjung kembali menghampirinya. Pelayan yang bertugas pun demikian, mendadak semua pijatan lembut yang menyentuh tubuhnya menghilang.
“Mbak....”.
“Mbak, apa ini sudah rangkaian perawatannya?”.
Hening, hanya suara musik dalam ruangan tersebut yang beralun dengan pelan dan damai.
Karena sama sekali tak merasakan adanya sentuhan dalam tubuhnya, membuat Jingga bangkit dari posisinya, sembari membenarkan jarik yang melilit tubuhnya. Ia duduk sebelum berbalik menghadap ke arah pintu.
“Ya Allah”, serunya, ketika menemukan sosok yang berdiri menjulang di sana, tangannya bersindekap menatap lurus padanya.
Mohon dukungannya teman-teman, like. komen. vote dan hadiahnya 😊