Andhira baru saja kehilangan suami dan harus melahirkan bayinya yang masih prematur akibat kecelakaan lalulintas. Dia diminta untuk menikah dengan Argani, kakak iparnya yang sudah lama menduda.
Penolakan Andhira tidak digubris oleh keluarganya, Wiratama. Dia harus tetap menjadi bagian dari keluarga Atmadja.
Akankah dia menemukan kebahagiaan dalam rumah tangganya kali ini, sementara Argani merupakan seorang laki-laki dingin yang impoten?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Santi Suki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13. Gara-Gara Isi Paket
Bab 13
Argani ingat betul tanda merah itu dia buat tanpa sengaja. Semalam guling membatas dirinya dengan Andhira pindah ke sisi wanita itu, sehingga dirinya memeluk sang istri yang dikira guling.
Mulut Argani nempel di perpotongan leher Andhira. Kelembutan dan wangi kulit wanita itu membuat dia menghisapnya sampai merah. Belum lagi tangan dia memegang sumber ASI milik Arya, di mana wanita itu tidak memakai kain pengaman ketika malam hari.
Semalam merupakan kejadian yang kedua kalinya. Kejadian pertama terjadi tiga bulan yang lalu. Bedanya tempat itu berada di leher belakang dan tidak terlihat oleh siapapun. Malam itu juga untuk pertama kalinya Argani menyentuh dada montok sang istri.
Argani mengira kalau Andhira kelelahan sampai-sampai tidak sadar dengan semua sentuhannya. Sama seperti dirinya yang tidak sadar tangan dan mulutnya berkeliaran di tubuh sang istri.
"Gani. Hei, malah melamun!" Mama Aini menepuk pundak putranya.
Argani yang sedang mengingat kejadian semalam dibuat tersentak oleh suara dan tepukan ibunya. Dalam hati dia menggerutu karena sudah membuyarkan kenangan indah semalam. Bohong jika dia bilang tidak suka menyentuh aset Andhira yang besar dan lembut karena sedang menyusui. Makanya dia sering memalingkan muka ketika melihat Arya sedang menyusu.
"Ada apa, Ma?" tanya Argani.
"Antarkan ini ke Dhira!" titah Mama Aini sambil menyerahkan sebuah kotak yang dibungkus plastik hitam.
"Sejak tadi Gani terlihat melamun terus. Apa sedang ada masalah di perusahaannya, ya?" Papa Anwar merasa heran dengan tingkah putranya.
"Mungkin sedang memikirkan kasus kecelakaan Dhika, Pa. Hari ini tepat setahun kejadian itu. Mama masih belum percaya jika Dhika sudah pergi mendahului kita."
Papa Anwar memeluk Mama Aini. Dia juga sedih sudah kehilangan putra bungsunya. Namun, semua itu takdir dari Yang Maha Kuasa, jadi harus ikhlas.
Andhira menyusui Arya sambil duduk di pinggir kasur. Putranya kelihatan kehausan.
"Dhira," panggil Argani.
"Ya, Mas," balas Andhira.
Mendengar suara ayahnya, Arya sejenak terdiam. Andhira mengira sang anak akan melepaskan hisapannya, justru malah sebaliknya. Bayi itu melanjutkan lagi menghisap ASI.
Argani bimbang antara masuk atau menunggu pintu dibuka. Akhirnya dia memutuskan untuk kembali ke ruang keluarga setelah memberi tahu ada paket untuknya.
"Loh, kok, paketnya kamu bawa kembali! Kenapa tidak dikasih ke Dhira? Itu paket buka dulu baru bayar. Kasihan tukang kurirnya nunggu di depan," ucap Mama Aini.
"Biar aku bayar saja, Ma." Argani pergi ke depan daripada harus melihat Andhira menyusui, lebih baik dia bayar paketnya.
Andhira ingat kalau paket pesanan miliknya belum dibayar. Untung Arya mau berhenti ketika diminta berhenti oleh ibunya. Dia segera keluar setelah merapikan pakaiannya.
"Loh, Kang paketnya, mana?" tanya Andhira.
"Sudah pergi. Paketnya sudah aku bayar," jawab Argani.
Andhira membuka paket pesanannya. Dia terbengong dengan alis mengkerut karena barang yang datang bukan pesanan yang dibeli.
"Tokonya salah kirim barang. Pantas harganya mahal," kata Andhira dengan kecewa.
"Retur saja kalau tidak sesuai dengan pesanan kamu."
"Mas, sih, langsung main bayar saja! Tidak di cek dulu barangnya."
Andhira sangat kecewa. Dia pesan setelan piyama kancing depan agar mudah ketika menyusui Arya. Terlebih lagi piyama pesanannya bergambar kuda poni, kesukaan Arya.
"Emangnya yang datang barang apa?" tanya Argani.
Andhira membuka plastik kemasan barang. Begitu dibuka, mata Argani dan Andhira terbelalak. Barang yang datang adalah sebuah lingerie seksi berwarna merah marun.
"Ada yang jatuh." Argani mengambilnya.
Muka Andhira dan Argani sama-sama merah padam ketika sadar yang jatuh itu adalah kain pengaman bawah. Laki-laki itu tahu pakaian dinas wanita, karena pernah membelikan Liana ketika mereka akan menikah. Begitu juga dengan Andhira yang mempunyai pakaian seperti itu hadiah dari tamu undangan dan ibu mertuanya. Walau dia hanya sekali pernah memakai itu ketika malam pengantin sambil menunggu Andhika yang pergi entah ke mana.
"Ternyata kalian ada di sini." Mama Aini menuntun Arya berjalan ke arah orang tuanya.
Mata Mama Aini terbelalak ketika melihat Andhira memegang lingerie dan Argani memegang sesuatu yang warnanya senada dengan baju yang dipegang sang menantu. Dia tidak menyangka kalau anak dan menantunya sudah sampai tahap ini. Sebagai seorang ibu dan mertua, tentunya bahagia melihat mereka begitu harmonis.
"Sayang, kita cari Opa, yuk!" Mama Aini langsung menggendong Arya dan membawa pergi mencari suaminya.
"Mama–"
Argani ingin menghentikan ibunya, tetapi terlambat. Wanita paruh baya itu sudah pergi menjauh dengan cepat. Dia yakin sang ibu akan bercerita apa yang barusan dilihat kepada papanya.
"Papa ... Papa! Tahu tidak?" Seperti dugaan Argani, Mama Aini langsung laporan kepada suaminya.
"Ada apa, Ma?" tanya Papa Anwar sambil meletakkan handphone-nya.
"Kayak senjata Argani sudah perkasa lagi, tidak loyo," jawab Mama Aini terlihat senang.
"Hah, yang bener?" Papa Anwar tidak percaya kalau putranya bisa sembuh lagi. Karena dulu dia menolak melakukan pengobatan setelah digugat cerai oleh Liana.
"Iya. Akhirnya Gani jadi laki-laki tulen, tidak loyo lagi," balas wanita paruh baya dengan senyum mengembang menghiasi wajahnya.
Arya terdiam mendengarkan pembicaraan kakek dan neneknya. Dia tahu kalau mereka sedang membicarakan papanya, tanpa tahu maksud apa yang sedang mereka bicarakan.
Sampai sekarang Andhira belum tahu kekurangan Argani. Dia pernah memuji laki-laki itu sabar dan kuat menahan syahwaatnya karena tidak mau memaksa untuk menyentuh tubuhnya. Mereka paling bergandengan tangan, itu juga ketika di tempat ramai agar tidak terpisah.
"Apa setelah menikah Gani melakukan pengobatan secara diam-diam, Pa? Kok, tidak bilang-bilang sama kita!" Mama Aini begitu semangat membicarakan putranya.
"Mungkin saja, Ma. Dia tidak ingin menganggurkan istrinya. Apalagi Dhira masih muda dan sedang dalam masa puber pertama," ujar Papa Anwar.
Saking senang dan bahagianya pasangan paruh baya itu lupa kalau ada anak kecil pintar sedang bersama mereka. Kata-kata tidak di sensor dan bicara menggebu-gebu.
"Berarti kita bisa punya cucu lagi!" Mama Aini membayangkan mereka akan punya banyak cucu.
"Bener, Ma."
Sementara itu, pasangan suami-istri yang yang masih membeku di ruang tengah sama-sama saling terdiam. Mereka masih merasa malu.
"Baju ini harus diapakan?" tanya Andhira.
"Pakai saja," jawab Argani sekenanya.
Apa yang ada di pikiran Andhira dan apa yang ada di otak Argani berbeda. Sang istri mengira suaminya menyuruh memakai lingerie itu. Sementara otak Argani berpikir daripada mubadzir lebih baik pakai saja kalau mau.
"Apa tidak apa-apa aku memakainya?" tanya Andhira dengan jantung berdebar dan tersipu malu karena mengira suaminya menginginkan dirinya.
"Tentu saja. Masa aku yang harus memakai baju begitu!" jawab Argani. Dia tidak tahu kalau ucapannya akan menjadi bumerang untuk dirinya.
***
cepat² lah tobat pak Bagas, sama nenek peyot.🤭 gregetan bgt sumpah