Menunggu selama empat tahun lebih tanpa kepastian, Anya bahkan menolak setiap pinangan yang datang hanya untuk menjaga hati seseorang yang belum tentu ditakdirkan untuknya. Ia tetap setia menunggu, hingga sebuah peristiwa membuat hidupnya dan seluruh impiannya hancur.
Sang lelaki yang ditunggu pun tak bisa memenuhi janji untuk melamarnya dikarenakan tak mendapat restu dari keluarga. Di tengah hidup yang semakin kacau dan gosip panas yang terus mengalir dari mulut para tetangga, Anya tetap masih berusaha bertahan hingga ia bisa tahu akan seperti apa akhir dari kisahnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rijal Nisa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kembali Bersujud
Di tengah malam, pak Faisal terbangun dari tidurnya.
Ucapan Anya kembali terngiang di telinganya, benar jika dirinya sudah lama tidak bersujud.
"Ya Allah." Pak Faisal menangis, bahunya berguncang. Ditatapnya sajadah yang tergantung rapi di sangkutan, sarung, dan baju yang sudah Anya siapkan sejak tadi malam.
"Betapa lamanya aku meninggalkan kewajibanku ini ya Rabb! Ampuni segala dosa hamba ya Allah. " Pak Faisal menyeka air matanya.
Beliau kemudian bangun dan mengambil sajadah itu.
Bu Aila sudah bangun saat mendengar isakan tangis suaminya tadi. Namun, beliau berpura-pura tidur saja supaya tahu apa yang hendak dilakukan oleh suaminya.
Pak Faisal masuk dalam kamar mandi untuk berwudhu, malam ini beliau kembali bersujud setelah sekian lama tubuh itu tidak membungkuk.
Segala macam keluh kesah ia tumpahkan di sana. Linangan air matanya malam ini menjadi bukti bahwa ia telah kembali ke jalan-Nya.
Mata hatinya terbuka sekarang, banyak yang terjadi dalam hidup, dan itu seharusnya menjadi sebuah pelajaran yang membawanya semakin dekat dengan Rabb-nya. Bukan malah menjauh dan semakin jauh, karena jika Allah memberikan suatu cobaan dalam hidup, itu artinya Allah masih sayang. Allah ingin melihat sejauh apa kita bisa bersabar dalam menghadapi ujian dari-Nya. Namun, manusia sering kali berburuk sangka. Padahal Allah sudah menyiapkan sebuah hadiah besar untuk kita.
Yang namanya hidup, tentu dipenuhi dengan banyak rintangan dan tantangan. Selama kita bisa berpikir bijak, tetap positif thinking, maka kita bisa melewati semua itu dengan mudah.
Apa yang dialami oleh keluarga Anya, itu semua adalah garis takdir yang sudah ditentukan.
Mereka bangkit, dan kini ingin memulai semua dari awal, tapi apakah semua akan berjalan sesuai dengan apa yang diharapkan? Itu semua hanya Allah yang tahu.
Kita manusia hanya bisa berencana, tapi takdir Allah lah yang menentukan. Terkadang manusia juga salah memahami ketika apa yang telah direncanakan dengan baik jadi gagal, sering kali mereka kecewa dan menyalahkan takdir, padahal Allah sedang menyiapkan yang lebih baik untuknya.
.
.
Keluarga Anya jadi semakin harmonis dalam beberapa minggu terakhir ini. Anya merasakan kembali kehangatan dalam keluarganya, meskipun Tino sedang tidak bersama mereka sekarang.
Tino harus kembali ke rumahnya lagi, karena ia sudah menikah dengan Elsa. Hubungan dia dengan Elsa memang sempat kacau saat itu, Elsa hamil anaknya. Keluarga Elsa marah dan memintanya untuk bertanggung jawab, namun karena Tino masih belum siap, dia malah memilih kabur.
Tahun berlalu, ia malah kembali dipertemukan dengan Elsa, dan nyatanya anak mereka tidak sempat lahir ke dunia. Elsa gugur di usia kandungan yang sudah lima bulan, dia gugur saat jatuh dari motor.
Untuk menebus semua kesalahannya, Tino pun melamar Elsa, dan keluarga Elsa setuju.
"Beruntung sekali bang Tino bisa menikah dengan perempuan yang dicintainya, dan perbuatan salah mereka di masa lalu seolah tidak pernah ada. Bang Tino bisa hidup tenang tanpa mendengar hujatan dan segala bentuk caci maki dari orang-orang di sekitarnya, tapi aku, Kak?" Sasha menatap Anya dengan sedih.
Anya mengusap punggung Sasha sambil memberi sedikit penjelasan pada adik perempuannya itu.
"Sasha, apa yang kamu alami sekarang, itu semua adalah hasil dari apa yang kamu usahakan sendiri. Kamu yang memaksa masuk ke dalam kubangan dosa itu, Allah sudah berkali-kali menegur, dan kakak juga sudah memperingatkan kamu. Namun, kamu yang keras kepala dan tidak mau mendengarkan. Berhenti mengingat masa lalu pahit itu! Yang lalu jadikanlah pelajaran dan jangan sampai terulang. Saatnya kita memperbaiki diri agar lebih baik ke depannya!" kata Anya menasihati.
"Ya, Kak. Kamu benar, itu memang kesalahan aku yang paling fatal, dan sekarang aku hanya bisa menyesal." Sasha tertunduk.
Sasha kembali murung, dan Anya segera mengganti topik obrolan.
"Kamar kamu sudah lebih bagus sekarang ya," ucap Anya sembari menelisik ke setiap sudut kamar.
Kamar tidur itu tampak hangat dan nyaman dengan cahaya lembut lampu tidur, karpet beludru merah di bawah kaki, dan seprai putih yang rapi menutupi ranjang.
Di sudut kamar ada foto keluarga tersenyum bersama, sementara itu aroma bunga lavender memenuhi seisi kamar, menciptakan suasana santai dan damai.
"Iya, Kak. Ini semua hadiah dari bang Tino. Dia yang merapikan kamar aku sebelum pergi kemarin," kata Sasha. Ia menatap Anya dan tersenyum. "Akhir-akhir ini kamu sering nemenin ayah ke kebun, apa kamu enggak pengen kembali ke tempat mbak Windi? Dia sering ke sini, Kak. Jengukin aku sama Fatih, dia juga nanyain kamu," ungkap Sasha bercerita.
Anya menggeleng. "Tempat aku bukan lagi di sana."
.
.
Sementara itu, Windi sedang pusing di kafenya, itu semua karena ia terus mendengar keluh kesah para pelanggannya.
Ada yang sibuk bertanya di mana Anya, mereka semua komplain karena makanan di kafe itu tidak seenak biasanya.
"Wah, makin lama kok makin hambar aja ya!" kata salah satu pembeli.
Ada beberapa orang yang sudah keluar setelah membayar, mereka bahkan tidak menghabiskan makanannya tersebut.
Banyaknya pelanggan yang komplain membuat Windi tidak semangat lagi, dia menyuruh Revi dan Danang untuk segera menutup kafe setelah semua pelanggan pergi.
Kafe ditutup lebih awal, dua pegawainya yang lain sudah pulang. Yang tersisa cuma dia, Danang, dan Revi.
Mereka bertiga duduk berkumpul di satu meja, mencari solusi untuk masalah yang sedang dihadapi.
"Apa yang harus kita lakukan sekarang?"
Windi semakin bingung, ia memijit pelipisnya, keningnya berkerut, dan kepalanya tak berhenti berdenyut.
"Apa bener mbak Anya enggak mau kembali ke sini lagi, Mbak?" tanya Danang.
"Gue sudah coba datang ke rumahnya sambil jengukin Sasha, dia jarang di rumah. Anya sering ke kebun bantuin bokapnya ngurus perkebunan. Sedangkan chatt gue yang di Wa, ya cuma dibales gitu aja. Anya bilang semua akan terbiasa seiring berjalannya waktu."
"Apa mungkin mbak Anya masih sakit hati sama omongan pelanggan di sini yang mengatai hal buruk tentang keluarganya, Mbak?" ucap Revi menduga.
"Ho oh, aku rasa apa yang Revi bilang bener, Mbak!" sahut Danang.
Windi duduk menghadap jalan raya dengan posisi tangan menopang dagu, ia berpikir lama.
Mungkin saatnya dia membicarakan hal tersebut dengan Anya. Siapa tahu Anya mau kembali, lagian kejadian itu sudah berlalu lama.
.
.
Di perkebunan siang itu, Anya membawa bekal makan siang untuk ayahnya.
Hari ini bukanlah hari menyenangkan untuknya, saat hendak melewati perkebunannya, ia harus berpapasan dulu dengan sekelompok ibu-ibu yang bekerja di kebun juragan Kasim.
Melihat kedatangan Anya, mereka langsung diam sambil sesekali berbisik. Kebetulan di sana ada bu Etty dan bu Ella, tukang gosip di kampung mereka.
Anya menguatkan mental dan kesabaran supaya tidak terpancing emosi.
"Ehem!"
Bu Ella berdehem keras, ia sengaja mengalihkan perhatian Anya.
"Kenapa, Bu? Tenggorokannya kering ya, ini saya bawa air!" kata bu Sri. Beliau tau drama apa yang hendak diciptakan wanita di depannya.
"Enggak usah, Bu! Bukan tenggorokan saya yang kering, tapi hati saya, Bu."
"Gimana enggak kering, ibadah enggak pernah, bawa pulang anak haram lagi ke kampung kita. Saya kira anaknya bakal enggak selamat, eh ternyata selamat juga," sambung bu Etty.
Omongan mereka membuat langkah Anya terhenti. Dia sebenarnya tidak ingin cari keributan, tapi rasanya kali ini Anya harus bertindak.
"Oh ya, apa kalian masih ingat kalau dulu pak Faisal itu pernah maling kotak amal di masjid?" tanya bu Ella.
"Ya, saya ingat!" sahut bu Etty.
"Bu, kejadian hari itu enggak ada buktinya, kenapa ibu-ibu terus menuduh pak Faisal?" Bu Sri mulai bersuara, beliau tidak mau membuat Anya merasa sendiri dan tidak ada yang membela.
"Eh, jangan sok baik ya! Mentang-mentang di sini ada anaknya, kamu kira kami tidak tahu kalau kamu juga punya pikiran yang sama kan? Mana ada sih maling yang mau ngaku, dan terbukti juga kan. Setelah kejadian itu pak Faisal tidak pernah lagi ke masjid, dia takut ketangkap basah nantinya!" berbagai tuduhan mengalir deras dari mulut dua wanita itu.
Anya sudah muak dengan mereka berdua, di mana pun bertemu pasti selalu cari masalah dengannya.
"Beberapa hari yang lalu saya juga melihat si Tino pulang ke rumahnya. Entah apa lagi yang mau dia perbuat di kampung kita ini," ujar bu Etty.
"Ibu-ibu, saya mungkin masih bisa terima kalau kalian menghina keluarga kami karena kesalahan yang diperbuat Sasha! Tapi tolong jangan sekali-kali mengatakan kalau ayah saya itu maling! Dengar sekali lagi, ayah saya bukan MALING!" tegas Anya sudah berada di tahap akhir kesabarannya.
Bu Sri meninggalkan bayam yang sedang diikatnya, lalu beralih berdiri di samping Anya untuk menenangkan gadis itu.
"Anya, kamu jangan terbawa emosi ya, Nak! Jangan dengerin omongan bu Etty sama bu Ella. Kamu sendiri kan tahu gimana mereka."
Bu Etty ikutan bangun dan berdiri dengan posisi berkacak pinggang di depan Anya. "Heh, Sri! Enggak usah sok cari muka di depan Anya, kamu juga enggak suka sama keluarga mereka kan?" tuduh wanita itu.
"Bu Etty kalau ngomong dijaga ya, jangan suka hati fitnah orang! Ingat umur, Bu! Doyan amat ngegosip dan fitnah orang."
"Heh, Anya. Kamu lihat kan, gara-gara kamu kita jadi berantem! Emang kampung ini enggak bakal tenang selama ada keluarga kalian di sini," ujar bu Ella.
Anya menahan emosinya, tangannya sudah terkepal. Rasanya rantang susun yang berada di tangan kanannya ingin segera ia lempar ke wajah mereka.
"Anya, sebaiknya kamu pergi dari sini. Ayo, sebelum ayah kamu dengar pertengkaran ini, sayang kalau nanti beliau kepikiran!" ujar bu Sri menasihati.
Anya menepis rasa marah itu, ia menatap bu Sri yang berdiri di sampingnya dengan senyum ramah.
Bu Sri adalah tetangganya yang paling baik dan perhatian padanya.
"Anya pergi dulu ya, Bu. Makasih karena sudah membela Anya." Anya tersenyum haru.
"Ibu tahu ayah kamu tidak pernah melakukan hal seperti itu. Itu semua cuma salah paham, dan mereka menggunakan itu semua untuk membesar-besarkan masalah."
Anya pamit, ia berjalan menuju kebun ayahnya. Ternyata pak Faisal sudah sejak tadi menunggu kedatangannya di sana.