Diaz, CEO yang menjual bunga dan coklat setiap hari Sabtu. Dia mencari wanita yang cocok dengan sepatu kaca biru milik ibunya. Apa sebenarnya tujuan mencari wanita itu? Memangnya tidak ada wanita lain? Bukankah bagi seorang CEO sangat mudah mencari wanita mana pun yang diinginkan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon El Nurcahyani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perjanjian Bisnis Lili Diaz
Bab 16
Setelah kepergian Tuan Gunawan, ruangan itu terasa lengang. Lili berdiri di tempatnya, masih memikirkan percakapan yang baru saja terjadi. Ia mengarahkan pandangan ke Tuan Asher, yang kini tampak sedikit lelah. Dengan hati-hati, Lili mendekatinya.
“Papi...” panggil Lili lembut, ragu-ragu.
Asher mendongak, menatap putrinya dengan senyum tipis. “Ya. Kenapa, Nak?”
“Apa yang sebenarnya terjadi tadi?” tanya Lili dengan nada hati-hati. “Kenapa Tuan Gunawan terlihat begitu marah? Apakah ini tentang bisnis?”
Asher menghela napas panjang, lalu bersandar di kursinya. “Hanya kesalahpahaman saja. Tidak perlu terlalu dipikirkan.”
“Tapi...” Lili terdiam sejenak, menatap wajah Asher yang tenang namun terlihat sedikit murung. “Aku merasa tadi Papi diintimidasi. Dia sepertinya terlalu menekan Papi soal acara. Memangnya pernah ada acara apa, Pih?”
Asher tertawa kecil, meskipun tidak terdengar sepenuhnya riang. “Ah, itu bukan intimidasi, Lili. Gunawan memang begitu orangnya. Karakternya keras, terlalu mengutamakan formalitas dalam dunia bisnis. Tapi Papi sudah terbiasa.”
“Tapi aku tetap tidak suka melihat Papi diperlakukan seperti itu,” ujar Lili, menunduk sedikit.
Asher menepuk bahunya pelan, menenangkan. “Tidak apa-apa, Lili. Bagi Papi, hal seperti ini hanya bagian kecil dari permainan bisnis. Gunawan itu seperti angin kencang—berisik, tapi tidak selalu membawa hujan. Jangan khawatir, oke?”
Lili mengangguk perlahan, meski hatinya masih terasa berat. “Kalau begitu, apa yang bisa aku bantu sekarang?”
Asher tersenyum lebih lebar. “Mari kita bicarakan soal pekerjaan saja. Apa yang ingin kau laporkan?”
“Oh, iya!” Lili segera mengubah ekspresi wajahnya menjadi lebih serius. “Tadi aku bertemu Tuan Diaz di restoran. Dia menitipkan kartu namanya dan bilang kalau pembicaraan bisa dilanjutkan melalui telepon jika ada hal yang mendesak.”
Asher menatapnya sejenak, lalu mendadak menepuk jidatnya sendiri. “Astaga, Lili! Kenapa Papi bisa sampai lupa memberikan nomor ponselmu ke Diaz? Papi masih merasa proyek ini Papi yang pegang. Jadi lupa memberikan no ponsel mu kemarin."
“Papi, jangan khawatir,” sahut Lili cepat, menenangkan. “Papi sudah mengurus banyak hal. Wajar saja kalau ada yang terlewat. Lagipula, ini bukan masalah besar. Aku bisa menghubungi Diaz nanti jika dibutuhkan.”
Asher tersenyum kecil, meskipun raut wajahnya masih menunjukkan sedikit rasa bersalah. “Kau terlalu baik, Lili. Tapi Papi akan lebih berhati-hati ke depannya. Proyek ini penting, dan kita tidak boleh ada celah.”
Lili tersenyum lembut. “Aku tahu, Papi. Dan aku akan melakukan yang terbaik untuk membantu.”
Asher mengangguk, lalu mengembuskan napas panjang. “Baiklah. Kalau begitu, mari kita fokus pada persiapan lelang besok. Kita harus membuat rencana yang matang.”
Lili mengangguk dengan penuh semangat, meski di dalam hatinya masih terbersit kekhawatiran tentang Tuan Gunawan dan hubungannya dengan Tuan Asher. Namun, ia memutuskan untuk menyimpannya sendiri—untuk saat ini.
###
Setelah berbicara dengan papinya, Lili meminta izin untuk kembali ke ruang kerjanya. Langkahnya di koridor terasa berat, bukan karena lelah, tapi karena pikirannya terus berputar. Ada sesuatu yang mengganjal di benaknya—pesan yang harus ia kirimkan kepada Diaz.
Ia tahu itu tugas yang sederhana, namun entah kenapa hatinya terasa bimbang. Bagaimana cara memulainya? pikir Lili. Meskipun ini soal pekerjaan, ada keraguan yang membuatnya tak tenang.
“Profesional, Lili. Ini hanya soal bisnis,” gumamnya pelan sambil berusaha menenangkan diri. Namun, dia tahu masalahnya bukan hanya soal profesionalitas. Orang yang akan dihubunginya bukan orang biasa—Diaz, teman kecilnya, sekaligus tuan mudanya juga waktu dulu, 13 tahun yang lalu.
Lili menarik napas panjang. Dia tahu posisinya. Dia hanyalah putri seorang sopir, dan meskipun ia sudah menjadi putri seorang pebisnis juga, tapi secara pribadi perbedaan antara mereka tetap begitu besar.
Ketika sampai di ruang kerjanya, Lili duduk di kursi dan membuka ponselnya. Jemarinya sempat berhenti di atas layar, menatap nomor Diaz yang baru saja ia simpan. Ia ragu selama beberapa detik, sebelum akhirnya berkata dalam hati, Ini hanya pesan. Tidak lebih.
Dengan tekad yang terkumpul, Lili mulai mengetik pesan.
"Selamat siang Tuan Diaz. Saya Lili, ingin memastikan kapan waktu yang tepat untuk kita lanjutkan pembahasan proyek ini?"
Lili membaca ulang pesannya beberapa kali sebelum menekan tombol kirim. Setelahnya, ia meletakkan ponsel di meja dan menatap ke luar jendela, mencoba menenangkan degup jantungnya yang tak beraturan.
###
Sementara itu, di restoran tempat Diaz masih berada, suasana mulai lengang. Diaz baru saja selesai makan siang dan sedang menyeruput kopi ketika ponselnya bergetar. Dia mengambilnya dan melihat pesan dari Lili.
Wajahnya yang biasanya serius langsung berubah. Matanya berbinar seketika, dan senyuman kecil menghiasi wajahnya. Sesuatu di dalam dirinya terasa hangat saat membaca pesan itu.
Monica, yang duduk di seberang meja, memperhatikan perubahan ekspresi itu. Begitu juga Eriva, yang duduk di sebelah Monica.
“Lihat itu,” bisik Monica sambil mencondongkan tubuh sedikit ke arah Eriva. “Kau tahu, aku tidak pernah melihat Diaz tersenyum apalagi tertawa. Tapi lihat sekarang."
“Jarang? Bahkan mungkin nggak pernah? Apa iya?” jawab Eriva setengah berbisik, tak bisa menyembunyikan rasa penasaran.
Eriva memang baru pertama kali diajak Kakek Surya untuk mengikuti acara-acara bisnis di negeri ini. Biasanya Eriva lebih sering melakukan perjalanan spiritual bisnisnya di luar negeri. Katanya kalau di negeri sendiri bosan, tidak ada yang aneh.
“Siapa yang bisa membuat CEO Mahendra corp. yang dingin itu tersenyum seperti ini?” gumam Monica sambil berusaha melirik layar ponsel Diaz, meskipun tidak terlihat siapa yang chat pastinya.
Diaz, yang menyadari bahwa dirinya sedang diperhatikan, langsung memasang wajah netral dan meletakkan ponselnya di meja. Namun, Monica dan Eriva sudah menangkap cukup banyak untuk menyadari bahwa ada sesuatu—atau seseorang—yang spesial di balik pesan itu.
Diaz melirik Monica dan Eriva dengan tatapan tajam, tapi tidak sepenuhnya serius. “Kalian tidak punya pekerjaan lain selain mengamati aku?”
"Aku hanya heran, kenapa kok seperti gembira gitu? Apa kau memenangkan sebuah proyek?" tanya Monica tanpa basa-basi.
"Bukan urusanmu." Kemudahan Diaz berdiri dari duduknya. "Ayo pulang," ajaknya
Namun, sebelum benar-benar Diaz beranjak, dia menerima pesan lagi dari Lili.
"Tempatnya di mana? tanya lili dari seberang ponsel.
Diaz yang sudah berdiri hendak pergi . Dia sempatkan mengetik balasan dengan singkat:
"Bagaimana kalau di kantorku saja."
Sama halnya dengan Lili, Diaz juga terus membaca ulang berkali-kali pesan itu. Takutnya salah ketik sebelum dikirim
Setelah pesan terkirim, Diaz meninggalkan meja makan tersebut. Tanpa mengajak Monica atau Eriva. Dia pikir, karena sudah mengajak tadi. Mereka bukan anak kecil yang harus diingatkan berkali-kali.
Bersambung...