Celia adalah seorang ibu tunggal yang menjalani kehidupan sederhana di kota Bandung. Setiap hari, dia bekerja keras di toko perkakas milik ayahnya dan bekerja di bengkel milik seorang kenalan. Celia dikenal sebagai wanita tangguh, tapi ada sisi dirinya yang jarang diketahui orang, sebuah rahasia yang telah dia sembunyikan selama bertahun-tahun.
Suatu hari, teman dekatnya membawa kabar menarik bahwa seorang bintang basket terkenal akan datang ke kota mereka untuk diberi kehormatan oleh walikota dan menjalani terapi pemulihan setelah mengalami cedera kaki. Kehebohan mulai menyelimuti, tapi bagi Celia, kabar itu adalah awal dari kekhawatirannya. Sosok bintang basket tersebut, Ethan Aditya Pratama, bukan hanya seorang selebriti bagi Celia—dia adalah bagian dari masa lalu yang telah berusaha dia hindari.
Kedatangan Ethan mengancam untuk membuka rahasia yang selama ini Celia sembunyikan, rahasia yang dapat mengubah hidupnya dan hidup putra kecilnya yang telah dia besarkan seorang diri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DENAMZKIN, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BICARA DENGAN RION
Keesokan harinya, Celia sedang berada di lantai bawah mengenakan seragam kerjanya, berbicara dengan Rion yang sedang menikmati sarapan telur orak-arik dan sosis. Sementara itu, Maria masih sibuk di depan kompor saat Ethan terpincang-pincang masuk ke ruangan.
"Dewi sudah menelepon?" tanyanya.
"Belum, Sayang, tapi percayalah, para reporter itu pasti sudah siap menunggu," jawab Maria sambil menunjuk ke arah depan rumah dengan spatulanya.
"Aku sudah menyuruh ayahmu ke loteng untuk mengambil beberapa barang lamamu untuk Rion."
Ethan mengangguk, lalu menoleh ke arah Celia dan Rion yang sedang duduk di meja sarapan.
"Celia, boleh bicara sebentar?"
Wajah Celia tampak tegang, tapi dia berdiri, mengecup kening Rion, lalu mengikuti Ethan ke ruangan sebelah.
"Ada apa?" tanya Celia.
"Aku ingin memberitahu Rion," kata Ethan sambil menarik napas dalam-dalam.
"Aku ingin dia mendengar kebenaran ini langsung dariku."
"Kenapa?" Celia bertanya sambil menyilangkan tangan. "Dia pasti akan panik. Dia bahkan tidak mengenalmu."
"Mungkin ya, mungkin tidak, tapi kita tidak punya pilihan. Begitu dia keluar dari rumah ini, dunia luar akan memberitahunya, dan aku lebih memilih dia mendengarnya sekarang dariku, bukan dari surat kabar," jawab Ethan sambil menatap mata Celia dengan serius.
Celia menggigit bibirnya, merenungkan situasi yang ada.
"Baiklah, aku akan membiarkanmu memberitahunya, tapi aku ingin ada di ruangan itu kalau-kalau terjadi sesuatu."
"Tidak," jawab Ethan dengan tegas, menatap matanya tanpa ragu. Dia butuh Celia mempercayainya. Dia ingin membuktikan bahwa dirinya bisa dipercaya.
Celia menghela napas, matanya melirik ke ruang tamu yang kosong. Inilah saatnya, momen yang selalu dia takuti sepanjang hidupnya—setidaknya selama sembilan tahun terakhir.
"Baiklah," katanya dengan suara pelan, akhirnya menyerah. "Tapi hati-hati, dia baru sembilan tahun."
“Aku tahu,” kata Ethan sambil memberikan senyuman kecil. Celia memejamkan matanya saat Ethan berjalan kembali ke dapur. Segalanya perlahan terasa lepas dari kendalinya; sebulan lalu dia sibuk mencari cara untuk menghindari kencan dengan Ivan, setelah itu meyakinkan ayahnya kalau dia tidak membutuhkan pria dalam hidupnya, dan meyakinkan dirinya sendiri kalau dia tidak peduli Ethan datang kembali ke kota ini. Beberapa minggu lalu, dia berada di rumah ayahnya, mengucapkan selamat tinggal pada satu-satunya keluarga yang selalu ada untuknya sepanjang hidup. Minggu lalu, dia kehilangan rumah dan toko, semua hal yang selama ini berusaha dia pertahankan.
Celia memperhatikan Ethan dan Rion berjalan melewati ruang makan menuju ruang tamu. Beberapa hari yang lalu, dia memberi tahu pria yang dicintainya kalau dia memiliki seorang anak yang telah dia sembunyikan selama sembilan tahun. Dalam hitungan detik, pria itu akan memberi tahu putranya bahwa ibunya telah menyembunyikan ayahnya darinya.
“Kamu kelihatan seperti butuh minum,” kata Eddie, muncul dari ruang tamu sambil membawa sebuah kotak.
“Cukup pelampung saja,” gumam Celia sambil berjalan kembali ke dapur mencari kopi.
Rion duduk di sofa berhadapan dengan Ethan, yang mengusap tangannya ke celana.
“Jadi,” kata Ethan sambil menepukkan tangannya. “Kita perlu bicara tentang apa yang sedang terjadi,” lanjutnya sambil menyesuaikan kerah bajunya. Jantungnya berdebar kencang, dan dia yakin bagian belakang lehernya terasa panas karena gugup.
Ethan bisa berdiri di depan ratusan orang memberikan pidato penerimaan, berbicara di depan kamera, berjalan di karpet merah, atau mencetak poin kemenangan terakhir dalam pertandingan yang begitu mendebarkan. Namun, sekarang dia duduk di depan seorang anak berusia sembilan tahun yang menatapnya, dan itu membuatnya menggigit bibir.
“Jadi…”
“Jadi…” Rion mengulang sambil menatapnya dengan alis terangkat. “Tahukah kamu kalau ayam merupakan evolusi dari dinosaurus?”
Ethan tertawa karena komentar yang begitu acak.
“Tidak, aku tidak tahu,” katanya sambil membiarkan bahunya rileks. “Dari mana kamu tahu itu?”
“Kakekku membeli buku tentang fakta-fakta random; dia meninggalkannya di kamar mandi sebagai bacaan, dan aku menyuruh Mommy membacakannya untukku,” jawab Rion sambil bersandar dan menyilangkan kakinya.
“Itu lucu,” kata Ethan sambil mengetuk dagunya dengan jari. “Dulu aku sering membaca buku fakta saat kecil. Ibuku sampai pusing karena aku suka tiba-tiba mengoceh fakta-fakta lucu secara random.”
“Fakta seperti apa yang kamu suka?” tanya Rion dengan senyum di wajahnya. “Aku suka yang tentang hewan.”
“Kamu tahu tidak, semut itu meregangkan tubuh mereka saat bangun pagi?” kata Ethan dengan senyum, merasa mulai lebih rileks.
“Keong punya empat hidung,” Rion menimpali sambil tersenyum lebar.
Ethan tertawa kecil dan menyandarkan tubuhnya ke kursi.
“Kamu anak yang lucu,” katanya, berharap Rion ingin mengenalnya seperti dia ingin mengenal Rion.
“Apa yang ingin kamu bicarakan?” Rion bertanya sambil menyilangkan tangannya dan mengayunkan kakinya ringan, menatap Ethan penuh rasa ingin tahu.
“Yah…, kamu ingat saat aku mengatakan betapa aku suka Mommy mu?” kata Ethan, tak tahu harus mulai dari mana. “Maksudku, aku masih menyukai dia, bahkan aku mencintainya.”
“Kamu ingin berpacaran dengan Mommy?” tanya Rion, penasaran. “Apa itu alasan semua orang ada di luar sana?”
“Tidak,” kata Ethan pelan sambil sedikit mencondongkan tubuh ke depan.
“Sebenarnya, semua orang di luar sana ada untuk melihatmu,” katanya sambil melambaikan tangannya.
“Apa yang sudah aku lakukan?” Rion bertanya dengan nada sedikit khawatir.
“Bukan apa yang kamu lakukan, tapi apa yang aku lakukan,” kata Ethan sambil berdiri, mendekat ke Rion dan memposisikan dirinya agar mereka bisa saling berhadapan.
“Aku melakukan hal yang sangat buruk, dan sekarang semua orang berkumpul di luar sana karena aku.”
"Apa yang kamu lakukan?" tanya Rion dengan mata membelalak.
"Rion," Ethan berkata sambil menarik napas dalam-dalam dan mengusap tengkuknya. "Pernahkah kamu bertanya-tanya tentang ayahmu?"
"Mommy bilang dia pergi sebelum aku lahir," jawab Rion sambil menggelengkan kepala sedikit.
Ekspresi Ethan berubah saat dia menatap ke samping.
"Apa Mommy mu pernah mengatakan hal lain tentang ayahmu?"
"Tidak banyak, dia tidak suka membicarakannya. Itu membuatnya menangis," kata Rion sambil menatap Ethan. "Kakek selalu bilang dia bodoh karena meninggalkan Mommy, tapi meskipun dia pergi, dia masih mencintaiku."
Ethan mengangguk, dan rasa bersalah di hatinya semakin menusuk.
"Kakekmu benar," kata Ethan sambil menatap kembali ke arah Rion. "Aku memang mencintaimu, dan aku memang bodoh."
Rion menatap Ethan dengan ekspresi bingung di wajah mudanya, lalu bersandar ke sofa, menatap kosong ke tengah ruangan.
"Rion?" Ethan memanggil dengan suara pelan sambil menghela napas. "Aku benar-benar minta maaf karena meninggalkan kalian bertahun-tahun lalu. Aku minta maaf karena menghancurkan hati Mommy mu, aku minta maaf karena meninggalkan kalian sendirian di sini, dan aku minta maaf karena baru kembali sekarang."
Keheningan menggantung di udara sampai akhirnya Rion bicara.
"Kamu tidak mungkin ayahku," kata Rion dengan suara rendah.