SIPNOSIS:
Kenneth Bernardo adalah pria sederhana yang terjebak dalam ambisi istrinya, Agnes Cleopatra. demi memenuhi gaya hidupnya yang boros, Agnes menjual Kenneth kepada sahabatnya bernama, Alexa Shannove. wanita kaya raya yang rela membeli 'stastus' suami orang demi keuntungan.
Bagi Agnes, Kenneth adalah suami yang gagal memenuhi tuntutan hidupnya yang serba mewah, ia tidak mau hidup miskin ditengah marak nya kota Brasil, São Paulo. sementara Alexa memanfaatkan kesempatan itu untuk mendapatkan suami demi memenuhi syarat warisan sang kakek.
Namun, kenyataan tak berjalan seperti yang Agnes bayangkan, setelah kehilangan suaminya. ia juga harus menghadapi kehancuran hidupnya sendiri-dihina orang sekitarnya, ditinggalkan kekasih gelapnya uang nya habis di garap selingkuhan nya yang pergi entah kemana, ia kembali jatuh miskin. sementara Alexa yang memiliki segalanya, justru semakin dipuja sebagai wanita yang anggun dan sukses dalam mencari pasangan hidup.
Kehidupan Baru Kenneth bersama Alexa perlahan memulihkan luka hati nya, sementara Agnes diliputi rasa marah dan iri merancang balas dendam, Agnes bertekad merebut kembali Kenneth bukan karena haus cinta tetapi ingin menghancurkan kebahagiaan Alexa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon adelita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
HMYT-27
Ruang kerja Alexa dipenuhi keheningan yang hanya diiringi oleh suara ketikan jarinya di laptop. Tumpukan dokumen tersusun rapi di meja, dan secangkir kopi hampir habis di sampingnya. Ponselnya tiba-tiba berdering. Nama "Agnes" muncul di layar. Alexa meliriknya dengan sedikit heran sebelum mengangkat telepon.
"Halo?" Ucap Alexa nada tegas dan formal.
Suara di seberang terdengar ragu, tetapi cukup jelas.
"Alexa... ini aku, Agnes. Aku tahu mungkin ini mendadak. Tapi aku butuh bicara denganmu. Ada sesuatu yang... penting. Apa kita bisa bertemu?" Agnes suara agak gugup, bicara cepat.
Alexa tidak langsung menjawab. Dia bersandar di kursinya, tatapannya berpindah ke luar jendela kaca besar yang memperlihatkan pemandangan gedung tinggi. Setelah beberapa detik, dia akhirnya merespons.
"Secepat itu? Hmm... oke. Kapan?" Ucap Alexa nada santai tapi dingin.
Agnes suara lebih rendah, hampir berbisik
"Kapan pun kamu punya waktu. Aku yang akan menyesuaikan. Tolong, Alexa."
Alexa menyipitkan mata sedikit, mencoba menilai nada suara Agnes yang terdengar tidak biasa. Namun, dia tidak menunjukkan rasa penasaran itu di suaranya.
"Aku akan mengirimkan alamatnya segera. Pastikan kau datang tepat waktu."
"Baik, Alexa. Terima kasih banyak. Sampai bertemu nanti." Agnes terdengar lega
Alexa tidak mengatakan apa-apa lagi dan langsung menutup telepon. Dia menat ap ponselnya dengan ekspresi penuh pertimbangan.
...➰➰➰➰...
Di sebuah rumah kecil yang terasa sesak, Agnes masih menggenggam ponselnya. Pandangannya kosong, sementara jantungnya berdegup kencang. Dia menelan ludah sebelum bergumam pelan pada dirinya sendiri.
"Semoga saja dia mau meminjamkan uangnya. Ya... semoga saja."
Dia menghela napas panjang, mencoba menghilangkan rasa gugup yang menyelimuti dirinya. Pandangannya kemudian tertuju pada cermin kecil di dinding, dan dia mengatur napas sebelum bersiap untuk keluar.
DI SISI LAIN.
Di dalam kantor yang luas dan rapi, Alexa meletakkan ponselnya di meja dengan gerakan pelan. Dia menyandarkan punggung di kursinya, mengaitkan kedua tangan di belakang kepala, dan menatap ponsel itu lamat-lamat.
"Sepertinya ada sesuatu yang menarik... teman lama, ya? Hmm..."
Dia mengambil ponsel lagi, mengetik alamat kantor cabang salah satu propertinya yang cocok untuk pertemuan pribadi. Setelah mengirim pesan, dia meletakkan ponselnya kembali.
Pandangan Alexa beralih ke layar laptopnya, tetapi pikirannya mulai berputar. Sesuatu dari nada suara Agnes tadi membuatnya merasa ini bukan pertemuan biasa. Bibirnya kembali menyunggingkan senyum kecil penuh arti.
...➰➰➰➰...
Café ini berlokasi strategis di tengah pusat kota yang sibuk, dengan desain modern industrial namun tetap hangat. Dinding bata ekspos dihiasi mural besar bertema urban yang menggambarkan keramaian kota, lengkap dengan lampu neon bertuliskan “Escape the Hustle” di salah satu sudutnya. Langit-langitnya tinggi dengan lampu gantung berbahan logam hitam dan kaca, memberikan sentuhan kontemporer.
Suasana café dipenuhi dengan energi kota, namun tetap memberikan privasi dengan partisi kaca buram antara meja-meja tertentu. Musik lo-fi beats diputar pelan di latar, memberikan suasana rileks meski berada di tengah keramaian. Terdapat bar kopi terbuka dengan barista yang sibuk menyiapkan minuman, menambah kesan hidup.
Agnes sudah duduk di pojok yang lebih tenang, memesan teh chamomile untuk menenangkan dirinya. Alexa masuk, menarik perhatian beberapa pengunjung dengan penampilannya yang stylish: mantel hitam dan sepatu boots yang elegan. Ia tersenyum kecil saat matanya bertemu dengan Agnes, berjalan menuju meja mereka dengan percaya diri.
“Maaf menunggu lama,” ucap Alexa sambil melepas mantel dan menggantungnya di sandaran kursi.
“Tidak apa-apa,” jawab Agnes dengan suara lembut.
Cahaya lampu kota dari luar jendela besar menjadi latar belakang mereka, menciptakan suasana kontras antara kesibukan di luar dan keintiman pembicaraan mereka di dalam café.
Kafe yang semula tenang kini semakin terasa sesak dengan ketegangan yang menggantung di udara. Agnes, yang tampak semakin gelisah, mulai membuka suara dengan niat yang sudah dipendamnya cukup lama. Meskipun raut wajahnya dipenuhi kegelisahan, ia berusaha keras untuk menjaga ketenangannya, namun semakin lama berbicara, semakin tampak jelas bagaimana emosinya mulai terkendali.
Suasana kafe yang elegan seakan bertransformasi menjadi arena pertempuran emosional. Wajah Agnes memerah, matanya berkaca-kaca, dan napasnya terasa terengah-engah. Sementara itu, Alexa tetap duduk dengan santai di hadapannya, wajahnya dingin dan tidak menunjukkan ekspresi apapun selain perhatian yang tajam.
Alexa mengangkat tangan ringan untuk memanggil pelayan. “Segelas teh chamomile, hangat, tanpa gula,” pintanya singkat dengan senyum sopan.
Tak butuh waktu lama, pelayan datang membawa pesanannya. Alexa meraih cangkir teh itu, meniupnya perlahan, lalu menyeruput dengan anggun. Kehangatan teh menjalar di lidahnya, meninggalkan rasa manis alami yang lembut. Ia meletakkan cangkir kembali ke meja, menciptakan suara dentingan halus yang memecah keheningan sejenak.
Ia mengangkat pandangan ke arah Agnes, matanya tajam namun penuh rasa ingin tahu. “Jadi, ada hal penting yang ingin kau bicarakan denganku?” tanyanya akhirnya, suaranya rendah namun berwibawa.
Agnes merasakan dadanya berdebar kencang saat Alexa berbicara, suaranya seperti menjalar di udara yang tegang. Setiap kata dari Alexa seperti potongan pisau yang mengiris melalui kesunyian di antara mereka. Suasana di kafe yang sepi ini, dengan hanya suara detak jam yang terdengar pelan, seolah semakin memperburuk ketegangan yang sudah terasa sejak kedatangan Alexa.
Agnes menundukkan kepala, berusaha untuk tidak terlihat terlalu gelisah. Tangannya yang tergenggam erat di atas meja mulai sedikit gemetar, tetapi ia berusaha tetap tenang. Nafasnya sesekali terasa tercekat, dan ia mengalihkan pandangannya ke cangkir kopi yang hampir tidak tersentuh, merasa seolah-olah cangkir itu adalah satu-satunya hal yang dapat menenangkan kegelisahannya.
Agnes akhirnya memulai dengan suara yang bergetar, tetapi ia tidak mengulur waktu lebih lama. "Aku... suamiku meminjam uang dari rentenir untuk menutupi hutang-hutangnya," katanya dengan suara serak. "Tapi masa tenggatnya sudah lewat, dan sekarang dia mengancam untuk menyita rumah kami... dia sangat kasar, Alexa. Aku tak tahu lagi harus bagaimana. Aku bahkan berpikir untuk menjual rumah kami, tetapi semuanya ada di tangannya."
"Aku tidak bisa hanya memberikan uang tanpa ada sesuatu yang jelas." Suara tegas dan datar menghiasi pembicaraan mereka. Alexa tau maksud dan tujuan Agnes meminta bertemu.
Agnes menunduk, menggigit bibirnya untuk menahan tangis yang hampir pecah. Tangannya yang gemetar menggenggam gelas kopi yang hampir habis, berusaha mencari kenyamanan dalam cangkir itu, namun tak ada yang bisa menenangkan kecemasannya.
Alexa mendengus pelan, masih dengan wajah datar dan matanya tetap fokus pada Agnes, mendengarkan setiap kata yang keluar dari bibirnya. Agnes melanjutkan, suara yang semakin terisak. "Aku ingin meminjam uang, 3 miliaran, sebagai jaminan agar rumah kami tidak disita, tapi aku harus menemui rentenir itu. Aku... aku bahkan berencana untuk menceraikan suamiku setelah itu. Aku sudah tidak tahan lagi, Alexa. Aku... aku ingin hidup lebih baik."
Alexa tetap diam, menyeruput tehnya perlahan dan meletakkannya kembali di meja, tetap tanpa ekspresi. Ia menatap Agnes lurus, tanpa ada sedikit pun emosi yang terpancar dari wajahnya. Keheningan itu terasa sangat berat, membuat Agnes semakin gelisah.
Agnes menunduk, air mata yang sudah ditahan akhirnya jatuh juga, membasahi pipinya. "Aku tahu... aku tahu kamu tidak akan memberikan uang itu tanpa alasan. Tapi, aku tidak tahu harus ke mana lagi. Aku terjebak, Lex."
Alexa mengalihkan pandangannya dari Agnes dan menatap lurus ke depan, berpikir sejenak. Setelah beberapa detik yang terasa sangat panjang, ia akhirnya berbicara dengan suara yang tenang namun penuh wibawa. "Aku bisa memberimu uang itu, 3 miliaran, tanpa kau harus membayar apapun," katanya, menatap Agnes dengan tatapan yang mengandung ketegasan. "Tapi ada satu syarat."
Agnes, yang semula menunduk dan menangis, mendongak dengan pandangan bingung. "Syarat?" tanyanya, suara seraknya sedikit lebih tinggi, berusaha mengerti.
Alexa menatapnya tanpa ekspresi. "Berikan suamimu padaku. Maka aku akan memberi kau uang itu, tanpa kau perlu bayar sepeser pun."
Agnes terdiam sejenak, masih tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Matanya melebar, dan dia terbata-bata, "Kau... kau yakin? Suamiku... tidak seperti dirimu, dia hanya pria berengsek, dan... kau akan menyesalinya, Alexa. Apa yang kau ingin lakukan dengan suamiku?"
Alexa menatap Agnes tanpa bergeming, seolah tidak terpengaruh dengan kata-kata Agnes. "Itu tidak masalah. Jadi, kau setuju atau tidak?" Tanya Alexa, nada suaranya mulai terdengar sedikit tak sabaran.
Agnes memandang Alexa, bingung dan ragu. "Tapi... buat apa kau meminta syarat seperti itu?" ia bertanya, mencoba mencari penjelasan yang lebih jelas.
"Bukan urusanmu," jawab Alexa singkat, suaranya lebih tegas dan tanpa keraguan. "Kau setuju atau tidak?"
Agnes menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri sebelum akhirnya berkata, "Emm... baiklah. Tapi jangan menyesalinya, Alexa." Suaranya terdengar cemas, namun ia mulai menyerah pada pilihan yang telah ada di hadapannya.
"Tidak akan," jawab Alexa mantap. "Aku akan memberikannya cek-nya setelah persidangan kalian selesai. Pengacara aku akan mengurus semuanya." Alexa menghabiskan tehnya dengan sekali teguk, lalu menatap Agnes dengan tatapan yang penuh perhitungan.
"Emm... kapan uangnya akan cair—ah, maksudku, perceraian kami?" tanya Agnes dengan terbata, rasa tidak sabar mulai tercermin di wajahnya. "Aku sudah tidak tahan tinggal bersamanya."
Alexa memiringkan kepalanya sedikit, masih tanpa ekspresi. "Berikan aku waktu dua hari, semuanya akan selesai. Beritahu suamimu dan beri aku alamat rumahmu. Aku akan mengirimkan bukti surat perceraian kalian."
Agnes menghela napas panjang, sedikit lega dengan kepastian yang diberikan, meskipun hatinya masih terasa berat. "Baiklah, ini alamatku, kau bisa mengirimkan semuanya kemari." Ia mendorong secarik kertas kecil di hadapan Alexa, matanya masih terlihat ragu, tetapi ia tidak punya pilihan lain.
Alexa menerima kertas itu, tatapannya membaca tulisan di kertas tersebut dengan seksama. Setelah beberapa detik, dia mengerutkan keningnya. "Sepertinya tidak asing," gumam Alexa pelan, tetapi senyum tipis mulai tersungging di bibirnya.
Tanpa sadar, Alexa tersenyum tipis, senyum yang penuh makna, hampir seperti kemenangan yang tak terucapkan. "Oke, tidak masalah," jawabnya datar, tetapi ada kepuasan dalam suara itu.
Agnes masih mengamati Alexa dengan tatapan bingung. "Kau yakin? Jangan menyesalinya," ia memperingatkan sekali lagi, namun kata-kata Alexa yang sebelumnya sudah cukup membulatkan tekadnya.
Alexa menatapnya dengan tajam, "Tidak akan," jawabnya, lalu melipat kertas itu dengan rapi. "Aku akan mengirimkan semuanya setelah dua hari."
Agnes mengangguk lemah, dan Alexa beranjak dari kursinya, meninggalkan kafe dengan langkah mantap, sementara Agnes duduk diam, menatap kertas yang baru saja diberikan, merasa tak menentu, tetapi tahu bahwa hidupnya akan berubah setelah pertemuan ini.