Kisah Aghnia Azizah, putri seorang ustadz yang merasa tertekan dengan aturan abahnya. Ia memilih berpacaran secara backstreet.
Akibat pergaulannya, Aghnia hampir kehilangan kehormatannya, membuat ia menganggap semua lelaki itu bejat hingga bertemu dosen killer yang mengubah perspektif hatinya.
Sanggup kah ia menaklukkan hati dosen itu? Ikuti kisah Nia mempelajari jati diri dan meraih cintanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Renyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24. Sidang
Lukman sendiri berdiskusi dengan Alfi sebelum pergi dari rumah sakit kemarin.
"Pak Alfi, apa yang kalian bicarakan di taman sebelum kejadian?", Lukman merasa penting mengetahui perkara penikaman putrinya dengan lebih luas.
"Kami tidak sengaja bertemu", Alfi pun menceritakan sebagian besar percakapan mereka. Tentunya menyembunyikan perihal pertengkaran kecil mereka dan berfokus pada pertanyaan serius Aghnia hingga gadis itu menangis tanpa suara.
Lukman terdiam, ia tak menyangka putrinya serius akan mengubah sikapnya dan ingin mencari jati diri. Ia mengusap rambut halus di area dagunya lalu memandang Alfi.
"Pak Alfi, dari ceritamu, kurasa putriku lebih percaya jawaban dan penjabaran mu. Bisa kah aku memintamu untuk menjadi mentor putriku hingga menemukan jati dirinya?", pinta Lukman. Alfi terdiam, mengernyit saat mendengar permintaan itu.
"Tentu saja saya akan memberikan kompensasi karena telah merepotkan pak Alfi untuk mendidik putriku. Hanya saja, saya harap tak ada kontak fisik sama sekali di antara kalian. Aku yakin itu pasti butuh waktu dan menguras tenaga Anda", lanjut Lukman, mengisyaratkan bahwa dia merestui Aghnia yang akan menjadi asisten dosen Alfi nanti dengan syarat.
"Entah lah pak. Saya belum bisa memutuskan hal itu sekarang. Saya hanya tertarik menjadikannya sebagai asisten karena karakternya yang 'pemberani' dan cukup cerdas", ungkap Alfi, membuat Lukman bingung.
"Pemberani? Maksud bapak, pembangkang?", Lukman coba memastikan.
"Saya lebih suka menyebutnya pemberani. Selama ini dia bukan pembuat onar, hanya ekspresif", ungkap Alfi. Lukman mengangguk setuju, karena di manapun putrinya dididik, dia memang begitu ekspresif dan dianggap sebagai pembuat onar.
"Ya, apapun itu. Saya berharap pak Alfi mempertimbangkan permintaan saya", ujar Lukman.
"Baik. Kalau begitu saya permisi", Alfi pun mohon undur diri.
"Ini ada sedikit uang, bukan bermaksud membayar, hanya ucapan terima kasih dari kami", Lukman menyerahkan sebuah cek bernilai 50 juta kepada Alfi.
"Tidak pak. Saya tidak keberatan menolong Aghnia. Kebetulan dia adalah anak bimbing saya", tolak Alfi.
"Jangan ditolak. Tanpa perantara bantuan Anda, putriku bisa saja dimanfaatkan orang lain atau akan lebih buruk nasibnya", Lukman yakin semua adalah bantuan Tuhan, namun Tuhan pun mengajarkan untuk tahu terima kasih.
"Hufft, begini saja. Saya ambil separuh dan akan kembalikan separuh jika saya tidak bersedia menjadi mentor Aghnia. Ini paling adil menurut saya", Alfi mencoba mengambil jalan tengah.
"Baik lah kalau begitu. Terimakasih atas kemurahan hati Anda, pak Alfi", sahut Lukman.
Waktu pun berlalu, dalam sepekan Aghnia telah cukup pulih hingga bisa menjalani sidang skripsi meski harus banyak duduk. Gadis itu telah menyempatkan diri membuat presentasi meski lebih banyak dibantu Risti karena kesehatannya belum optimum dan masih mudah lelah.
Usai memaparkan hipotesis, temuan data, analisis dan simpulan, para dosen penguji cukup terkesan dengan pembahasan yang sedemikian runut dan terukur secara metodologis.
"Satu pertanyaan saja dariku. Etika bisnis yang kamu angkat terkait strategi marketing 4 c, mana yang menurutmu paling signifikan dan reliabel terhadap omset?", ketua penguji melontarkan pertanyaan yang cukup berbobot.
"Menurut temuan data yang saya sajikan, comfort atau kenyamanan pelanggan lah yang akan memicu pelanggan tetap setia karena keterbukaan dan kesungguhan menjalankan prinsip kejujuran dan keadilan", jawab Aghnia seraya menunjukkan temuan data.
Para penguji mengangguk puas dengan hasil penelitian Aghnia dan tak lupa memuji dosen pembimbingnya yang harus diakui memang piawai mendidik mahasiswi bimbingannya.
"Selamat, kamu layak mendapat nilai A untuk skripsimu ini", ketua penguji memberikan apresiasi dengan stand applause, diikuti dua penguji lainnya.
Siang itu, Aghnia ditemani Monica dan Risti tengah duduk santai, bersandar di galeri mahasiswa.
"Kamu hebat juga Nia. Skripsinya duluan aku, tapi sidangnya kamu malah bisa mendahuluiku", ujar Risti meski ia tidak sefakultas dengan Aghnia.
"Alhamdulillah, ini juga berkat bantuan kalian. Jadi, terimakasih karena mau menemaniku di saat senang dan susah", ucap Aghnia.
"Ck! Ngomongnya kayak wasiat aja. Santai aja dong Nia", celetuk Monica.
"Ngga gitu konteksnya woi!", sanggah Nia. Ia belum bisa seekspresif sebelumnya karena lukanya belum sembuh benar.
Saat asyik berbincang, ponsel Aghnia berdering.
"Ciye, calon suami memanggil tuh", ledek Risti yang melihat identitas penelepon di layar Aghnia.
"Ck, mana ada", elak Aghnia lantas menerima panggilan.
"Kamu minggu depan pagi temui saya. Kita akan bertemu di taman waktu itu. Ada beberapa hal yang perlu kita bicarakan. Juga, aku sudah meminta izin abahmu untuk ini. Silahkan konfirmasikan kalau ragu", ujar Alfi tanpa basa basi.
"Kenapa harus di taman pak?", heran Aghnia.
"Karena tempat terbuka, kita tidak berduaan dan leluasa bicara. Datang saja dan tidak perlu banyak bicara sekarang", ujar Alfi lantas memutus panggilan.
"Dosen gila!", umpat Aghnia, melihat layar ponsel menunjukkan panggilan telah terputus.
"Eh, ada apa?", Risti penasaran.
"Kepo!", sahut Aghnia. Ia telah diberitahu abahnya bahwa Lukman mengizinkan Aghnia menjadi asisten dosen Alfi dengan syarat tidak ada sentuhan fisik sama sekali di antara mereka.
"Ayo lah Nia, jangan buat aku penasaran. Kamu, jadian sama dosen killer itu?", tebak Monica.
"Suudzon!", ujar Aghnia seraya mencubit lengan Monica hingga mengaduh.
"Ck! Parah nih anak. Ayo Ris, tinggalin saja di galeri. Paling nanti diantar pulang sama dosen pribadi", goda Monica sembari mengusap-usap lengannya yang memerah dan panas.
"Eh, berani ya. Awas aja kalau berani tinggalin aku sendiri. Kulempar kasurmu dengan ee kucing!", ancam Aghnia.
"Ih, dasar psycho! Kamu kok mujur banget bisa dapet cowok-cowok ganteng sih Nia", keluh Monica yang selalu kalah urusan cowok.
"Mujur apaan sih. Kasus yang ada Monic!", elak Aghnia. Meski dikelilingi banyak cowok tampan, dia selalu saja jadi sasaran pencabulan. Mengingatnya saja membuat Aghnia bergidik. Paras yang menawan tak menjamin dirinya akan dicintai sepenuh hati oleh lelaki.
"Eh eh Malik memperhatikanmu tuh" lirih Risti. Menepuk tangan Aghnia.
Aghnia dan Monica mengikuti arah pandang Risti. kepalang basah memandang Aghnia, Malik melemparkan senyum pada gadis itu, namun Aghnia segera menunduk tak membalas senyuman Malik. Tak mendapat respon baik, pria itu bergegas pergi dari galeri.
"Pulang yuk, pengen makan mie ayam nih" ujar Aghnia.
"Makan di kantin aja" tawar Monica menggoda Aghnia.
"Ck. Jahat banget sih, udah capek nih" Aghnia mencebik, memukul lengan Monica.
"Monic, udah jangan dijailin terus" bela Risti. Mendapat senyuman manis dari Aghnia.
"Sini nenekku sayang, aku bantu jalan" imbuh Risti menggoda Aghnia.
Monica tertawa melihat tingkah Risti tak jauh berbeda dengannya.
Aghnia cemberut, gadis itu meraih totebagnya di meja lalu berdiri dan berjalan perlahan meninggalkan kedua temannya.
"Waaahhh calon istri dosen ngamuk tuh Ris" ucap Monica bergegas menyusul aghnia diikuti oleh Risti.