Awalnya Elodie adalah ibu rumah tangga biasa. Istri yang penurut dan ibu yang penuh kasih. Namun sebuah kecelakaan mengubah segalanya.
Sikap dan Perilaku wanita itu berubah 180 derajat. Melupakan segala cinta untuk sang suami dan putra semata wayangnya. Mulai membangkang, berperilaku sesuka hati seingatnya di saat 19 tahun. Namun justru itu memberi warna baru, membuat Grayson menyadari betapa penting istri yang diremehkannya selama ini.
"Mommy."
"Nak, aku bukan mommy kamu."
"Elodie Estelle."
"Grayson Grassel, ayo kita bercerai!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Joy Jasmine, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5 ~ Siapa Lebih Butuh Siapa?
"Aku mau bercerai."
"Uhuk, uhuk, uhuk." Clara yang sedang menyedot jus strawberry-nya langsung tersedak saat mendengar penuturan Elodie. Gadis itu terbatuk dengan kencang, membuat Elodie yang duduk di samping sampai harus menepuk-nepuk punggungnya.
"Kamu mau membunuhku?" kata Clara dengan kesal, pasalnya tepukan Elodie itu bukan untuk menenangkan. Wanita itu seperti menggunakan segenap tenaga yang dimilikinya.
Elodie nyengir, tidak merasa bersalah sama sekali. "Buktinya batuk kamu hilang."
Clara mendengus kesal, namun gadis itu langsung menatap Elodie horror setelah mengingat sesuatu. "Kamu serius mau bercerai?"
Elodie mengangguk yakin. "Ya, memangnya kenapa? Kamu terlihat kaget seperti itu."
"Haha, tidak! Kamu tidak tahu sudah berapa kali aku menyuruhmu bercerai dengannya tapi kamu menolak. Dan kali ini kamu mau bercerai sendiri, entah kenapa aku merasa aneh." Clara tertawa canggung yang sebenarnya ia tengah bingung.
Jika ini Elodie yang dulu, ia akan dengan semangat menemaninya mencari pengacara saat ini juga. Tapi Elodie yang kehilangan ingatan sekarang, ia takut sahabatnya ini akan menyesal nantinya.
"Aneh kenapa? Seharusnya kamu senang, aku akhirnya bisa sadar setelah enam tahun."
"Iya, tapi ... ah, sudahlah. Kita sudah lama engga ngumpul bareng, gimana kalau kita senang-senang?" Clara menaik turunkan alisnya yang disambut senyuman penuh arti Elodie.
.
.
.
"Daddy!" Pagi-pagi sekali Gray sudah harus memijat kening. Ia baru bangun tidur, tapi suara sang putra sudah memekikkan telinga.
Sebenarnya sudah sebulan lebih ia mengalami ini, tapi bukankah Elodie sudah kembali? Kenapa anaknya masih menyusahkannya, bukan pergi pada ibunya?
"Daddy, Daddy! Bangun!" Cedric naik ke tempat tidur sang ayah, lalu mendorong pria itu dengan segenap tenaga yang ia punya. Sementara Gray yang memang sudah bangun tapi malas membuka mata itu hanya berdehem sebagai jawaban.
"Daddy, aku tidak bisa menemukan dasiku. Nenek Erin juga tidak tahu di mana letaknya."
"Ck, bukankah minggu lalu kau baru mencarinya? Coba ingat-ingat lagi kau taruhnya di mana!" Gray akhirnya membuka mata, menjawab sang putra dengan suara serak dan sedikit kesal.
Cedric menggeleng kencang. "Lupa, aku lupa Daddy. Kalau aku ingat, aku tidak akan bertanya pada Daddy."
"Mommy mu kemana? Coba kau tanya dia saja!"
"Mommy tidak ada, aku sudah ke kamar mommy. Tapi tidak ada mommy di sana."
Gray yang awalnya masih mengantuk seketika membelalak. "Apa? Kemana dia pagi-pagi?"
"Bukan pagi-pagi, Daddy. Mommy keluar dari tadi malam."
"APA?"
Semakin sadar saja pria itu, ia hendak meraih ponsel. Mencari keberadaan sang istri yang ternyata semalaman tidak pulang. Namun tangan kecil sang putra kembali menarik-narik tangannya. "Jadi bagaimana dengan dasiku, Daddy?"
Gray menghela napas kasar, mau tidak mau ia bangkit dari tempat tidurnya. Berjalan menuju kamar sang anak dengan Cedric yang mengekor di belakang.
"Ini?" Pria itu menatap tajam sang putra sembari memegang dasi berwarna hitam dengan garis-garis putih dan merah.
Cedric hanya bisa nyengir, anak lelaki itu menggaruk tengkuknya yang tidak gatal saat melihat wajah kesal sang ayah. "Tadi aku sudah mencari di laci, tapi tidak ada."
Gray menghela napas lelah, lalu mengulurkan tangan untuk mengacak gemas rambut sang anak. "Daddy, rambutku sudah rapi! Jangan diberantakin lagi!"
"Hukuman karena ceroboh!" balas Gray singkat dengan tawa kecil. Pria itu berlalu keluar kamar sang putra meninggalkan Cedric yang cemberut hingga beberapa senti.
"Tuan, Tuan." Tubuh renta itu berlari menghampiri Gray yang menatapnya bingung.
Bibi Erin berusaha meraup udara, juga menyeka air mata yang mengalir di kedua sudut matanya. "Tuan, kakak saya sakit parah. Saya, saya mau izin pulang, Tuan."
Wanita itu suaranya tercekat, Gray yang biasanya tenang pun memberikan ekspresi lain. "Bibi pulanglah, aku akan mengantar!"
"Tidak perlu, Tuan. Saya akan pulang sendiri."
"Tidak! Kalau begitu biarkan Sam yang mengantar Bibi!" Bibi Erin mengangguk, rasanya sulit juga untuk berbicara.
"Bibi tunggu sebentar." Gray langsung masuk ke kamarnya yang berada di sebelah kamar sang putra. Pria itu mengambil semua uang tunainya di dompet dan memberikannya pada bibi Erin.
"Bawalah ini dulu, Bibi. Kalau tidak cukup jangan segan untuk menghubungiku!" ucap Gray dengan tulus membuat bibi Erin semakin banjir air mata.
Ia mengangguk pelan, membuat Gray bisa merasakan betapa sedih wanita itu.
.
.
.
Di tempat lain, bersamaan dengan tumpukan kertas yang menggunung. Terdapat dua orang manusia yang masih tertidur dengan pulas. Namun kini salah satunya mulai bergerak pelan, ia mengangkat salah satu tangannya hingga beberapa helai kertas berjatuhan. Lalu menyingkirkan kertas-kertas di atas wajahnya.
"Hoam! Tidurku nyenyak sekali, seperti aku sudah lama tidak bangun siang seperti ini," gumamnya kemudian mendorong sang sahabat yang tertidur di sebelah.
"Bangun! Ini sudah siang bolong."
"Hem!" Clara yang masih enggan membuka mata itu hanya berdehem ringan. Namun dorongan demi dorongan yang diberikan Elodie mau tidak mau membuatnya bangun.
"Aku masih mengantuk, Elli," rengeknya sembari mengacak-acak kertas yang bertumpuk di atas kasur.
Namun saat menyadari apa yang mereka lakukan semalam, Clara memandang Elodie yang juga tengah menatapnya. Keduanya lalu tertawa senang seakan bernostalgia.
Beginilah cara mereka bersenang-senang. Bukan pergi keluar, jalan-jalan, ataupun menghabiskan waktu di klub. Mereka memilih mengurung diri di kamar, menghabiskan kertas dengan membuat berbagai sketsa. Demikian mereka tidak hanya bersenang-senang, melainkan juga bekerja.
"Bagaimana? Kamu sudah menemukan inspirasi?" tanya Elodie sembari memakan camilan. Wanita yang baru selesai mandi itu menghampiri sang sahabat yang tengah memilah-milah tumpukan kertas hasil coretan mereka.
Clara menggeleng pelan, ia cemberut. Kertas sebanyak itu tapi ia masih belum menemukan ide yang akan ia gunakan sebagai tema perhiasan yang akan ia buat.
Elodie menaikkan alisnya, dapat ia lihat sahabatnya yang tampak tidak bersemangat itu. Wanita itu menjatuhkan diri di samping Clara, lalu mulai ikut memilah. "Masih banyak kertas yang belum kamu periksa. Sini aku bantu."
.
.
.
Sementara di tempat lain, di sebuah ruangan yang tampak mewah sesuai dengan jabatannya. Seorang pria tampak tidak tenang padahal seharusnya ia fokus bekerja. Sebentar-sebentar membaca dokumen. Sebentar-sebentar menghidupkan layar ponsel.
Terus seperti itu hingga ia menyerah, pria itu meraih ponsel dan membuka kontak. Melihat nama Elodie, ia ingin segera menghubungi, namun urung karena ego. Hingga akhirnya ia memutuskan menghubungi sang asisten.
"Cari di mana keberadaan wanita itu sekarang!"
"Wanita? Siapa, Tuan?"
Gray berdecak kesal. "Elodie, is-triku!"
"Ah, Nyonya. Dia sedang berada di rumah nona Claire saat ini."
Mendengar asisten Al yang menjawab begitu cepat membuat Gray mengernyit heran. "Kau tahu dari mana?"
"Kemarin malam nyonya menghubungiku untuk bertanya alamat nona Claire. Nyonya juga meminta untuk tidak mengatakan pada Tuan karena Anda sudah tidur."
Gray mengeratkan genggamannya pada ponsel yang masih ia pegang. Pria itu bergeming, tidak menghiraukan panggilan sang asisten yang berulang.
"Tuan, Tuan, Tuan."
Asisten Al sampai mengecek ponselnya untuk melihat apakah panggilan sang atasan masih terhubung.
"Tuan, apakah Anda masih di sana?"
"Alistair Alessandro."
Al menelan ludah saat mendengar nama panjang yang jarang disebut sang bos besarnya. "Ya, Tuan."
"Mulai sekarang katakan apa pun tentang wanita itu. Sedikit saja yang terlewat, tidak ada lagi bonus bulanan!"
Al membelalakkan mata sebelum menjawab dengan buru-buru. "Ya, ya Tuan. Saya akan mengabarkan ...."
Tut.
Gray mengeraskan rahang merasakan emosi yang menggebu.
"Dia pikir aku akan mencari dan menjemputnya lagi?"
"Huh, bahkan tidak mengatakan apa pun sebelum pergi. Tidak, hanya tidak berkata padaku. Cedric bahkan Al tahu."
"Apa karena aku memaksanya semalam?"
"Tidak! Dia pasti sedang mencari perhatian."
"Baiklah, kita lihat seberapa lama kau bisa hidup di luar tanpa aku."
Pria itu bergumam-gumam sendiri. Ia menaruh kembali ponselnya, lalu kembali fokus pada pekerjaan. Dengan percaya diri ia yakin, nanti malam Elodie pasti sudah berada di rumah untuk menyambut kepulangannya.
Namun pria itu tidak sadar, nyatanya ialah yang selalu membutuhkan sang istri, Elodie Estelle.
.
.
.
sbnarnya apa sih alasannya El kawin SM lakik model dajall itu
kyknya ada sngkut pautnya SM tmennya si El deh
trus si mertua ada dendam apa sama El ya smpai benci gitu
ksihan si el
emang siapa lagi yg pkai kekerasan dn TDK pyk pri kemanusiaan 😤🙄😒🤬😡😠🤭🤭
jgn mau d rendahkan muku🙄
punya Daddy g ada pendiriannya
tp buat gray kalang kabut biar nyaho😁🤭