Novel ini menggunakan POV 1 (Lydia). Apabila ada yang mengatakan arti keluarga adalah motivator terbaik, tempat memberikan ketenangan, tempat bersandar paling nyaman. Nyatanya itu semua tidak di dapatkan oleh Lydia. Ia terpaksa mengambil keputusan bekerja menjadi pembantu. Bukan karena dia kekurangan uang, hanya saja Lydia merasa bahwa rumah masa kecilnya sudah tidak senyaman dulu.
Lydia adalah anak sulung dari tiga bersodara, usianya kini sudah 36tahun, tiga adik perempunya sudah menikah. Hanya ia sendiri yang belum menemukan jodohnya. Gunjingan dari tetangganya terus ia dengar hingga ia tidak kerasa lagi tinggal dikampung halamannya dan juga keluarga. Mirisnya lagi bukan hanya tetangga, tetapi ketiga adiknya pun seolah memusuhi dirinya dengan alasan ia akan merebut suami mereka. Rumah dan lingkungan yang dulu nyaman, kini menjadi tempat yang ingin ia hindari.
Mampukah Lydia mendapatkan arti keluarga yang sesungguhnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ocybasoaci, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
SAH?
Setelah Bapak yang ke luar dari kamarku, kini Ibu yang masuk. Aku tidak bisa lagi menangis, entah itu tangis bahagia. Karena nyatanya bahagiaku sudah sampai level atas, ketegangaku sudah berlalu satu tahapan, dan kini tinggal tahapan yang terakhir, yaitu ijab kabul.
Kini Ibu datang menggantikan Bapak yang telah ke luar kamarku, Ibu memeluk tubuhku dengan hebat. Aku biarkan Ibu menangis di dalam pelukanku, ini adalah tangis bahagia dari seorang ibu yang menyaksikan selama ini anaknya jadi bahan gunjingan tetangga dan ketiga anaknya yang lain.
"Jangan di dengar!"
"Jangan dipikirkan!"
"Jangan diambil hati!"
"Jangan jadi pendendam!"
"Jangan digubris, apalagi kalau diladeninya bakal menjadi!"
Dan masih banyak kata JANGAN yang lain, setiap Ibu mendengar kalau aku selalu jadi bahan gunjingan. Awalnya tentu kesal, marah dan juga kecewa pada kedua orang tuaku. Aku menganggap mereka tidak pernah mau tahu berada posisiku, aku juga memiliki hati, sesak dan marah pasti ketika kita selalu jadi bahan guyonan yang mengandung penghinaan. Apalagi itu datangnya dari orang terdekat.
Namun nyatanya Ibu dan Bapak juga ternyata sama merasakan tidak terima ketika putrinya dijadikan bahan ghibah yang terlalu, dan maha dahsyat oleh mereka. Ternyata tanpa sepengetahuan aku Ibu dan Bapak selalu melangitkan doa untuk aku dibalik telapak tangannya. Aku terharu ketika barusan Bapak menceritakannya. Aku pikir mereka terlalu egois, nyatanya mereka juga melindungi aku dengan cara yang aku tidak tahu.
"Bapak melakukan ini semata agar kamu jangan terpancing, Bapak tahu kamu marah, tapi kalau kamu lampiaskan, citra nama kamu jadi buru. Bapak ingin kamu tetap jadi Lydia anak Bapak yang memiliki hati luas dan citra yang baik di mata keluarga besar dan warga. Bapak melakukan ini demi kebaikan kamu." Itu yang Bapak katakan barusan.
Ternyata di balik ketidak mampuanku, mereka selalu menjadi pelindung ku dengannya menitipkan pada penciptaku.
Aku selalu percaya, selalu ada hikmah dari setiap kejadian. Tiga tahun lalu mungkin aku merasa makhluk paling rendah, paling sedih, dan paling menderita, ketika calon suamiku nyatanya malah menghamili adik bungsuku. Aku meratapi nasib, bahkan memaki pada takdir, seolah Tuhan sangat jahat padaku. Mempermainkan perasaan ini sebegitu sakitnya. Namun, saat ini aku justru bersyukur atas semua rencana Tuhan yang pernah aku tangisi dulu.
Andai tiga tahun lalu aku bersanding dengan mantan calon suamiku, mungkin jalan ceritaku tidak seperti ini. Andai aku menerima lamaran pria beristri untuk dijadikan istri ketika mungkin jalan ceritaku tidak sampai ke tahap ini. Andai tetangga dan saudaraku tidak memperolok terus menerus, mungkin aku tidak akan pernah sampai menginjakan kaki ke Jakarta, dan bertemu dengan Aarav. Laki-laki yang membuatku saat ini paling beruntung.
"Mbak, entah berapa tetes air mata yang Ibu keluarkan di saat kamu dicemooh oleh adik dan tetangga kita. Entah berapa kesakitan yang ibu rasakan ketika kamu selalu tersenyum di balik sakit hati kamu. Maafkan Ibu dan Bapak kalau selama ini menjadi orang tua yang tidak adil untuk kamu. Maafkan Ibu dan Bapak yang selama ini, seolah bersembunyi di saat kamu merasakan ketidak adilan ini. Tapi percayalah doa kamu selalu tercurah untuk kamu. Kami tidak pernah cape mendoakan kamu hingga kamu sekarang mendapatkan ganti yang jauh dari mereka yang menggunjing kamu. Namun, pesan kami pada kamu Mbak..." Ibu menjeda ucapannya karena tangisnya kembali pecah.
Aku kali ini menggenggam tangan Ibu yang dingin.
"Yah, Lydia memang pernah merasakan itu semua, Lydia pernah merasa berkecil hati dengan perbuatan Ibu dan Bapak, pernah sakit dan sedih ketika semua kesalahan adik-adik selalu Lydia yang menanggungnya. Lydia pernah bertanya kenapa mesti Lydia anak pertama yang menanggung semuanya. Tapi sekarang Lydia tahu mungkin itu cara Ibu dan Bapak agar tidak membuat Lydia cengeng dan besar kepala. Terima kasih atas ilmu dan kasih sayangnya. Rasanya sangat berat ketika Lydia harus kembali berpisah dengan Ibu dan Bapak nanti." Aku mengusap air mata Ibu yang terus jatuh. "Ini hari bahagia putri Ibu jangan tunjukan kesedihan, takutnya nanti ada gunjingan yang mengatakan kalau Ibu tidak merestui pernikahan Lydia dan juga Mas Aarav," kelakarku, yang langsung mendapatkan tepukan di pundakku yang cukup keras dari Ibu.
"Ibu hanya mau pesan, kamu jangan terlena dengan kenikmatan yang Tuhan berikan saat ini Takutnya ini adalah ujian terberat kamu, kalau kamu tidak bisa amanah dosa besar yang akan membelit kamu. Gunakan harta suami kamu dengan sebaik-baiknya karena nanti pertanggung jawabanya di akhirat itu sangat besar."
Aku langsung memeluk tubuh Ibu dengan kencang dan merasa bersyukur sekali memiliki mereka. Mungkin ini alasan Allah menitipkan kepercayaan berupa harta dan juga jabatan pada orang tuaku karena mereka itu selalu memperhitungkan akhirat juga.
"Mbak, Bu buruan ke luar, acara udah mau di mulai." Bapak kembali masuk membuat suasana yang tengah dan mengharu biru jadi terganggu.
"Lah, iya Mbak ayo buruan ke luar, Ibu ke sini kan mau manggil kamu buat ke luar, pak penghulu sudah datang. Lah malah Ibu melow-mellow lagi." Gegas Ibu menuntunku. Untung make up kami tidak longsong sama air mata. Bakal jadi lenong kalau luntur karena nangis.
Kembali aku berjalan dengan gugup dan tanganku dingin.
"Bu, perut kok mules yah," ucapku saking geroginya sampai-sampai perut berasa mulas dan rasanya semua ruangan panas. Padahal cuaca pagi hari sangat sejuk. Aku pun merasa beruntung karena ternyata semesta juga seolah merestui acara kami. Cuaca hari ini sangat cerah, menggambarkan kecerahan hati.
"Itu karena kamu grogi, santai saja santai nanti juga rasa mulesnya hilang."
Benar saja ketika aku bersikap santai rasa mulas pun hilang.
Aku mengangkat wajahku dengan senyum yang merekah, kembali Aarav menatapku dengan kagum, wajahku pun kembali memanas.
Duduk dengan rapih di samping calon suami dalam balutan kebaya dan riasan khas manten membuat aku merasa saat ini aku dan Aarav adalah manusia paling bahagia.
Rangkaian acara pun terus kami lewati dengan suasana sakral hingga tiba saatnya ke acara inti yaitu ijab kabul.
Aku mendengar penghulu, Bapak dan calon suami serta papih mertua nampak bisik-bisik, entah membicarakan apa, tetapi nampaknya sangat serius.
"Ini yakin Mas, maskawinya sudah di sediakan?" tanya Pak penghulu pada calon suamiku.
Aku melihat Mamih Misel memberikan kwitansi dan lembaran uang yang sangat banyak, untuk mas kawin yang Aarav berikan yang aku tahu perhiasan. Kwitansi hanya sebagai bukti bahwa semua dibayar lunas dan entah apa lagi yang ada di dalam bok berwarna hitam yang dihias sangat menarik.
"Kalau gitu ayok jabat tangan Pak Lurah." Pak penghulu memegang tangan calon suamiku yang memegang tangan Bapak. Aku lihat tangan Mas Aarav juga nampak berkeringat dan bergetar yang tandanya laki-laki yang statusnya duda pun kembali bergetar ketika akan melewati serangkaian acara yang sakral.
Jantungku rasanya kembali bergejolak ketika Bapak mulai membacakan Ijab.
"Saya nikahkan dan saya kawinkan engkau saudara Aarav Syam Al- Mahendra bin Sony Mahendra Brata dengan anak saya yang bernama Lydia Mulia Permani dengan maskawinnya berupa Sepasang berlian senilai tiga milliar, sertifikat tanah dan bangunan berupa villa senilai lima milliar, dan mobil Mercedes Benz CLA Class senilai 2, 7 milliar, dibayar tunai."
Bapak menghentakkan tangannya dengan kuat agar Mas Aarav segera melafalkan kabul. Hatiku terkejut ketika mendengar maskawinnya rasanya aku mau pingsan.
"Saya terima nikahnya dan kawinnya Lydia Mulia Permani binti Adam Marubi dengan mas kawinnya yang tersebut, tunai.”
" Bagaimana para saksi?"
Sah...?
Sah...
Alhamdulillah.
Ucapan hamdalah pun menggema ketika aku saat ini sudah resmi berubah setatus. Acara kembali dilanjutkan dengan membaca doa penikahan, nasihat pernikahan yang kami sampai terharu ketika mendengarnya.
Aku mendengarkan gunjingan-gunjingan disela-sela acara selanjutnya yaitu seserahan mas kawin yang aku sendiri tidak tahu kalau akan sangat semewah ini, mobil dan juga vila pribadi menjadi tambahan mas kawin untuk aku. Rasanya aku menjadi beban ketika mendapat mas kawin semewah ini, yang itu aku harus membawanya ke jalan kebaikan. Semua yang aku terima setidaknya harus bermanfaat dan membuat aku menghormati suami aku dan menjadikan pernikahan ini pintu surga di mana setiap apa yang kami lakukan apabila kebaikan maka surga taruhannya dan apabila keburukan maka neraka yang kami dapat.
Perhiasan yang bikin tetangga ketar ketir
bonus wafer rasa caremel