Rara Maharani Putri, seorang wanita muda yang tumbuh dalam keluarga miskin dan penuh tekanan, hidup di bawah bayang-bayang ayahnya, Rendra Wijaya, yang keras dan egois. Rendra menjual Rara kepada seorang pengusaha kaya untuk melunasi utangnya, namun Rara melarikan diri dan bertemu dengan Bayu Aditya Kusuma, seorang pria muda yang ceria dan penuh semangat, yang menjadi cahaya dalam hidupnya yang gelap.
Namun Cahaya tersebut kembali hilang ketika rara bertemu Arga Dwijaya Kusuma kakak dari Bayu yang memiliki sifat dingin dan tertutup. Meskipun Arga tampak tak peduli pada dunia sekitarnya, sebuah kecelakaan yang melibatkan Rara mempertemukan mereka lebih dekat. Arga membawa Rara ke rumah sakit, dan meskipun sikapnya tetap dingin, mereka mulai saling memahami luka masing-masing.
Bagaimana kisah rara selanjutnya? yuk simak ceritanya 🤗
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Queen Jessi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Amarah di Balik Cinta
Matahari mulai mengintip di balik tirai kamar saat Rara membuka matanya. Tubuhnya terasa berat, nyeri terasa di beberapa bagian tubuh akibat ulah Arga semalam. Ia menarik napas panjang, mencoba mengusir rasa lelah yang masih menggantung.
Saat melirik sisi tempat tidur, ia mendapati Arga tidak ada di sana. Tempat itu sudah rapi, tanpa jejak keberadaan suaminya. Perasaan kosong tiba-tiba menyergapnya.
Setelah membersihkan diri, Rara turun ke ruang makan untuk sarapan. Aroma masakan menggoda menyambutnya, tetapi hatinya tetap terasa berat.
"Bi Arga mana?" tanya Rara kepada bibi yang sedang menata meja makan.
"Tuan sudah berangkat ke kantor, Nyonya," jawab Bibi dengan sopan. "Beliau juga berpesan agar Nyonya tidak usah bekerja lagi. Tuan ingin Nyonya cukup di rumah saja."
Jawaban itu membuat Rara terdiam. Sudah beberapa hari ini ia merasakan batasan demi batasan yang Arga tetapkan. Semakin dekat ia dengan suaminya, semakin banyak hal yang dilarang.
Rara duduk di meja makan, menatap piringnya tanpa nafsu makan. Apa sebenarnya yang diinginkan Arga? Mengapa ia terus mencoba menjauhkan Rara dari dunianya? Dan kenapa sekarang ia bahkan melarang Rara untuk bekerja?
Ia mencoba mengingat malam sebelumnya, saat Arga memintanya untuk tidak meninggalkannya. Rara tahu, di balik sikap dingin dan tegas itu, Arga menyimpan rasa takut—takut kehilangan dirinya. Tetapi apakah itu cukup untuk menjelaskan semua batasan yang diberikan padanya?
Hari itu, Rara merasa seperti burung dalam sangkar emas. Rumah mewah ini, dengan segala kenyamanannya, tiba-tiba terasa seperti penjara. Rara ingin berbicara dengan Arga, ingin meminta penjelasan, tetapi ia tahu bahwa pria itu tidak mudah terbuka.
Sambil menatap keluar jendela, Rara berbisik dalam hati.
"Apakah ini harga yang harus kubayar untuk mencintai pria sepertimu, Arga?"
Jam dinding di ruang tamu menunjukkan pukul 00.15. Rara duduk gelisah di sofa, menatap layar ponselnya yang menampilkan panggilan tak terjawab untuk Arga. Suaminya belum pulang, dan telepon darinya pun tak diangkat. Perasaan cemas semakin menghantui.
Saat sedang berpikir untuk menghubungi Nanda, suara deru mobil memasuki halaman rumah membuatnya segera bangkit. Dengan langkah cepat, ia menuju pintu depan untuk menyambut Arga.
Namun, pemandangan yang ia temui di luar membuatnya terkejut. Nanda sedang memapah Arga yang dalam kondisi mabuk berat. Wajah suaminya merah, napasnya berbau alkohol, dan langkahnya terhuyung-huyung meski disangga oleh asistennya.
“Ada apa ini, Nanda?” tanya Rara dengan nada cemas, mencoba menahan emosi.
“Tuan Arga minum terlalu banyak dengan klien, Nyonya,” jawab Nanda sopan sambil membantu Arga tetap berdiri.
Rara menarik napas panjang, mencoba mengendalikan diri. “Baiklah, kamu istirahat saja di kamar tamu. Biar Arga aku yang bawa ke atas,” katanya dengan tegas.
Nanda tampak ragu sejenak, tetapi akhirnya mengangguk. “Baik, Nyonya. Jika ada apa-apa, panggil saya.”
Dengan susah payah, Rara memapah tubuh berat Arga ke lantai atas. Setiap langkah terasa seperti perjuangan, tetapi ia tidak mengeluh. Meskipun lelah dan sedikit kesal, ia tahu bahwa inilah tanggung jawabnya sebagai istri.
Setelah sampai di kamar, ia membaringkan Arga di tempat tidur. Pria itu menggumamkan sesuatu yang tidak jelas, tetapi matanya tetap terpejam. Bau alkohol yang menyengat memenuhi ruangan, membuat Rara langsung membuka jendela untuk membiarkan udara segar masuk.
Rara menatap suaminya yang tampak lelah dan tidak berdaya. Dalam kondisi seperti ini, Arga terlihat jauh dari sosok dingin dan berwibawa yang selalu ia tunjukkan. Perlahan, ia mengambil handuk basah dan mulai membersihkan wajah serta tubuh Arga, menghapus bau minuman yang melekat di kulitnya.
Ketika tangannya menyentuh wajah Arga, pria itu menggenggam pergelangan tangannya dengan lemah. “Rara...” gumamnya pelan, hampir seperti bisikan.
“Aku di sini, Arga,” jawab Rara lembut, meski air matanya mulai menggenang.
Malam itu, Rara merasakan kelelahan fisik dan emosional yang luar biasa. Namun, di balik semua itu, ia tetap merawat suaminya dengan penuh perhatian. Dalam hatinya, ia bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi pada Arga hingga membuat pria itu kehilangan kontrol seperti ini.
Sambil menatap Arga yang mulai tertidur lelap, Rara berbisik pada dirinya sendiri, “Aku tidak tahu berapa lama aku bisa bertahan, Arga. Tapi aku ingin kau tahu, aku selalu ada untukmu... meski semua ini terasa berat.”
Pagi itu, Rara mencoba mengalihkan pikirannya dengan membantu bibi menyiapkan sarapan. Ia merasa perlu mencari ketenangan setelah malam penuh emosi. Tak lama kemudian, suara langkah kaki terdengar. Arga dan Nanda keluar dari kamar masing-masing, wajah mereka masih tampak lelah.
"Makan dulu, Nanda," ucap Rara, berusaha tetap ramah meskipun hatinya berat.
"Baik, Nyonya," jawab Nanda tanpa ragu, lalu mengambil tempat di meja makan.
Namun, sikap Rara kepada Arga berbeda. Ia mendiamkan suaminya, tidak menyapanya sama sekali. Arga memperhatikan sikap istrinya dan akhirnya membuka suara.
"Rara, kamu mengacuhkan aku?" tanyanya dengan nada yang terdengar lebih seperti perintah daripada pertanyaan.
Rara tetap diam, matanya sibuk menyiapkan semangkuk sup untuk Arga. Dengan sedikit enggan, ia meletakkan mangkuk itu di depan suaminya.
"Ini, sup untuk menghilangkan mabuk," katanya datar.
Namun, tanpa sengaja, tangan Arga menyenggol mangkuk itu hingga sup tumpah ke lantai. Kejadian itu membuat Rara terkejut, tapi yang lebih terasa adalah perasaan sakit di hatinya.
"Setidak suka itu kamu dengan apa yang aku buat?" tanyanya dengan air mata mulai mengalir.
Arga tampak terkejut. "Maaf, aku tidak sengaja," jawabnya dengan nada pelan.
Tapi Rara tidak menerima alasan itu begitu saja. "Kamu bukan Arga yang aku kenal dulu, Ga. Kamu berbeda… semenjak malam itu."
Merasa situasi semakin memanas, Arga memerintahkan bibi dan pelayan lainnya untuk meninggalkan ruang makan. "Kalian semua pergi," katanya tegas.
Setelah mereka pergi, Arga mencoba meraih tangan Rara. "Maafkan aku, sayang," ucapnya, suaranya terdengar lebih lembut.
Namun, Rara menepis tangannya. Air matanya kini mengalir deras. "Aku salah apa, Arga? Semenjak kejadian itu, kamu semakin jauh dariku. Bahkan aku tidak diperbolehkan bekerja lagi!"
"Aku punya alasan sendiri," jawab Arga singkat, berusaha mengakhiri pembicaraan.
"Alasan?" Rara tertawa getir. "Bukan alasan. Kamu hanya tidak suka aku mengetahui sisi gelap kamu, kan?"
Arga menghindari tatapan Rara. "Aku tidak mau membahas itu," katanya dingin.
"Kenapa?! Kenapa kamu selalu menghindar?!" teriak Rara, emosinya meledak.
Arga, yang masih setengah mabuk, kehilangan kendali. "Urusan kamu apa, ha?! Jangan ikut campur urusan aku!" bentaknya, suaranya menggelegar.
Nanda segera mendekat, berusaha menenangkan Arga. "Arga, jangan terbawa emosi. Dia istrimu."
Namun, Rara tidak mundur. "Urusan aku apa? Aku istrimu, Arga! Aku berhak tahu segalanya. Aku berhak atas dirimu!"
Kata-kata Rara seperti menyalakan api dalam diri Arga. "Berhak, katamu? Kalau bukan karena bisnis gelap yang aku jalani, sekarang aku bukan apa-apa! Bisnis ayah bukan seberapa dibandingkan bisnis yang aku bangun sendiri!"
Rara menatapnya dengan air mata penuh kecewa. "Kamu lebih memilih harta kotor itu daripada aku?"
Arga mendadak marah. Dengan gerakan cepat, ia mencekik Rara, wajahnya penuh emosi. "Jangan coba-coba kau mengatakan harta kotor! Itu semua jerih payahku!"
Melihat situasi semakin berbahaya, Nanda segera menarik tangan Arga, menghentikannya. "Arga! Lepaskan dia! Kau sudah kelewatan!"
Arga akhirnya melepaskan cekikannya, tetapi matanya tetap penuh amarah. Ia menatap Rara yang kini menangis tersedu-sedu di lantai, lalu tanpa berkata apa-apa lagi, ia berjalan keluar rumah dengan langkah berat.
Bibi dan pelayan lainnya segera datang untuk menenangkan Rara. Mereka membantu mengobati tangannya yang terkena percikan sup panas. "Sabar ya, Nyonya," ucap bibi lembut, berusaha menghiburnya.
Rara hanya bisa menangis dalam diam, merasakan luka di hatinya yang jauh lebih dalam daripada luka di tangannya. Ia bertanya-tanya, apakah cinta mereka masih bisa bertahan di tengah kegelapan yang kini menyelimuti pernikahan mereka.