Blurb :
Sebuah pernikahan yang hanya di dasari oleh cinta dari salah satu pihak, akankah berjalan mulus??
Jantung Arimbi seakan runtuh ketika pria itu mengatakan 'kita akan tidur terpisah'
Akankah ketulusan Arimbi pada putri semata wayang mampu membuat Bima, seorang TNI AU berpangkat Sersan Mayor membalas cintanya?
______
Arimbi terkejut ketika sosok KH Arifin, datang ke rumahnya bersama Pak Rio dan Bu Rio.
Yang lebih mengagetkannya, kedatangan mereka bertujuan untuk melamar dirinya menjadi istri dari putranya bernama Bima Sena Anggara, pria duda beranak satu.
Sosoknya yang menjadi idaman semenjak menempuh pendidikan di pondok pesantren milik Abi Arifin, membuat Arimbi berjingkrak dengan perjodohan itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Andreane, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
~ 27 ~
"Hari ini ayah pulang ya, bun?"
"Iya sayang, nanti kalau ayah sampainya sebelum pukul empat, ayah jemput Lala"
"Terus bunda nggak jemput Lala?" tanyanya lagi setelah menelan kunyahan terakhirnya.
"Nanti bunda juga jemput"
"Jadi ayah sama bunda jemput Lalanya barengan?"
"Iya"
"Yeyyy... Berarti ayah sama bunda sayang Lala"
Aku mengernyit. "Loh, ayah sama bunda kan memang sayang Lala"
"Tapi kata teman Lala, enggak. Kan ayah sama bunda jemputnya sering satu-satu, antarnya juga satu-satu"
"Tapi kan ayah sama bunda sama-sama sibuk La, jadinya salah satu aja, bukan karena nggak sayang Lala"
"Iya Lala tahu, itu kan kata teman Lala, bukan kata Lala. Kalau bunda sama ayah nggak sayang Lala, pasti Lala nggak di urusin, kan?"
Manik hitamku agak tajam menatap Lala yang sudah membuatku tergagap. Sepertinya selain sama ayahnya, aku juga di buat mati kutu oleh putrinya yang usianya belum genap lima tahun.
"Minum dulu nak, terus di lap mulutnya pakai tisu"
"Iya bunda"
Selesai sarapan, aku yang sudah siap dengan pakaian batikku, meminta Lala untuk menunggu sebentar selagi aku mencuci piring yang kami gunakan untuk sarapan.
Karena hanya dua piring dan beberapa sendok saja, aku tak butuh waktu lama untuk menyelesaikannya.
Aku langsung naik ke atas untuk mengambil tas dan kunci mobil yang masih ada di kamarku setelah mencuci semua piring.
Sesampainya di kamar, sepasang netraku menoleh ke arah meja rias lalu menatap pouch make up yang sempat ku gunakan tadi
Berhubung mas Bima akan pulang hari ini, dan kami janjian di sekolah Lala jika memungkinkan, ku rasa aku perlu membawa alat make up. Setidaknya biar wajahku tak terlihat memalukan saat bertemu mas Bima.
Tanpa berfikir lagi, akupun menyambar pouch berwarna gold lalu memasukkannya ke dalam tasku.
"Ayo sayang" Ajakku setelah kembali ke ruang makan.
Ku bantu Lala turun dari kursi dan ku gandeng tangan mungilnya.
"Kita sudah telat ya bun?" Kami melangkah dengan agak sedikit terburu-buru.
"Belum terlambat, nak. Tapi waktunya memang sudah mepet"
Aku memang bangun agak telat, itu karena mas Bima semalam mengajak ngobrol hingga pukul sebelas malam saat menelfonku. Tidak ada yang kami bicarakan, kami hanya membahas soal Lala dan gaji mas Bima yang sudah di transfer ke rekeningku.
Melalui mobile banking, aku bisa langsung tahu kalau mas Bima memang sudah mengirim uang gajinya yang akan ku gunakan untuk kebutuhan kami dan juga rumah tangga.
Perjalanan menuju sekolah Lala, yang biasanya ku tempuh hanya dalam waktu kurang lebih dua puluh menit, kali ini aku membutuhkan hingga tiga puluh menit lebih. Aku sempat terjebak macet saat melewati jalan protokol. Jalan itu memang selalu padat apalagi di jam kantor. Makannya aku lebih memilih berangkat agak pagi dari pada harus bertubrukan seperti ini.
Aku berjongkok, menyamakan tinggi levelku dengan Lala.
"Jangan nakal ya nak" kalimatku keluar bersamaan dengan Lala yang mencium punggung tanganku.
"Iya bunda"
"Ayo cium bunda dulu!" Dengan cepat Lala langsung menempelkan bibirnya di pipi kanan kiriku, setelahnya ganti aku membalas ciumannya dengan gemas.
"Hati-hati nak"
"Iya bunda. Assalamu'alaikum"
"Wa'alaikumsalam"
"Bunda love you, sayang"
"Lala juga"
Kami sama-sama tersenyum, aku menatap Lala sampai dia sun tangan bundanya yang menyambut di pintu masuk ruang kelas.
Membalikkan badan, ku langkahkan kakiku kembali menuju mobil.
Untung saja perjalanan dari sekolah Lala ke kantorku sangat lenggang, aku bisa sampai di sana tepat waktu.
Sejujurnya, aku tak bisa fokus dalam bekerja, sebab setiap kali teringat mas Bima yang hari ini akan pulang, dadaku langsung berdesir hingga menimbulkan efek geli.
Padahal dia suamiku, tapi memang sejak dulu pria itu selalu membuat jantungku kebat-kebit.
"Bi, bisa gantiin aku ke kantor PPPD?" Aku terlonjak karena secara tiba-tiba Riska menghampiri mejaku dengan nafas naik turun.
"Ada apa Ris?"
"Mertuaku masuk rumah sakit, Bi"
"Loh kenapa?" tanyaku penasaran, lengkap dengan dahiku yang mengerut
"Biasa, gula darahnya naik"
"Bisa-bisa"
"Makasih yah, semua berkas sudah ku siapkan di mejaku, kamu tinggal bawa ke kantor PPPD, serahkan pada Bu Emma, besok biar aku yang ambil"
"Jadi cuma ngantar berkas itu doang?"
"Iya Bi, aku janjian sama bu Emma pukul dua, jadi kalau bisa sebelum jam itu kamu sudah ada di sana"
"Okay"
"Makasih ya Bi, aku go dulu ke rumah sakit" Ucapnya gugup.
"Hati-hati, salam buat ibu mertuamu, semoga lekas sembuh"
"Iya, Bi" Balasnya sambil berlari.
Aku menghirup napas panjang, lalu ku keluarkan secara perlahan.
****
Sampai ketika pukul satu, aku bersiap hendak ke kantor PPPD.
Ku lajukan mobilku dengan kecepatan stabil, lagi-lagi dadaku berdesir kala mengingat sosok mas Bima di sela-sela mengemudiku.
Aku senang sebentar lagi akan melihat wajahnya, namun juga gerogi sekaligus takut karena semua yang berhubungan dengan mas Bima selalu membuatku salah tingkah dan akhirnya aku kehilangan konsentrasi.
Aku berharap Dewi Fortuna akan berada di sisiku ketika aku menghadapi mas Bima nanti, minimal harus bisa fokus membalas tatapannya yang tajam.
Ketika sampai di halaman kantor PPPD, aku melambatkan kecepatan mobil kemudian menginjak pedal rem.
Mematikan mesin, aku melepas seatbeltku lalu meraih map yang ku letakkan di jok depan. Aku akan menyerahkan dokumen ini kepada bu Emma.
Baru saja turun dari mobil, bersamaan dengan tanganku yang menghempaskan pintu mobil, aku mendengar seseorang memanggil namaku.
Aku menoleh untuk mencari tahu siapa yang memanggilku.
"Mbak Arimbi?"Panggilnya kedua kali.
Huufftt si Yoga lagi??? Kenapa aku sering sekali bertemu dengannya? Apa dia mengikutiku?
Ku telan salivaku seraya melempar pandangan ke arah kiri.
Sebenarnya malas sekali, tapi pura-pura cuek ataupun sombong bukanlah sifatku.
"Nggak nyangka ya, ketemu di sini?"
Aku hanya tersenyum meresponnya.
"Ada keperluan apa ke sini?"
"Urusan kantor" Jawabku tak mempertemukan netranya.
"Oh ya, mbak Arimbi.. Ngomong-ngomong, Bima sudah kembali dari dinas sepertinya"
Aku terhenyak sebenarnya, tapi berusaha menutupi raut wajahku yang terkejut.
"Tadi saya sempat bertemu dengannya di hotel Gemintang, dia mau masuk ke kamar nomor sebelas kalau tidak salah"
"Mungkin dia kelelahan jadi istirahat sejenak di sana, mas" Aku berusaha tenang.
"Mungkin saja" Balasnya santai. "Kebetulan saya menginap di sana karena rumah saya belum selesai di cat, lagi pula hotel itu dekat dengan Gallerynya Gesya. Dia sudah merekomendasikan hotel itu ke saya"
"Saya permisi mas, saya masih banyak pekerjaan" Aku tak mau menganggapinya kian lebih.
Tapi ngomong-ngomong, benarkah mas Bima ada di hotel itu?
Melangkahkan kaki sembari terus memikirkan ucapan pria itu, pikiranku langsung kacau balau.
Dia sudah pulang?
Sedang apa mas Bima di hotel, dia bisa istirahat di rumah sembari menunggu jam pulangnya Lala, kan?"
Ah, kenapa aku terusik dengan ucapan si Yoga?
Tapi kenapa hatiku terdorong ingin membuktikan ucapannya, apa aku harus memastikan ke hotel itu?
Sepertinya aku memang harus ke sana, aku penasaran apa yang mas Bima lakukan.
Melangkah gugup, aku langsung menemui bu Emma lalu menyerahkan titipan Riska.
Setelahnya aku langsung menancapkan gas menuju hotel Gemintang. Aku bahkan tak berbasa-basi dengan bu Emma sebab aku begitu ingin cepat-cepat ke sana.
Begitu sampai di hotel yang ku tuju, aku tak langsung turun, aku lebih memilih menunggu di luar. Jika benar Yoga melihat mas Bima, pasti dia belum keluar dan masih berada di sini.
Hanya selang tak kurang dari lima menit, sepasang netraku tiba-tiba menangkap sosok mas Bima keluar dari pintu masuk hotel, dia masih mengenakan pakaian dinasnya dengan salah satu tangan menarik koper.
M-mas Bima?
Kemungkinan mataku membulat sempurna, jantung di dalam sana juga kian ribut. Otakku buntu tak bisa berfikir jernih. Berbagai prasangka seakan berebut masuk memenuhi isi kepalaku.
Ku telan ludahku dengan setengah mati, untuk menghirup napas saja aku merasa kesulitan.
Apa ini?
Apa perlu aku menanyakan ke reseptionist ?
Tak ada pilihan lain, supaya rasa penasaranku terjawab, aku memang harus turun dan menanyakannya.
Andai saja tidak ku paksakan, mungkin aku sudah berjalan dengan merangkak memasuki hotel itu.
"Selamat siang mbak?" Sapaku ringan pada petugas hotel.
"Iya, ada yang bisa kami bantu?"
"Saya mau tanya, apa Bimasena Anggara chek in di hotel ini?"
"Sebentar bu, akan saya cek"
Aku mengangguk, menunggu dengan perasaan yang kian risau.
Beberapa menit berlalu, petugas itu kembali menatapku kemudian berkata.
"Maaf bu, Bimasena Anggara tidak menginap di sini. Tidak ada tamu dengan nama yang ibu sebutkan"
Entah kenapa aku tak percaya, jelas-jelas tadi mas Bima baru saja keluar dari sini.
"Tapi dia bilang chek in di sini kok mbak? Dia ada di kamar nomor sebelas"
"Mohon tunggu ya bu, saya cek ulang"
"Iya mbak"
Aku menghitung ketukan jarum jam.
Satu detik, dua detik, tiga detik, sampai empat detik, tiba-tiba.
"Tamu di kamar nomor sebelas atas nama Gesya Anastasya, mbak"
Aku tercenung dengan nama Gesya.
Mas Bima menemui Gesya?
Raut mukaku mungkin sudah memerah efek menahan sesuatu yang membuatku seakan tertimpa oleh benda berton-ton.
"Bisa saya menemuinya?"
"Apa sudah ada janji?"
"Sudah" Dustaku.
"Silakan bu, langsung masuk saja"
Dengan agak tertatih aku berjalan menyusuri koridor hotel, saat manik kelamku mendapati pintu bernomor sebelas, aku menghentikan langkahku.
Menghirup napas dalam-dalam sembari memejamkan mata, dengan berat ku angkat tanganku lalu ku pencet bel di sisi pintu.
Tak menunggu lama, sosok wanita dengan hanya memakai kimono dan rambut di bungkus handuk berwarna putih berdiri di depanku setelah pintu terbuka.
"Arimbi?" ucapnya tanpa ada raut terkejut sedikitpun.
"Gesya"
"Ada apa?" tanyanya acuh.
"Apa mas Bima ke sini tadi?"
Wanita itu mengernyitkan dahi.
"Iya, kenapa?"
"Apa yang kalian lakukan?"
"Apalagi Bi, ya melepas rindu lah, kamu lihat sendiri kan aku habis keramas"
Reflek mataku melirik rambutnya yang terbungkus kain.
Sungguh ucapannya, bagaikan aliran listrik yang langsung menyengat tubuhku dengan tanpa ampun.
Pandanganku kosong, sekosong hati dan pikiranku saat ini.
Bersambung.
Semangat berkarya