5 hari sebelum aku koma, ada sesuatu yang janggal telah terjadi, aneh nya aku tidak ingat apa pun.
__________________
"Celine, kau baik-baik saja?"
"Dia hilang ingatan!"
"Kasian, dia sangat depresi."
"Dia sering berhalusinasi."
__________________
Aku mendengar mereka berbicara tentang ku, sebenarnya apa yang terjadi? Dan aneh nya setelah aku bangun dari koma ku, banyak kejadian aneh yang membuat ku bergidik ketakutan.
Makhluk tak kasat mata itu muncul di sekitar ku, apa yang ia inginkan dari ku?
Mengapa makhluk itu melindungi ku?
Apakah ini ada hubungan nya dengan pria bermantel coklat yang ada di foto ku?
Aku harus menguak misteri ini!
___________________
Genre : Horror/Misteri, Romance
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Maylani NR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Selamat tidur, istri ku.
Waktu telah kembali ke saat ini.
Di dalam gudang tua yang remang-remang, hanya lampu gantung yang menggantung goyah menjadi satu-satunya penerangan. Suasana mencekam memenuhi udara, Devid berdiri dengan sikap arogan di hadapan Sovia, yang terikat di kursi.
"Jadi, apa kau sudah ingat, Sovia?" suara Devid terdengar dingin, menusuk relung hati.
Sovia menunduk, kenangan pahit kembali membanjiri pikirannya. Ia mengingat saat Celine terjebak dalam depresi yang menghancurkan dirinya, karena kehilangan Briyon.
Devid melangkah mendekat, senyumnya penuh ejekan. "Celine menderita karena kakakmu!"
"Tidak!" Sovia membantah dengan keras, menatap Devid penuh kebencian. "Ini bukan salah kakakku! Jika saja kejadian tanggal 14 November itu tidak terjadi, kakakku dan Celine pasti hidup bahagia sampai sekarang!"
Devid menyeringai sinis, nada suaranya berubah penuh ejekan. "Oh, ya? Menurutku, Celine akan jauh lebih bahagia jika Briyon tidak pernah ada di dunia ini."
Kata-kata itu seperti panah tajam yang menghujam hati Sovia, emosinya meledak. "Tutup mulutmu, Devid!" teriaknya.
Namun, kemarahan Sovia hanya membuat Devid tertawa puas. "Hahahaha... kenapa?"
Sovia menggertakkan giginya, mencoba menahan rasa takut yang mengintai di hatinya. Tapi keberanian tetap terpancar dari matanya. "Justru yang seharusnya tidak ada di dunia ini adalah kau, Devid!" suaranya lantang, penuh kebencian. "Cepat atau lambat, semua kebusukan mu akan terbongkar. Dan ketika itu terjadi, Celine akan sangat membencimu!"
Seketika, senyum Devid lenyap. Wajahnya berubah menjadi penuh amarah. Ia mendekat, menatap Sovia tajam. "Berani sekali kau bicara begitu padaku!"
Dengan suara keras, Devid memberi perintah kepada para bodyguard-nya. "Beri dia pelajaran! Iris lengan kirinya!"
"Baik, Tuan," jawab salah satu bodyguard dengan patuh.
Pisau tajam segera diangkat. Sovia meronta, tapi tali yang mengikatnya terlalu kuat. Dalam sekejap, pisau itu menembus kulitnya, mengiris lengan kirinya dengan dalam. Darah segar langsung mengalir deras, membasahi pakaian nya.
"Kyaaaaaaaaaaa!" Sovia menjerit kesakitan, air matanya mengalir deras. Tapi ia tetap menatap Devid dengan penuh kebencian.
Devid hanya berdiri di sana, tersenyum puas. "Kau tahu, Sovia? Aku sebenarnya menghargai keberanianmu. Tapi sayangnya, itu hanya akan membawamu pada kehancuran."
Sovia terengah-engah, menahan rasa sakit yang begitu menyiksa. Namun, ia tidak ingin menyerah. Dengan suara serak, ia berbisik, "Kau ... tidak akan selamanya menang, Devid. Karma akan datang padamu."
Devid mengabaikan ancaman itu. Ia melangkah pergi dengan santai, meninggalkan Sovia yang kesakitan, berlumuran darah, namun tetap memiliki api keberanian yang tidak akan pernah padam.
...****************...
Apartemen Celine.
Pukul telah menunjukkan 23:00, dan hanya suara detak jam dinding yang menemani dirinya yang tengah berbaring di atas ranjang. Di tangannya, sebuah album foto tebal terbuka, berisi kenangan-kenangan indah yang kini terasa begitu jauh.
Jari-jari Celine perlahan membalik halaman demi halaman, menatap foto-foto yang seakan berbicara padanya. Wajah Briyon selalu ada di sana, menyisipkan senyum hangat dalam setiap bingkai.
"Ini ... foto kita saat Natal tahun lalu, ya?" gumam Celine. Ia menatap gambar itu lama, mencoba mengais serpihan memori di kepalanya. Tapi kosong, tidak ada ingatan yang muncul.
Di sisi ranjang, Briyon duduk melayang dengan tenang, mengenakan pakaian dress hitam yang biasa ia pakai selama menjadi hantu. Wajahnya yang teduh memandang istrinya dengan penuh cinta, senyum lembutnya bagaikan tak pernah pudar.
Celine menoleh, dan menatap wajah Briyon. "Aku tidak ingat," ucapnya pelan, nada suaranya menyimpan kesedihan.
Briyon tidak berkata apa-apa. Sebagai jiwa yang terikat, ia hanya bisa mengulurkan tangannya, mengusap lembut kening Celine. Sentuhannya terasa dingin, tetapi cukup untuk membuat hati Celine sedikit lebih tenang.
Tak banyak ucapan yang dapat Briyon ucapkan, karena keterbatasan nya sebagai hantu. Namun, Celine mengerti, tiap sentuhan dan senyuman Briyon itu memiliki arti yang mendalam.
"Lalu, ini foto kita saat tahun baru, ya? Lihat kembang apinya," kata Celine lagi sambil menunjuk sebuah foto penuh warna. Suaranya terdengar lebih ringan kali ini, meski rasa kantuk mulai menguasainya. "Hoaaammmm..."
"Mengantuk?" suara Briyon, lembut seperti angin malam, bergema samar di telinga Celine.
Celine mengangguk pelan, meletakkan album foto di atas dadanya. "Ya..."
"Tidurlah," kata Briyon dengan senyum yang begitu lembut, penuh kasih sayang yang tak mengenal batas waktu dan ruang.
Celine memejamkan matanya perlahan, tenggelam dalam kehangatan yang tak kasat mata.
Sementara itu, Briyon tetap berada di sisinya. Ia tahu, perannya kini hanyalah menjadi penjaga. Ia membelai kening Celine dengan lembut, meninggalkan jejak dingin yang membuat istrinya lebih nyaman dalam tidurnya.
"Selamat tidur," ucap Briyon dengan nada penuh cinta. Ia mengecup kening Celine, sebuah ciuman yang bukan dari dunia ini, namun terasa nyata bagi hati mereka yang masih terhubung. "Istri ku."
Dan malam pun berlalu, membawa mimpi-mimpi yang perlahan membantu Celine mengurai ingatan yang telah hilang.
...****************...
Esok hari nya, Cafetaria pukul 10:00.
Celine tengah sibuk meracik kopi di belakang counter, uap panas dari mesin espresso membaur di udara, menciptakan aroma khas yang memenuhi cafetaria. Di sampingnya, Reina berdiri sambil memandangnya dengan raut khawatir.
"Celine," panggil Reina dengan nada pelan, seperti ragu untuk memulai percakapan.
Celine menoleh sekilas sambil tetap fokus dengan pekerjaannya. "Ada apa, Rein?"
"Bagaimana keadaanmu? Apa sudah jauh lebih baik?" tanya Reina, nada suaranya tulus.
Celine tersenyum tipis. "Sudah, aku sudah lebih baik sekarang."
"Boss kemarin sempat khawatir padamu, memangnya kamu sakit apa?" tanya Reina penasaran.
"Hanya kurang enak badan saja," jawab Celine singkat. Nada bicaranya datar, seolah ingin menutup pembahasan.
Reina mengangguk, meski raut wajahnya masih menyimpan sedikit kebingungan. "Oh, begitu—"
Ucapan Reina terhenti ketika suara pintu berbunyi.
Kincring...
Seorang pelanggan perempuan masuk, langkahnya percaya diri. Pelayan segera menyambutnya dengan sopan. "Selamat datang."
Pelanggan itu berjalan menuju salah satu kursi di dekat jendela, menempatkan tasnya di meja dengan anggun. Setelah beberapa saat, dia memanggil pelayan. "Aku mau pesan hot cappuccino, ya."
"Baik, ada lagi, Nona?" tanya pelayan dengan ramah.
"Tidak, tapi aku ingin yang mengantar cappuccino-ku adalah Celine," jawabnya tegas, dengan senyum tipis yang membuat pelayan itu terkejut.
"Maaf, apa Nona ingin memastikan sesuatu?" tanya pelayan hati-hati.
Pelanggan itu mengangkat alisnya, terlihat bingung dengan reaksi pelayan. "Tidak ada alasan khusus, aku hanya ingin Celine yang mengantarnya. Apa ada masalah?"
Pelayan buru-buru menggeleng. "Tidak, Nona. Baiklah, saya akan menyampaikan permintaan anda kepada Celine."
"Terima kasih," ujar pelanggan itu dengan senyum puas.
.......
.......
.......
Tak lama kemudian Celine mengambil cangkir berisi cappuccino yang baru saja selesai ia racik, dan menyodorkan nya pada rekan kerjanya.
"Ini hot capuccino untuk meja nomor 3," ucap Celine. Namun rekan nya segera menggelengkan kepada nya pada Celine.
"Penggan itu ingin kamu yang mengantarnya, Celine."
"Apa? Kenapa harus aku?" Celine terlihat bingung.
"Entahlah ia cukup memaksa."
"Begitu ya," walau sebenarnya ia enggan, tapi karena ia harus di tuntut profesional, Celine pun mengiyakan perintah sang pelanggan. "Baiklah aku yang akan antar."
Celine membawa nampan berisi hot cappuccino dengan langkah hati-hati, pikirannya sibuk bertanya-tanya siapa pelanggan di meja nomor 3 yang memintanya secara khusus.
Saat mendekati meja, ia mencoba memasang senyum profesional. Sesampainya di sana, ia meletakkan cangkir cappuccino dengan lembut di atas meja. "Ini, Nona, pesanan Anda," ucapnya ramah.
Namun, senyumnya segera memudar ketika suara familiar menyapanya.
"Terima kasih, Celine," ucap pelanggan itu dengan nada yang dingin namun penuh dengan makna.
Celine tertegun, suara itu...
Ia mendongak, dan betapa terkejutnya ia saat melihat siapa yang duduk di sana. "Angela?"
Perempuan jahat yang tidak pernah berhenti ingin menyakiti nya.
...Bersambung ......