~Jingga melambangkan keindahan dan kesempurnaan tanpa celah ~
Cerita ini mengisahkan tentang kehidupan cinta Jingga. Seorang yang rela menjadi pengantin pengganti untuk majikannya, yang menghilang saat acara sakral. Ia memasuki gerbang pernikahan tanpa membawa cinta ataupun berharap di cintai.
Jingga menerima pernikahan ini, tanpa di beri kesempatan untuk memberikan jawaban, atas penolakan atau penerimaannya.
Beberapa saat setelah pernikahan, Jingga sudah di hadapkan dengan sikap kasar dan dingin suaminya, yang secara terang-terangan menolak kehadirannya.
"Jangan harap kamu bisa bahagia, akan aku pastikan kamu menderita sepanjang mejalani pernikahan ini"~ Fajar.
Akankah Jingga nan indah, mampu menjemput dinginnya sang Fajar? layaknya ombak yang berguling, menari-nari menjemput pasir putih di tepi pantai.
Temukan jawabannya hanya di kisah Jingga.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rengganis Fitriyani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sisi Lain Bu Nadin
“Apakah Nona Jingga, sedang bermain-main dengan saya?”. Reza menatapnya dengan sorot mata tidak percaya, bagaimana bisa wanita yang terlihat lugu dan sholeha bertanya demikian, sedang statusnya adalah istri orang.
“Ah tidak, saya hanya sedang bertanya, apakah saya boleh menjalin kasih dengan laki-laki lain? Bukankah anda juga mengatakan jika saya bukan tipe Tuan Fajar? Sepertinya saya juga harus merencanakan masa depan yang lain selain pernikahan ini”. Ucap Jingga kemudian, seakan sedang mempertanyakan nasib pernikahannya untuk ke depan.
Reza tercengang mendengar penuturan Jingga, ia masih tidak percaya dengan keberanian Jingga, yang bisa mengatakan hal demikian.
“Asalkan Nona Jingga, bisa melakukannya tanpa Tuan Fajar tahu, saya rasa tidak papa. Tentu saja jangan sampai orang lain tahu hal ini terutama Nyonya besar dan Tuan Besar. Lakukan semuanya secara tersembunyi, jangan sampai ada orang yang mengetahui hal ini!”, Jawabnya dengan nada penuh penekanan sekaligus ancaman pada Jingga.
“Sungguh? Saya boleh melakukannya? Itu berarti saya bisa merencanakan masa depan yang lebih baik tentunya”. Jingga tersenyum, ia mencoba mempertahankan nada bicaranya, untuk manahan bibir dan tangannya yang sudah gemetar sejak lama.
“Tapi saya peringatkan sekali lagi Nona Jingga, untuk jangan membuat masalah dan main-main dengan keluarga Dirgantara, jika Nona Jingga tetap ingin menikmati udara yang segar di dunia ini dengan tenang!”. Suatu kalimat yang keluar dari mulut Reza, cukup membuat hati Jingga tertusuk belati tajam.
“Tentu saja, saya akan bermain rapi”. Jingga tersenyum kecut menjawabnya, bukan ini yang ia harapkan.
“Baik saya kira hanya itu yang ingin saya sampaikan pada Nona Jingga, pulanglah sebelum Tuan Muda sampai di rumah! Silahkan Nona Jingga pelajari dan hafalkan apa yang tertulis dalam peraturan tersebut”. Titahnya kembali dengan dingin dan berlalu begitu saja meninggalkan Jingga, yang masih duduk di meja cafe.
Ya Allah, bagaimana bisa aku harus menjalankan peran sebagai istri, sedang dia, tak tersentuh sedikitpun hatinya untuk menjalankan kewajibannya sebagai suami.
Jingga masih duduk di kursinya, menatap lembaran-lembaran yang ada di tangannya. Tak terasa sudut matanya berair, kristal bening itu jatuh begitu saja tanpa bisa ia bendung. Pernikahan yang ia harapkan menjadi awal kebahagiannya namun beginilah dongeng cerita yang ada saat ini.
Ia meremas ujung kaos seragamnya, mengusap lembut sudut matanya dengan menggunakan ujung jilbab. Ingin menangis sepuasnya sebelum kembali melangkahkan kakinya untuk kembali ke rumah utama.
*****
Rumah Utama.
Tubuh kecilnya mulai memasuki gerbang rumah utama, dengan menggunakan ojek on line, setalah seharian bertaruh dengan peluh menjadi pelayan di salah satu resto di kota tempatnya tinggal saat ini.
Baik Jingga, kuatan hatimu. Mari kita mulai memerankan dongen pernikahan ini, semoga sebagai tokoh utama kamu bisa hidup bahagia di akhir cerita.
Jingga mulai mengangkat kepalanya, berdiri dengan tegak dan melangkah masuk ke dalam rumah. Seperti hari-hari sebelumnya pelayan akan menyambut kehadirannya di depan, lekas mengantarkannya untuk masuk ke dalam rumah.
“Nona Jingga, suda di tunggu Nyonya Besar di ruang keluarga”. Pelayan Susi, membungkukan badannya setelah mengantarkan Jingga ke ruang keluarga.
Meskipun sudah beberapa hari di sana dan sudah mengetahui letak ruang keluarga di mana, tapi sudah menjadi keharusan jika serang Nona, akan di layani oleh pelayannya.
Jingga duduk di salah satu sofa berwarna merah, sofa yang berukuran cukup besar dan kokoh, berbalut kain bludru yang tebal. Hiasan khas kerajaan terdapat pada sisi sandaran sofa. Rung keluarga ini benar-benar seperti miniatur kerajaan. Terdapat beberapa deretan guci, dari mulai yang besar hingga terkecil tersusun rapi di sisi tembok. Tak lupa hiasan bungan hidup yang ada dalam pot besar, bunga sedap malam dan beberapa bunga segar lainnya.
“Eem”. Suara deheman itu membuyarkan lamunan Jingga sejenak, ia benar-benar merasakan hidup di negri dongeng, ketika memasuki rumah ini.
“Mama”. Ia bangkit dari tempat duduknya, membungkukan badan dan mencium punggung tangan wanita yang bergelar ibu mertuanya.
“Ikutlah denganku”. Seperti biasah, Bu Nadin akan menunjukan sikap yang dingin dan terkesan acuh pada Jingga.
Jingga membungkuk, sebagai isyarat mengerti akan perintah dari Mama mertuanya. Sementara Bu Nadin menarik satu sisi tangan Jingga, ia begitu geram dengan tingkah menantunya. Jiwa budaknya sungguh menempel erat dalam kehidupannya.
Tiba di salah satu ruangan yang sangat besar, Jingga berhenti melangkah tepat di hadapan pintu ruangan tersebut. Benar saja ruangan itu adalah kamar mertuanya. Meskipun bukan untuk pertama kalinya menginjakan kaki di sana, namun rasa takut dan tak pantas slalu hinggap di dirinya.
“Masuk”. Panggil kembali Bu Nadin, kala melihat Jingga yang masih berdiri di ambang pintu kamar.
Dengan tertunduk, Jingga memberanikan diri melangkah masuk ke dalam.
“Duduk”. Perintahnya kembali.
Kini Jingga duduk di salah satu sofa yang berada di samping ranjang king size.
Tidak berselang lama Bu Nadin, datang membawa beberapa gamis cantik dan elegan, dengan desain simpel dan warna-warna kalem. Tentu dengan harga yang mahal. Tak lupa Bu Nadin juga membawa beberapa jilbab, senada dengan gamis yang di bawanya.
“Cepat, kemarilah apa yang kamu lakukan di situ!”. Panggil Bu Nadin yang kini berada di hadapan cermin meja riasnya.
Jingga kembali melangkah mendekat ke arah Bu Nadin dan duduk di sebelahnya.
“Coba pakai ini”. Tangan Bu Nadin, terulur menyerahkan beberapa gamis pada menantunya.
“Ini pasti cock untukmu, baju-baju ini milik keponakanku dulu, ia belum sempat memakainya, jadi aku pikir kamu bisa memakainya dari pada hanya menjadi pajangan dalam lemariku saja”. Sombong Bu Nadin berbohong, padahal itu gamis-gamis dan jilbab baru yang ia pesan secara khusus di butik langganannya beberapa hari yang lalu. Bu Nadin berharap dengan penampilan Jingga, yang baru dapat membuat hubungannya dengan sang anak membaik dan Fajar bisa menerima pernikahannya.
“Bukankah kemarin saat menghadiri pesta dan melihat perubahan penampilanmu dapat membuat Fajar kagum, aku pun berharap demikian setelah ini”. Desisnya dalam hati bergumam sendiri.
“Tidak usah Ma, sebaiknya Mama simpan saja gamis-gamis ponakan Mama ini, jika suatu saat keponakan Mama datang dan mencari gamis-gamis ini, dia pasti akan kecewa ketika melihat aku memakainya”. Tolak Jingga dengan halus.
“Tidak ada bantahan, aku minta kamu pakai baju-baju ini dan buang semua baju-baju lusuh kamu”. Bu Nadin mengatakan dengan nada penuh penekanan.
“Bagiamana bisa dia menolak baju-baju ini, sedang aku hanya berbohong mengatakan ini milik keponakanku. Mana ada ponakanku yang berpakaian gamis-gamis tertutup seperti ini”. Ucap Bu Nadin kembali dalam hati.
“Baik, terima kasih Ma untuk gamis-gamisnya”. Tangan Jingga terulur menerima beberapa helai gamis dan jilbabnya.
“Sudah keluar sana dan pakai gamis ini!” Tangan Bu Nadin, mengibas keluar menunjuk arah pintu. Tak lupa ia memasang wajah acuh pada menantunya.
Jingga membungkuk dan keluar dari kamar itu.
Sepeninggalan Jingga dari kamarnya, Bu Nadin tersenyum penuh kemenangan.
“Lihat saja Fajar, sampai kapan kamu mau menolak istri secantik dan sebaik Jingga?. Mama akan pastikan kamu tidak bisa berpaling darinya”. Bu Nadin tertawa lepas dalam kamarnya.