Kisah kali ini bergenre fantasy lokal, Ini bukan Milky way 4, ini adalah perjalan seorang Resi yang mereka sebut sebagai Maha Guru di cerita Milky Way
ini awal mula sebuah kisah Milky Way. Perjalanan Seorang Resi bernama Mpu Bharada untuk menemukan tanah impian. sebuah tempat dimana dia bisa mendirikan sebuah kebahagiaan dan kedamaian.
Seharusnya ini menjadi flashback tiap episode Milky Way. tetapi karena cerita Milky Way akan berkembang ke arah dataran legenda yang mereka sebut sebagai negara tersembunyi, dan juga Milky Way 4 nanti menceritakan tentang kelahiran kembali Mpu Bharada di era modern, maka saya putuskan untuk membawa kisah perjalanan sang Resi dalam bentuk cerita utuh.
note : cerita ini adalah awal mula. jadi tidak perlu baca Milky Way seri Vallena dulu
untuk nama tokoh, mungkin tidak terdengar asing, sebab saya mengambil nama tokoh tokoh terkenal, mitos mitos dalam sejarah jawa kuno beserta ilmu ilmu kanuragan pada masa lampau
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lovely, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Wasiat Jaka
Malam mulai turun, dan langit yang sebelumnya cerah berubah menjadi kelam. Di tengah rerimbunan hutan, dengan suasana yang sunyi hanya diselingi oleh suara serangga malam, Mpu Bharada dan Raka duduk di samping tubuh Jaka yang terbaring lemah. Napasnya pendek, tubuhnya penuh luka, dan wajahnya memancarkan rasa sakit bercampur keputusasaan. Namun, matanya masih menyala dengan tekad terakhir yang ia bawa.
“Tuan, aku… aku tidak punya banyak waktu lagi,” kata Jaka dengan suara terputus-putus. “Sebelum aku pergi, izinkan aku menceritakan semuanya.”
Raka, yang terlihat cemas, mencoba menenangkan Jaka.
“Jangan bicara dulu. Aku akan mencari cara untuk menyembuhkan mu.”
Namun, Jaka hanya menggeleng pelan.
“Tidak, ini sudah takdirku. Dengarkan aku… ini penting…”
Dengan suara yang lemah tetapi penuh emosi, Jaka mulai menceritakan kisahnya.
“Aku… aku hanyalah seorang pria biasa. Tetapi aku memiliki segalanya ketika aku bersama seorang gadis bernama Tari. Dia adalah hidupku, cahaya yang menerangi hari-hariku. Tapi kebahagiaan kami tidak bertahan lama…”
Mpu Bharada dan Raka mendengarkan dengan seksama, sementara Jaka melanjutkan ceritanya.
“Suatu hari, pangeran kerajaan Suradwipa melihat Tari. Ia terpesona oleh kecantikannya dan… tanpa peringatan, dia merampas Tari dariku. Tari menangis, tetapi apa daya kami melawan seorang pangeran? Aku mencoba melawan, tetapi aku hanya dianggap seperti semut kecil di hadapan singa.”
Raka mengepalkan tangannya.
“Itu tidak adil! Kau pasti sangat menderita.”
“Benar,” jawab Jaka dengan nada getir. “Tetapi aku tidak tinggal diam. Di tengah kemarahanku, aku menantang sang pangeran untuk bertarung. Di depan rakyat, aku berdiri dan menyatakan duel sampai mati untuk memperebutkan Tari.”
Raka terdiam, membayangkan keberanian besar yang dibutuhkan untuk menantang seorang pangeran. Mpu Bharada, di sisi lain, mengangguk pelan, seolah-olah ia memahami langkah Jaka.
“Sang pangeran… dia menerima tantangan itu. Bukan karena keberanian, tetapi karena egonya yang terluka. Ia ingin menunjukkan kepada rakyat bahwa tidak ada yang bisa mempermalukannya. Aku bersumpah untuk menyelamatkan Tari, jadi aku pergi berlatih. Aku belajar kanuragan dari berbagai guru, mencoba menjadi cukup kuat untuk melawan seorang pangeran.”
Jaka berhenti sejenak, napasnya semakin berat. Dengan suara yang hampir berbisik, ia melanjutkan,
“Tapi… Suradwipa adalah tempat yang penuh tipu daya. Beberapa hari sebelum duel, aku dihadang oleh sang patih. Dia tidak ingin aku bertarung. Dia bilang… aku tidak boleh mempermalukan pangeran. Sebagai gantinya, aku dihukum mati di tempat.”
Mata Raka membelalak.
“Mereka membunuhmu hanya karena kau ingin membela kehormatanmu?”
Jaka mengangguk lemah.
“Bagi mereka, kehormatan pangeran lebih penting daripada nyawaku. Sekarang aku hanya seorang lelaki yang terlupakan, dan Tari… dia mungkin masih berada di istana, menunggu pertolongan.”
Raka menunduk, air matanya hampir jatuh. Tetapi ia segera menatap gurunya.
“Guru, kita harus melakukan sesuatu!”
Jaka mengangkat tangannya yang gemetar, mencoba meraih tangan Raka.
“Aku tahu… aku tidak punya harapan lagi. Tetapi kau… kau bisa menyelesaikan ini untukku. Gantikan aku, lawan pangeran itu, dan selamatkan Tari. Aku tidak meminta apa pun kecuali itu. Tari tidak pantas menjalani kehidupan seperti ini.”
Raka menatap Jaka, matanya penuh dengan tekad.
“Aku bersumpah, Jaka. Aku akan melakukannya. Aku akan menyelamatkan Tari dan mengembalikan kehormatanmu.”
Sebuah senyum kecil muncul di wajah Jaka. Dengan napas terakhirnya, ia berbisik,
“Terima kasih… saudaraku…” Tubuhnya akhirnya terkulai, dan napasnya berhenti.
Raka menundukkan kepala, berdoa untuk Jaka yang telah pergi.
“Dia tidak pantas mati seperti ini,” gumamnya.
Mpu Bharada, yang sejak awal diam, tiba-tiba mendekati tubuh Jaka. Ia memandang wajah pemuda yang telah meninggal itu dengan tatapan penuh perhatian. Kemudian, ia beralih menatap Raka. Wajahnya yang biasanya tenang berubah menjadi sedikit heran.
“Aneh…” gumamnya pelan.
Raka menoleh ke arah gurunya.
“Apa yang aneh, Guru?”
Mpu Bharada menggeleng perlahan, tetapi matanya tetap terfokus pada wajah Jaka.
“Wajahnya… sangat mirip denganmu, Raka. Bahkan struktur tubuhnya hampir sama. Apakah ini hanya kebetulan? Atau mungkin… takdir sedang bermain-main dengan kita?”
Raka terkejut mendengar itu. Ia menatap tubuh Jaka, mencoba menemukan kemiripan yang disebutkan gurunya. Semakin ia melihat, semakin ia menyadari bahwa gurunya tidak salah. Ada kesamaan yang mencolok antara dirinya dan Jaka.
“Guru… apakah ini artinya aku…” Raka tidak bisa menyelesaikan kalimatnya, tetapi Mpu Bharada tersenyum kecil.
“Raka, dunia ini penuh dengan misteri. Ada hal-hal yang tidak selalu bisa kita pahami. Tetapi ingatlah, kemiripan ini bukanlah kebetulan. Mungkin, ini adalah tanda bahwa kau memang ditakdirkan untuk melanjutkan perjuangannya.”
Setelah beberapa saat keheningan, Mpu Bharada menepuk bahu muridnya dengan lembut.
“Raka, aku tahu hatimu dipenuhi amarah sekarang. Tetapi jangan biarkan amarah itu menguasai mu. Apa yang kau lakukan harus didasari oleh keadilan, bukan dendam. Jangan menggunakan Api Brajamusti. Aku yakin di kerajaan Suradwipa akan banyak yang mengincar kamu jika mereka tahu kau memiliki api itu”
Raka mengangguk pelan, tetapi masih ada api yang menyala di matanya.
“Aku akan melakukannya, Guru. Tapi bukan karena dendam. Aku akan melakukannya demi Tari, dan demi Jaka.”
Mpu Bharada tersenyum, puas dengan jawaban muridnya.
“Baiklah. Jika itu yang kau pilih, aku akan mendukungmu. Tetapi ingat, Raka, perjalanan ini tidak akan mudah. Suradwipa adalah kerajaan yang kuat, dan pangerannya bukan lawan yang bisa diremehkan.”
Raka mengepalkan tangannya.
“Aku tidak peduli seberapa kuat mereka, Guru. Aku akan melakukannya.”
Mpu Bharada mengangguk sekali lagi.
“Kalau begitu, mari kita persiapkan diri. Perjalanan ini bukan hanya tentang kekuatan, tetapi juga tentang kebijaksanaan. Aku akan memastikan kau siap menghadapi apa pun yang menunggumu di Suradwipa.”
Malam itu, mereka menguburkan Jaka dengan penuh hormat di bawah naungan pohon besar di hutan. Setelah itu, mereka melanjutkan perjalanan menuju Suradwipa, membawa tekad baru dan beban moral yang besar. Mpu Bharada dan Raka tahu bahwa ini bukan hanya tentang menyelamatkan Tari, tetapi juga tentang menegakkan keadilan di dunia yang penuh ketidakadilan. Langkah mereka kini menjadi lebih berat, tetapi juga lebih berarti.
tapi untuk penulisan udah lebih bagus. deskripsi lingkungan juga udah meningkat 👍