Yessi Tidak menduga ada seseorang yang diam-diam selalu memperhatikannya.
Pria yang datang di tengah malam. Pria yang berhasil membuat Yessi menyukainya dan jatuh cinta begitu dalam.
Tapi, bagaimana jika pacar dari masa lalu sang pria datang membawa gadis kecil hasil hubungan pria tersebut dengan wanita itu di saat Yessi sudah ternodai dan pria tersebut siap bertanggung jawab?
Manakah yang akan di pilih? Yessi atau Putrinya yang menginginkan keluarga utuh?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Baby Ara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8
Tiba di rumah sakit.
Bima langsung di tangani oleh beberapa dokter. Yessi duduk di kursi tunggu bersama Regan yang sejak pembicaraan terakhir mereka tidak mengeluarkan suara sepatah kata pun. Pria dingin itu terus diam dengan kepala menegadah dan mata tertutup.
Yessi melirik Regan beberapa kali. Ia ingin mengatakan sesuatu, tapi mulutnya tiba-tiba kelu. Apalagi insiden ciuman mereka masih melekat di ingatan Yessi.
Melihat bibir tipis berbentuk hati nan merah alami milik Regan membuat Yessi malu sendiri.
Bibir itu begitu hangat dan lembut seperti kapas.
'Yessi! Sempat-sempatnya pikiran lo mesum saat kayak gini!' Yessi memukuli sisi kepalannya dan itu tertangkap basah Regan.
"Kenapa dengan kepalamu?"
"Hah?"
Tanpa Yessi duga, Regan meraih kepalanya. Tangan besar pria itu dengan halus menyibak setiap helai rambut Yessi. Seakan menelitinya.
Yessi menahan pergerakan tangan Regan. Menurunkan dari kepalanya perlahan.
"Nggak kenapa-kenapa kok, mas. Aman. Cuma agak pusing," kata Yessi tersenyum canggung.
Regan menaikan satu alisnya. "Saya temani ke kantin."
"Kok kantin?" bingung Yessi.
"Saya tahu kamu belum makan."
Regan berdiri dari duduknya. Keduanya duduk berseberangan. Regan melirik Yessi lalu membuang wajahnya ke arah lain.
"Ayo, saya risih mendengar bunyi perut kamu."
Blush!
Wajah putih Yessi merona malu. Saking panik pada keadaan Bima, Yessi tidak sadar ternyata perutnya terus berbunyi minta diisi dan Regan menjadi pendengarnya. Yessi memang belum makan malam.
"Yessi!" teriakan seorang wanita membuat keduanya melihat asal suara. Bimo, Mentari dan Arga datang bersama wanita yang Yessi kenali sebagai ibu Bima, mommy Veni.
"Tante!" sahut Yessi bangkit dari duduknya. Keduanya lalu berpelukan.
Mom Veni terisak-isak dengan mata mulai membengkak karena menangis terlalu lama.
"Sayang, bagaimana Bima bisa di temukan?"
"Iya, Yes. Gimana abang gue bisa kayak ini?" tuntut Bimo.
Yessi melirik Regan, mulutnya ingin berbicara jujur. Tapi, Yessi ingat larangan pria dingin itu. Bima bisa ditemukan berkat Regan. Jadi, Yessi memutuskan berbohong sedikit.
"Saya benci di tanya-tanya, Yessi," kata Regan sebelum Yessi naik ke dalam ambulans.
"Bima di temukan warga di pos ronda, tante. Yessi gak tahu gimana cerita Bima bisa seperti ini."
Mom Veni memperhatikan wajah Regan yang di lihat Yessi. Matanya melebar seketika begitu juga Bima tercengang.
"Regan?"
Dahi Yessi mengkerut dalam. "Tante kenal Mas Regan?"
Mentari dan Arga hanya diam sebagai pendengar. Walaupun, mulut Mentari sudah gatal ingin bertanya, kemana Yessi pergi tadi dan bagaimana bisa menemukan Bima.
"Tidak," sahut Regan memotong lalu menarik tangan Yessi untuk ikut dengannya, tanpa permisi pada orang-orang disana.
Mom Veni memijit pelipis, seperti memikirkan sesuatu.
"Mom?"
Bimo menyentuh pundak mommy nya itu lembut. Tahu apa yang mom Veni pikirkan.
"Mommy harus bicara dengannya nanti, Bimo," sahut mom Veni dengan pikiran berkecamuk.
"Mas, berhenti!"
Yessi berusaha menarik tangannya dari cengkraman Regan. Pria dingin itu melepaskan tangan Yessi di lorong rumah sakit. Keduanya lalu berhadapan, di wajah tampan Regan sama sekali tidak ada keramahan.
"Mas, kenapa sembarangan narik saya pergi? Nggak pamit sama mereka dan tanpa seizin saya. Itu namanya gak sopan, mas!"
"Saya cuman mau ngajak kamu makan. Soal mereka, saya tidak perduli," kata Regan terdengar benar-benar acuh.
Yessi menarik napasnya dalam. Masalahnya, ia sudah tidak lapar dan Yessi ingin menemani Bima.
"Maaf, mas. Saya nggak jadi ke kantin. Kalo mas lapar, makan sendiri aja. Saya permisi."
Lagi-lagi, Regan menahan tangan Yessi. Gadis mungil itu menatap pria gagah di depannya dengan menghembuskan napas lelah.
"Kenapa lagi, mas?"
"Bantuan saya tidak gratis, Yessi."
Sontak, Yessi mengangga tak percaya. Regan ini hitung-hitungan ternyata. Yessi berdecak kesal karenanya.
"Terus mas minta apa? Uang?"
Regan menaikan bahu lebarnya acuh.
"Kalo mas nggak ngomong mana saya tahu mas minta apa!" ucap Yessi sedikit menaikan nada suaranya jengkel hingga jemari panjang Regan menyentil dahinya.
"Mas kdrt!" tuding Yessi.
Regan mendengus kesal dibuatnya. "Kita belum menikah, Yessi."
Lalu Regan berdehem." Jadi, pasangan saya besok malam."
Melihat Yessi mengerutkan kening seperti berpikir. Mata Regan semakin datar.
"Undangan yang saya berikan sama kamu," kata Regan mengingatkan Yessi yang sepertinya lupa.
Dalam undangan tersebut memang di haruskan membawa pasangan dan Yessi melupakan itu. Tapi, pergi bersama Regan? Bukan pilih-pilih, Regan itu terlalu kaku. Bisa membeku Yessi lama-lama disampingnya.
"Emmm ... Mas, bukannya punya pacar? Masa ngajak saya. Ajak pacar mas lah."
Regan menggeleng cepat. "Saya ngajak kamu. Itu hutang harus kamu bayar sama saya, Yessi."
"Baiklah." Yessi terpaksa setuju.
Sebenarnya, Yessi berniat untuk tidak datang. Masa iya senang-senang sementara ada Bima yang harus Yessi rawat. Yessi merasa dirinya bertanggung jawab atas apa yang menimpa Bima. Karena setelah mengantarnya, Bima mengalami insiden itu.
Tanpa Yessi tahu, semua itu memang karna dirinya.
Sean sadar dengan keadaan terbatuk-batuk. Dadanya nyeri dan sesak luar biasa mendapat terjangan dari Regan.
"Sial! Berdarah!" umpat Sean melihat noda di tangannya setelah menggapai senter ponsel terbanting di bawah kakinya.
Akibat perkelahiannya dan Regan tadi. Luka sayatan beberapa menghiasi lengan Sean.
"Bedebah itu benar-benar kurang ajar!" Sean melihat sekelilingnya, keberadaan Bima sudah tidak ia temukan. Regan benar-benar pintar mengelabuinya.
"Dasar licik!" cetus Sean kesal sendiri.
Beberapa langkah kaki terdengar mendekat. Sean tahu, itu orang-orangnya. Sean sempat menghubungi mereka sebelum pergi.
"Tuan!"
"Aku disini," ujar Sean berbaring kembali karena kepalanya pusing. Pelipisnya tadi terkena sikutan Regan. Orang-orang itu lalu membantu Sean yang terkapar di lantai.
Keesokan malamnya.
Setelah menjenguk Bima di ruang rawat, Yessi pulang ke apartemen. Beberapa mobil sport dengan pria dan wanita berpakaian mewah terlihat hilir-mudik berpergian.
Mentari bahkan sudah mengabari Yessi bahwa, ia dan Arga sudah siap. Mereka akan pergi bersama-sama.
Yessi bertemu Regan saat akan masuk kedalam lift.
"Mas, belum siap-siap?" tanya Yessi karena Regan masih memakai seragam kerjanya.
Wajah tampan Regan terlihat letih bahkan matanya sayu seperti kurang tidur. "Jangan pikirin saya. Pikirkan dirimu yang lama bersolek itu. Sudah tahu akan ada acara malah keluyuran."
Yessi mendengus karena sindiran Regan. "Kayak pernah lihat saya dandan aja situ," jawab Yessi ketus.
Regan tersenyum penuh arti membuat Yessi bergidik apalagi hanya ada keduanya dalam lift. Tak berselang lama, lift terbuka. Yessi cepat-cepat meninggalkan Regan yang mengikuti langkahnya seraya bersiul di belakang.
Satu jam kemudian.
Yessi keluar dari apartemennya. Pesan Mentari sudah tidak terhitung berdatangan, berisikan omelan karena Yessi tak kunjung muncul.
Yessi hampir berteriak saat tangannya tiba-tiba di tarik dan tubuhnya masuk dalam apart seseorang.
"Mas Regan!" seru Yessi.
Setelahnya, ia menganga shock. Regan bertelanjang dada dan hanya mengenakan celana pendek di depannya.
"Mas, ngapain narik saya kesini? Hobi banget sih narik orang tanpa izin!" omel Yessi dengan wajah menyamping. "Mana bugil lagi! Pake baju sana!" usir Yessi mendorong lengan Regan.
Tanpa tahu, Regan memperhatikan naik turun penampilannya. Gaun berwarna pink muda bermotif manik-manik dan lengan jatuh menampilkan dada putih Yessi dengan bawahan bergelombang memperlihatkan sepasang kaki jenjang terbalut heels kaca.
"Cantik."
"A-apa yang cantik?" pipi Yessi merona seketika. Padahal tahu, Regan sedang memujinya.
"Tidak. " Regan menggeleng tersadar. Ia kembali menarik Yessi menuju lantai atas kamarnya.
"Pilih kan saya jas," ujar Regan setelah tiba dalam kamar. Menunjuk dengan dagu tumpukan jas ber plastik di atas tempat tidur. Yessi mengerjab kebingungan.
"Ini semua Mas sewa?"
Regan bersandar di dinding tengah menyulut rokok menghembuskan kepulan asap di udara mengangguk. Yessi melihatnya, tak mengerti jalan pikiran Regan. Hanya acara biasa, tapi yang di sewa sebanyak ini.
"Mas, boros banget sih. Gaya elit, ekonomi sulit," sindir Yessi terang-terangan lalu merebut rokok Regan. Mematikannya di asbak atas nakas.
"Jangan ngerokok kalau mau pergi sama saya. Napas mas nanti bau tembakau dan saya gak suka itu."
Regan menyeringai lalu membanting tubuh Yessi diatas ranjang. Di kungkung tubuh besarnya. Yessi baru menyadari, dada kanan Regan terdapat tatto kepala singa jantan yang mengaung dan terlihat seperti hidup menatapnya.
"Nggak suka? Berarti kamu suka napas saya tanpa rokok?"
"Hah?" Yessi menggeleng cepat. Padahal dalam hati, mengakui napas Regan sangat wangi dan hangat.
"Bukan gitu mas. Aduh ... Bisa menyingkir gak? Jangan gini mas."
Jantung Yessi rasanya akan melompat keluar. Pucuk hidung Regan nyaris bersentuhan dengan hidungnya.
"Bisa. Tapi, buat napas saya wangi kembali dengan mulutmu," ucap Regan tersenyum miring
"Maksudnya?"
Regan menunjuk bibirnya. "Kiss me ...."