NovelToon NovelToon
Hasrat Sang Kapten

Hasrat Sang Kapten

Status: tamat
Genre:Tamat / One Night Stand / Hamil di luar nikah / Cinta Terlarang / Nikah Kontrak / Diam-Diam Cinta / Office Romance
Popularitas:12k
Nilai: 5
Nama Author: DityaR

Enam tahun silam, dunia Tama hancur berkeping-keping akibat patah hati oleh cinta pertamanya. Sejak itu, Tama hidup dalam penyesalan dan tak ingin lagi mengenal cinta.

Ketika ia mulai terbiasa dengan rasa sakit itu, takdir mempertemukannya dengan seorang wanita yang membuatnya kembali hidup. Tetapi Tama tetap tidak menginginkan adanya cinta di antara mereka.

Jika hubungan satu malam mereka terus terjadi sepanjang waktu, akankah ia siap untuk kembali merasakan cinta dan menghadapi trauma masa lalu yang masih mengusik hidupnya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DityaR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Pura-Pura Mengungsi

“Hei, Tia,” katanya, sambil taruh tangan ke lemari. Tangan yang tadi menyentuh punggung gue masih ada di situ, tapi sekarang, pas gue berbalik menghadap dia, tangannya geser ke pinggang gue. 

Dia tetap mengunci pandangan ke mata gue pas dia mengambil gelas dari lemari. “Cuma mau ambil gelas buat bir gue,” katanya, seolah menjelaskan alasan kenapa dia dekat banget dan menyentuh gue. Karena mukanya cuma beberapa inci dari muka gue.

Gue benci karena dia melihat gue senyum pas gue berbalik. Gue jadi kasih sinyal yang salah.

"Ya, lo enggak bakal nemu gelas di kantong gue," balas gue sambil melepaskan tangan dia dari gue. Gue langsung lihat ke arah lain, tepat saat Tama masuk ke dapur. Matanya kayak menembus ke bagian badan gue yang tadi disentuh Joshi.

Tama lihat tangan Joshi ada di gue.

Sekarang Tama menatap Joshi kayak dia baru saja melakukan pembunuhan.

"Sejak kapan lo minum bir pake gelas?" tanya Tama.

Joshi berbalik dan melihat ke Tama, terus melirik balik ke gue sambil kasih senyum yang jelas banget, senyum genit. "Sejak Tia berdiri dekat banget sama lemari," katanya.

Sial. 

Dia bahkan enggak menyembunyikan itu.

Dia pikir gue tertarik sama dia.

Tama jalan ke kulkas dan buka pintunya. "Jadi, Joshi. Gimana kabar istri lo?"

Tama enggak mengambil apa pun dari kulkas. Dia cuma berdiri di situ, melihat ke dalam kulkas, dengan tangannya menggenggam pegangan pintu kulkas sekuat tenaga, gue yakin itu.

Joshi masih menatap gue, menatap gue dari atas ke bawah. "Dia lagi kerja," katanya, sengaja kasih tahu. "Setidaknya empat jam lagi, baru pulang."

Tama tutup kulkas dengan keras dan melangkah cepat ke arah Joshi. Joshi langsung berdiri tegak, dan gue langsung mundur dua langkah dari dia.

"Amio, kan, udah bilang buat enggak nyentuh adiknya. Hormatin dikit, dong!"

Rahang Joshi mengejang, dan dia enggak mundur atau mengalihkan pandangannya dari Tama. Malah, dia maju satu langkah, menutupi jarak di antara mereka.

"Kedengarannya ini bukan soal Amio," kata Joshi dengan nada marah.

Jantung gue berdetak kencang di dada. Gue merasa bersalah karena kasih Joshi sinyal yang salah dan lebih bersalah lagi karena sekarang mereka berdua berdebat soal itu.

Tapi sial, gue suka banget lihat Tama benci banget sama Joshi. Gue cuma ingin tahu, apakah itu karena dia enggak suka Joshi genit padahal dia sudah punya istri di rumah, atau karena dia enggak suka Joshi genit sama gue.

Dan sekarang Amio berdiri di ambang pintu.

Sial.

“Apa yang enggak ada hubungannya sama gue?” tanya Amio, memperhatikan mereka berdua yang lagi saling tatap dengan tegang.

Tama mundur satu langkah dan berbalik biar dia bisa menghadapi Joshi dan Amio sekaligus.

Matanya tetap tajam terkunci ke Joshi. “Dia berusaha minta nenen adik lo.”

Ya ampun, Tama. Lo enggak bisa ngomong yang lebih halus, ya?

Amio sama sekali enggak kaget. “Minta ke istri lo, Joshi,” katanya dengan nada tegas.

Seberapa pun memalukannya situasi ini, gue enggak melakukan apa-apa buat membela Joshi, karena gue punya firasat kalau Tama dan Amio sudah lama cari alasan buat menjauhi dia.

Gue juga enggak bakal pernah membela cowok yang enggak punya rasa hormat sama pernikahannya sendiri.

Joshi menatap Amio selama beberapa detik yang terasa lama banget, terus berbalik menghadap gue dengan punggungnya ke arah Tama dan Amio.

Anak ini benaran ingin mati, kayaknya.

"Gue tinggal di 10-12," bisiknya sambil mengedipkan mata. "Mampir kapan-kapan. Istri gue kerja malam terus."

Dia terus melangkah di antara Amio dan Tama. “Kalian berdua, buruan nikah, biar enggak jajan mulu.”

Amio langsung berbalik, dengan tangan yang mengepal. Dia mulai mengikuti Joshi, tapi Tama langsung menangkap lengannya dan tarik dia balik ke dapur.

Tama enggak melepaskan lengan Amio sampai pintu depan tertutup dengan keras.

Amio berbalik ke arah gue, dan dia terlihat marah banget sampai gue heran kenapa kupingnya enggak mengeluarkan asap.

Wajahnya merah, dan dia ketukan kuku jarinya. Gue lupa betapa gilanya dia buat melindungi gue. Rasanya gue balik jadi anak umur lima belas tahun lagi, tapi sekarang gue tiba-tiba punya dua kakak laki-laki yang over protektif.

"Buang jauh-jauh nomor apartemen itu dari kepala lo, Tia," kata Amio.

Gue geleng-geleng kepala, agak kecewa karena dia pikir gue bakal ingat-ingat nomor apartemen Joshi. "Gila. Gue punya kriteria sendiri buat cowok, Amio."

Dia mengangguk, tapi masih berusaha buat menenangkan dirinya. Dia tarik napas dalam, mengetukan rahangnya, terus jalan balik ke ruang tamu.

Tama bersandar di meja dapur, menunduk melihat kakinya. Gue lihat dia dalam diam sampai akhirnya dia mengangkat matanya dan lihat ke arah gue. Dia melirik ke ruang tamu, terus dia lepas sandaran dari meja dapur dan jalan mendekat ke gue. Semakin dekat dia, semakin gue menempel ke meja di belakang gue, berusaha mundur dari tajam pandangannya, meskipun gue enggak bisa ke mana-mana.

Dia sampai di depan gue.

Dia wangi. 

Kayak Kuldi. 

Buah terlarang.

"Boleh enggak lo belajar di tempat gue aja," bisiknya.

Gue mengangguk, bertanya-tanya kenapa dia tiba-tiba minta hal random setelah semua yang barusan terjadi. Tapi gue tetap melakukannya. 

"Emangnya gue boleh belajar di tempat lo?"

Dia langsung senyum lebar dan menurunkan keningnya ke samping kepala gue, jadi bibirnya tepat di atas telinga gue. "Maksud gue tuh lo tanya di depan abang lo," katanya sambil ketawa pelan. "Biar gue punya alasan buat bawa lo ke apartemen gue."

Wah, malu banget.

Sekarang dia tahu persis betapa gue enggak jadi diri gue sendiri pas dekat dia. Gue cuma jadi cairan. Mengikuti. Melakukan apa pun yang dia minta, melakukan apa yang disuruh, melakukan apa yang dia mau.

"Oh," jawab gue pelan sambil lihat dia mundur dari gue. "Itu masuk akal, sih."

Dia masih senyum, dan gue baru sadar betapa gue kangen lihat senyumnya itu. Dia harusnya senyum terus. 

Selamanya. 

Buat gue.

Dia keluar dari dapur dan balik ke ruang tamu, jadi gue masuk kamar dan mandi secepat mungkin.

...***...

Gue enggak sadar kalo gue ternyata jago akting.

Gue sudah latihan, sih. 

Latihan lima menit. Gue berdiri di kamar, memikirkan kalimat yang pas buat dilontarkan ke Tama nanti pas gue masuk ke ruang tamu buat minta kuncinya. Gue memutuskan buat tunggu sampai momen paling rame di tengah permainan mereka, terus gue keluar dari kamar dan teriak ke mereka semua.

“Kalian mending matiin TV itu atau pindah main PS di sebelah, karena gue lagi mau belajar!”

Tama memperhatikan gue sambil coba menutupi senyumnya. Ian lihat gue dengan curiga, dan Amio cuma membalikkan matanya. "Lo ke sebelah aja," kata Amio. "Kita lagi main." Dia melirik ke Tama. "Dia bisa pakai tempat lo, kan?"

Tama langsung berdiri dan bilang, "Boleh."

Gue langsung ambil barang-barang gue, mengikuti dia keluar dari apartemen gue, dan sekarang kita di sini.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!