Permainan Tak Terlihat adalah kisah penuh misteri, ketegangan, dan pengkhianatan, yang mengajak pembaca untuk mempertanyakan siapa yang benar-benar mengendalikan nasib kita
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Faila Shofa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
jejak yang terlupakan
Diana merasakan kehangatan yang semakin menipis saat ia memegang buku itu. Kata-kata yang tertera di halaman pertama itu semakin mengganggu pikirannya. "Kata-kata yang ada dalam hati kalian adalah jawaban yang sebenarnya." Tapi apa maksudnya? Hati mereka? Kata-kata apa yang dimaksud? Pikirannya berputar-putar, mencoba menemukan koneksi antara petunjuk-petunjuk yang ada.
Rina berdiri di sampingnya, memperhatikan dengan seksama. "Kalian harus lebih mendalam. Ini bukan tentang mencari jawaban yang langsung terlihat. Ini tentang apa yang kalian rasakan, apa yang kalian percayai sejak awal."
Diana menarik napas panjang. "Tapi aku tidak tahu apa yang harus aku percayai sekarang. Apa yang benar-benar terjadi?"
"Diana, jangan terburu-buru," kata Niko, yang mendekat dengan tatapan serius. "Kamu akan mendapatkan jawaban, tapi kamu harus melangkah lebih jauh. Kebenaran ini akan mengubah segalanya. Semua yang kalian percayai, semua yang kalian pikir kalian tahu, mungkin akan hancur."
Diana merasakan hati yang semakin berat. Ia tahu, meskipun mereka telah melalui banyak rintangan, ini adalah titik yang paling menegangkan. Mungkin ini adalah saat mereka harus berhadapan dengan kenyataan yang lebih mengerikan daripada yang bisa mereka bayangkan.
Shara berdiri di dekatnya, matanya penuh kebingungan. "Apa yang sebenarnya kami hadapi? Kami sudah melalui semua ini, tapi kenapa rasanya kami masih berada di tempat yang sama?"
Rina menatap Shara dengan penuh empati. "Karena kalian belum menemukan inti dari semuanya. Kalian belum memahami gambaran besar yang selama ini tersembunyi dari kalian. Kode-kode yang kalian pecahkan, simbol-simbol itu, semuanya berhubungan dengan masa lalu kalian, dengan pilihan yang telah diambil oleh orang tua kalian."
"Orang tua kami?" tanya Diana, suaranya hampir tidak terdengar. "Apa yang orang tua kami sembunyikan?"
Rina menundukkan kepalanya, seolah-olah kata-kata itu terlalu berat untuk diucapkan. "Orang tua kalian... mereka terlibat dalam sesuatu yang jauh lebih besar daripada yang kalian kira. Mereka membuat keputusan yang akan mempengaruhi hidup kalian selamanya. Kalian adalah bagian dari sesuatu yang lebih besar, dan sekarang kalian harus memutuskan apakah kalian akan mengikuti jejak mereka atau mencari jalan kalian sendiri."
Diana merasa kepalanya berputar. Ia merasa seolah-olah dirinya hanyalah pion dalam permainan besar yang tidak ia pahami. Apa yang dimaksud Rina dengan 'sesuatu yang lebih besar'? Apa yang telah dilakukan orang tua mereka yang kini harus mereka hadapi?
Arman yang sejak tadi diam, akhirnya berbicara. "Jadi, apa yang harus kita lakukan sekarang? Apakah kita hanya menerima kenyataan ini dan melanjutkan?"
Niko menatap Arman dengan ekspresi yang sulit dibaca. "Tidak ada pilihan yang mudah. Setiap langkah yang kalian ambil akan menentukan masa depan kalian. Kalian bisa mencari kebenaran, tapi kalian juga harus siap menghadapi konsekuensi dari apa yang kalian temukan."
Diana merasakan dada yang sesak. "Tapi, bagaimana kalau kebenaran itu terlalu sulit untuk diterima? Bagaimana kalau kita tidak bisa kembali setelah kita mengetahui semuanya?"
"Kadang-kadang," kata Rina perlahan, "kebenaran memang sulit. Tapi kalian harus tahu, pilihan yang kalian buat sekarang akan membawa kalian ke masa depan yang sangat berbeda. Kalian bisa memilih untuk meninggalkan semuanya dan melanjutkan hidup kalian, atau kalian bisa menggali lebih dalam dan mengetahui siapa diri kalian sebenarnya."
Ada jeda panjang di antara mereka. Suasana hening sejenak, hanya terdengar suara napas mereka yang tercenung. Diana menatap buku itu sekali lagi, dan matanya menangkap satu hal yang belum ia perhatikan sebelumnya—sebuah pola di antara kata-kata yang tertera, yang sepertinya mengarah pada satu titik. Ia tahu sekarang bahwa ini adalah jawaban yang selama ini mereka cari.
"Shara, Arman, coba lihat ini," kata Diana, mengarahkan perhatian mereka ke halaman buku itu. "Aku rasa ini adalah petunjuk terakhir."
Shara dan Arman mendekat, menatap kata-kata yang ada di halaman itu. Beberapa kata tampaknya membentuk sebuah kalimat yang terpisah-pisah, seolah-olah tersembunyi di balik lapisan-lapisan makna.
"Kata-kata ini, mereka membentuk semacam petunjuk," kata Shara, matanya menyipit. "Sepertinya... ada kode di sini."
"Apa kode itu?" tanya Arman, mendekat untuk melihat lebih jelas.
Diana memindahkan jarinya di atas huruf-huruf yang tertera. "Aku rasa ini adalah semacam anagram, atau mungkin susunan huruf yang harus diubah. Kita harus mengurutkan kata-kata ini."
Setelah beberapa saat mencoba menyusun kata-kata yang tersusun acak itu, Diana akhirnya menemukan pola yang mereka cari. Dengan napas tertahan, ia berkata, "Aku tahu. Ini adalah kata sandi. Ini kata-kata yang harus kita temukan."
"Jadi, kita harus menggunakannya untuk membuka kotak itu?" tanya Arman, suaranya penuh ketegangan.
"Ya," jawab Diana yakin. "Ini adalah kunci untuk membuka segalanya."
Mereka semua menatap kotak kecil yang tergeletak di atas meja dengan penuh harap. Kotak itu tampaknya menunggu untuk dibuka, menunggu kata sandi yang mereka temukan.
Dengan hati-hati, Diana memasukkan kata sandi yang mereka temukan—dan saat itu, suara keras terdengar, seolah-olah sesuatu yang besar sedang terungkap. Kotak itu terbuka perlahan, dan di dalamnya, ada sebuah kertas kuno yang tampaknya sudah berusia puluhan tahun.
Diana membuka kertas itu dengan tangan gemetar. Tulisan di kertas itu tampaknya semakin jelas, dan ketika ia membaca kata-kata di atasnya, ia merasa seolah-olah seluruh dunia tiba-tiba terbalik.
"Kalian tidak tahu siapa diri kalian sebenarnya. Kebenaran tentang kalian ada di tempat yang tidak kalian duga. Cari tempat yang telah kalian lupakan."
Kata-kata itu menggantung di udara, dan Diana tahu satu hal pasti—mereka baru saja memulai perjalanan yang jauh lebih besar, yang akan membawa mereka ke dalam kegelapan yang lebih dalam dari yang bisa mereka bayangkan.
Ketegangan di antara mereka semakin terasa setelah membaca kalimat yang ada di kertas kuno itu. Diana memegang kertas itu erat, dan setiap kata yang tertera seakan-akan berbicara langsung ke dalam hatinya. "Cari tempat yang telah kalian lupakan." Apa maksudnya? Tempat yang telah mereka lupakan...
"Ini terasa seperti petunjuk yang lebih dalam," kata Arman, suaranya serius. "Tapi tempat apa yang dimaksud? Apa yang kita lupakan?"
Diana menatap kosong ke depan, mencoba mengingat semua tempat yang pernah mereka kunjungi. Apakah ini berhubungan dengan masa lalu mereka? Apakah mereka telah melewatkan sesuatu yang sangat penting? Pikiran itu terus berputar-putar di benaknya.
Shara, yang sejak tadi diam, mengangguk perlahan. "Mungkin ada sesuatu di sekitar kita yang kita abaikan begitu saja. Sesuatu yang ada di luar jangkauan kita. Sesuatu yang kita anggap biasa, tetapi sebenarnya menyimpan rahasia besar."
"Tapi apa itu?" tanya Diana, merasa kebingungan semakin menguasai dirinya. "Apa yang sebenarnya kita cari?"
Rina yang sejak tadi diam, akhirnya membuka mulut. "Tempat yang kalian lupakan bukan hanya sekadar tempat fisik. Ini bisa jadi tempat yang terhubung dengan kenangan kalian, sesuatu yang mungkin kalian coba lupakan."
Mereka semua terdiam sejenak. Kenangan? Diana merasa seperti ada yang mengganjal di dalam kepalanya. Ada sesuatu yang ia rasakan begitu dekat, namun tidak bisa dijangkau. Kenangan apa yang telah mereka lupakan? Apa yang selama ini mereka sembunyikan?
"Apa kalian ingat tempat di mana kita semua pertama kali bertemu?" tanya Niko, tiba-tiba. "Itu bisa jadi kunci."
Pertanyaan itu membuat Diana terkejut. "Tempat pertama kali kita bertemu…? Apa itu? Aku tidak begitu ingat."
Arman mengangguk, menatap Niko dengan penuh perhatian. "Benar, itu adalah tempat di mana semuanya dimulai. Di taman kota, kan?"
Rina mengangguk pelan. "Benar, taman kota. Mungkin ada sesuatu di sana yang kita lewatkan. Sesuatu yang bisa mengarah pada kebenaran."
Diana menatap kertas itu lagi. Ada perasaan yang sangat kuat dalam dirinya—perasaan bahwa jawabannya ada di sana, di taman itu. Mereka harus kembali ke tempat itu dan menggali lebih dalam. Mereka tidak bisa melanjutkan tanpa memecahkan teka-teki terakhir ini.
"Jadi, kita pergi ke taman kota?" tanya Shara, memastikan.
"Ya," jawab Diana, tanpa ragu. "Kita tidak punya pilihan lain. Kita harus kembali dan mencari tahu apa yang kita lupakan."
Mereka semua berdiri, mengambil langkah pertama menuju taman kota. Meskipun malam sudah semakin larut, mereka tahu bahwa malam ini mungkin akan mengungkapkan sesuatu yang sangat penting. Sesuatu yang mereka tidak bisa abaikan lagi.
---
Taman kota terlihat sepi, hanya ada beberapa lampu jalan yang menerangi jalur setapak yang berkelok. Angin malam berhembus lembut, dan suasana di sekitar mereka terasa asing. Diana memimpin langkah mereka, matanya penuh dengan tekad. "Kita harus lebih cermat kali ini. Ingat semua yang kita lihat di sini sebelumnya, karena mungkin ada sesuatu yang tersembunyi."
Mereka berjalan menyusuri taman yang sepi, melalui jalan setapak yang berkelok. Diana merasa seolah-olah mereka berjalan dalam bayangan kenangan yang mulai memudar, tapi ada satu bagian dari taman ini yang terasa sangat familiar—tempat di mana mereka pertama kali bertemu. Tempat yang telah mereka lupakan begitu saja.
"Tepat di sini," kata Diana, berhenti di sebuah bangku yang sudah usang. "Aku ingat, kita semua duduk di sini dulu."
Arman menatap bangku itu dengan ekspresi penuh perasaan. "Iya… Ini adalah tempat di mana semuanya dimulai."
Namun, tidak ada yang berubah. Taman itu tampak sama seperti sebelumnya, tidak ada yang istimewa. Diana merasa bingung, apakah mereka benar-benar berada di tempat yang tepat?
Rina mengamati sekitar dengan cermat. "Ada sesuatu di sekitar sini yang berbeda. Coba kalian perhatikan lebih baik."
Diana dan yang lainnya mulai meneliti area sekitar bangku itu. Mata Diana tertuju pada sebuah pohon besar di dekatnya, pohon yang telah lama berdiri dengan akar-akarnya yang menonjol dari tanah. "Ini… ini bukan pohon biasa," kata Diana, matanya mengerjap. "Lihat, ada sesuatu yang berbeda di sini."
Mereka mendekati pohon itu dan mulai menggali tanah di sekitar akarnya. Rina dengan hati-hati menyingkirkan tanah yang menutupi akar pohon. Beberapa menit kemudian, mereka menemukan sebuah kotak kecil yang terkubur dalam tanah.
Dengan hati-hati, Diana membuka kotak itu. Di dalamnya terdapat sebuah foto usang yang terlipat rapi, dan sebuah kunci kecil terbuat dari logam yang tampaknya sudah berkarat.
Shara mengambil foto itu dan melihatnya dengan seksama. "Ini… ini foto kita semua! Tapi ada seseorang yang tidak kita kenal."
Diana mendekat dan memeriksa foto itu. Ternyata, ada satu sosok yang tidak mereka kenal, berdiri di belakang mereka. Seorang pria dengan senyum yang samar-samar, mengenakan pakaian yang sangat berbeda dari yang mereka kenal.
"Apa ini?" kata Diana, merasakan ketegangan yang tiba-tiba menyelimuti dirinya. "Siapa orang ini?"
Di balik foto itu, ada pesan kecil yang tertulis dengan tinta pudar. "Tempat ini adalah awal dari segalanya. Apa yang kalian cari ada di dalam, tapi jangan pernah membuka pintu itu jika kalian belum siap."
Mereka semua saling pandang, kebingungan dan takut. Apa yang dimaksud dengan "pintu itu"? Apa yang harus mereka lakukan dengan kunci yang mereka temukan? Diana merasa seolah-olah mereka sedang berada di ujung jurang yang gelap, dan mereka harus memilih apakah akan melangkah lebih jauh atau mundur.
"Ini belum berakhir," kata Rina pelan, suaranya penuh makna. "Pintu itu—itu adalah bagian dari teka-teki terakhir yang harus kalian pecahkan. Kunci itu mungkin kunci untuk membuka kebenaran yang lebih besar."
Mereka semua menatap kunci itu dengan penuh pertanyaan. Apa yang akan terjadi selanjutnya? Apa yang harus mereka lakukan dengan penemuan ini? Mereka tidak tahu apa yang akan mereka hadapi, tapi satu hal yang pasti—petunjuk terakhir ini akan mengubah segalanya.