Prolog:
Dulu, aku selalu menganggapnya pria biasa miskin, sederhana, bahkan sedikit pemalu. Setelah putus, aku melanjutkan hidup, menganggapnya hanya bagian dari masa lalu. Tapi lima tahun kemudian, aku bertemu dengannya lagi di sebuah acara gala mewah, mengenakan jas rapi dan memimpin perusahaan besar. Ternyata, mantan pacarku yang dulu pura-pura miskin, kini adalah CEO dari perusahaan teknologi ternama. Semua yang aku tahu tentang dia ternyata hanya kebohongan. Dan kini, dia kembali, membawa rahasia besar yang bisa mengubah segalanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irhamul Fikri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 1 Bagian 30 Pesta Amal dan Akhir.
Malam mulai beranjak, dan suasana di luar apartemen Nadia terasa sejuk. Reza membuka pintu mobilnya untuk Nadia. “Silakan, Tuan Putri,” katanya sambil memberi salam main-main.
Nadia tertawa kecil sambil masuk ke dalam mobil. “Wah, pelayanan bintang lima banget, nih. Jangan sampai aku jadi ketagihan, ya.”
Reza tersenyum sambil menutup pintu, lalu berjalan ke sisi pengemudi. Setelah duduk dan menyalakan mesin, ia melirik ke arah Nadia. “Jadi, tempatnya di mana, Bos? Aku cuma navigator malam ini.”
“Tenang aja, aku udah punya alamatnya. Kita cuma butuh waktu sekitar 30 menit ke sana,” jawab Nadia sambil menunjukkan lokasi di ponselnya.
Mobil perlahan melaju meninggalkan apartemen. Sepanjang perjalanan, mereka mengobrol santai. Reza sesekali melemparkan lelucon untuk mencairkan suasana, sementara Nadia mengingatkan Reza untuk bersikap formal nanti.
“Jadi, gimana persiapan mentalmu buat pesta ini?” tanya Nadia sambil memutar lagu lembut dari radio.
“Persiapan mental? Hmm, aku rasa udah siap,” jawab Reza dengan nada santai. “Asal nggak ada yang tanya saham atau investasi, aku rasa aku bisa bertahan.”
Nadia tertawa. “Jangan khawatir, kebanyakan dari mereka akan lebih tertarik sama apa yang kamu tulis daripada apa yang kamu investasikan.”
“Semoga aja,” balas Reza sambil tersenyum kecil. Ia kemudian melirik penampilan Nadia. “By the way, kamu beneran cocok pakai gaun itu. Kelihatan seperti direktur utama yang turun gunung.”
Nadia tersipu, meski mencoba menyembunyikannya. “Makasih, tapi jangan terlalu banyak muji. Nanti aku kepedean.”
Saat mereka mendekati lokasi pesta, lampu-lampu kota terlihat semakin ramai. Tempat acara, sebuah gedung megah dengan pilar-pilar besar, berdiri menjulang di kejauhan. Di depannya, barisan mobil mewah sudah mulai memenuhi area parkir.
“Wah, ini dia duniamu, Nad,” kata Reza sambil memarkir mobilnya. “Rasanya kayak masuk ke film drama korporat.”
Nadia tersenyum. “Selamat datang di lingkaran sosial kantorku. Jangan kaget kalau nanti ada yang kelihatan... terlalu bersemangat.”
Setelah keluar dari mobil, Reza berjalan ke sisi penumpang dan membukakan pintu untuk Nadia. “Oke, ayo kita hadapi malam ini.”
Nadia meraih tas kecilnya, lalu menggandeng lengan Reza dengan percaya diri. “Aku senang kamu ada di sini. Ini bakal jadi malam yang panjang, tapi aku yakin kita bisa menikmatinya.”
Dengan langkah mantap, mereka memasuki gedung, siap menghadapi dunia yang bagi Reza terasa asing, namun menjadi tempat biasa bagi Nadia.
Lampu gantung kristal berkilauan di aula yang megah, menciptakan suasana elegan. Reza menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan gugupnya. Mengenakan setelan hitam sederhana yang disewa dengan buru-buru, ia tampak seperti ikan kecil yang dilempar ke kolam penuh hiu.
Di sebelahnya, Nadia tampak anggun dan Senyumnya memancarkan kepercayaan diri saat ia menggandeng lengan Reza, membawanya ke kelompok pertama yang sedang berbincang di dekat meja prasmanan.
“Pak Arman, ini Reza,” kata Nadia dengan nada hangat. “Dia seorang penulis lepas yang sangat berbakat.”
Pak Arman, seorang pria paruh baya dengan setelan mahal dan dasi sutra, mengulurkan tangannya. Reza menyambutnya dengan sedikit kaku, berusaha menjaga senyum di wajahnya.
“Oh, penulis lepas? Menarik. Apa yang Anda tulis?” tanya Pak Arman, sambil mengambil gelas anggur.
Reza berdehem. “Ehm, saya banyak menulis cerita pendek, opini, dan beberapa artikel budaya.”
Pak Arman mengangguk sopan, tapi sorot matanya menunjukkan kurangnya ketertarikan. Reza bisa merasakan tatapan Nadia yang mendukung di sampingnya.
“Reza juga baru saja menerbitkan kumpulan cerpen, lho,” tambah Nadia cepat, mencoba mengangkat suasana.
“Oh, hebat!” suara seorang wanita muda dari belakang mereka terdengar. Ia bergabung ke dalam kelompok itu, mengenakan blazer putih yang memancarkan profesionalisme. “Saya suka membaca cerita pendek. Judul bukunya apa?”
“Ehm, Potongan Hidup,” jawab Reza. “Itu... lebih banyak tentang refleksi kehidupan sehari-hari.”
Pembicaraan mulai mengalir lebih lancar ketika wanita itu, yang memperkenalkan dirinya sebagai Lila, tampak benar-benar tertarik. Sementara itu, Nadia memandang Reza dengan bangga, meski ia sesekali harus menahan tawa kecil melihat kecanggungannya.
Di sela-sela obrolan, Reza mencuri pandang ke arah Nadia. Wanita itu terlihat begitu nyaman dan percaya diri di antara koleganya, sebuah dunia yang terasa begitu asing baginya. Namun, senyuman kecil Nadia setiap kali mata mereka bertemu memberinya keberanian.
Ketika akhirnya malam beranjak larut dan obrolan mulai mereda, Reza merasa sedikit lebih santai. Pesta amal ini memang terasa seperti ujian, tetapi ia merasa berhasil melewatinya, meski dengan beberapa momen kikuk.
“Nadia,” gumamnya pelan saat mereka berjalan keluar aula, “Terima kasih sudah percaya padaku.”
Nadia tersenyum, menggandeng tangannya lebih erat. “Aku tahu kamu bisa, Reza. Dan kamu lebih dari cukup untuk dunia ini.”
Aula yang penuh kemewahan itu mungkin kini telah jauh di belakang mereka, tapi percakapan sederhana itu terasa jauh lebih bermakna bagi Reza.
Setelah acara selesai, Reza dan Nadia keluar dari gedung pesta dengan langkah santai. Malam sudah larut, dan udara dingin menyelimuti kota. Lampu-lampu jalan memberikan penerangan lembut di sepanjang trotoar.
“Capek banget, ya?” Nadia membuka percakapan sambil menarik napas panjang.
Reza tersenyum kecil sambil membuka pintu mobil untuknya. “Lumayan. Tapi ternyata seru juga. Lingkunganmu penuh orang-orang yang… gimana ya, punya energi yang beda.”
“Energi beda gimana?” Nadia bertanya sambil masuk ke mobil.
Reza menutup pintu lalu masuk ke kursi pengemudi. Setelah menyalakan mesin, ia menjawab, “Mereka semua kelihatan seperti berlomba-lomba menunjukkan siapa yang lebih sukses. Aku sempat merasa kayak ikan kecil di kolam penuh hiu.”
Nadia tertawa mendengar jawaban itu. “Ya, memang begitu. Dunia kerja kadang terasa seperti panggung, semua orang berusaha tampil sempurna. Tapi aku senang kamu bisa ikut. Kamu nggak canggung banget, kok.”
Reza memutar setir, membawa mobil mereka keluar dari area parkir. “Oh, aku canggung banget, Nad. Tapi kamu di sana bikin aku ngerasa nyaman. Aku senang bisa nemenin kamu.”
“Terima kasih,” Nadia berkata lembut. “Aku juga senang kamu mau datang. Kehadiranmu bikin acara tadi lebih menyenangkan buatku.”
Perjalanan menuju apartemen Nadia berlangsung tenang, diiringi suara lembut musik dari radio. Mereka sesekali mengobrol ringan, membahas orang-orang yang mereka temui di pesta tadi, atau sekadar berbagi lelucon kecil untuk mengisi keheningan.
Ketika mobil berhenti di depan apartemen Nadia, Reza menoleh ke arahnya. “Nah, sampai juga. Kamu pasti langsung tidur, ya? Kelihatan banget kalau kamu capek.”
Nadia tersenyum sambil melepaskan sabuk pengaman. “Iya, pasti langsung tidur. Tapi sebelum itu, aku mau bilang makasih sekali lagi. Kamu benar-benar penyelamat malam ini.”
Reza tersenyum hangat. “Kapan pun kamu butuh, Nad. Aku senang bisa bantu.”
Nadia membuka pintu mobil, tapi sebelum keluar, ia berhenti sejenak dan menatap Reza. “Kalau kamu nggak buru-buru, mau naik dulu? Minum teh atau kopi? Sekadar ngobrol sebentar.”
Reza ragu sejenak, lalu mengangguk. “Boleh, kalau nggak merepotkan.”
Mereka berdua pun keluar dari mobil dan berjalan bersama ke apartemen Nadia, siap menghabiskan sisa malam dengan percakapan ringan yang lebih santai.
Reza mengikuti Nadia memasuki apartemennya. Pintu tertutup pelan di belakang mereka, menghalangi suara bising kota yang perlahan memudar. Di dalam, suasana apartemen terasa hangat, dengan pencahayaan lampu meja yang lembut dan aroma khas ruang pribadi Nadia yang nyaman.
“Silakan duduk dulu,” ujar Nadia sambil melepas sepatunya di dekat pintu. “Aku ambilkan teh atau kopi? Atau kamu mau air putih aja?”
Reza tersenyum dan melepas jaketnya. “Teh aja, deh. Yang nggak bikin susah tidur nanti.”
Nadia mengangguk, berjalan ke dapur kecilnya. Sementara itu, Reza duduk di sofa, mengamati ruangan yang sekarang terasa akrab baginya. Rak buku di sudut ruangan kembali menarik perhatiannya, tapi kali ini ia memilih untuk hanya memperhatikan tanpa menyentuh.
Tak lama, Nadia kembali membawa dua cangkir teh hangat. Ia meletakkan cangkir di meja kecil di depan Reza sebelum duduk di sebelahnya. “Nih, spesial buat kamu. Masih panas, hati-hati.”
“Terima kasih, pelayanannya selalu prima,” canda Reza sambil mengambil cangkirnya. Ia meniup permukaan teh sebelum menyesap sedikit.
Mereka duduk dalam keheningan nyaman selama beberapa detik, menikmati teh masing-masing. Kemudian, Nadia menoleh ke Reza, memecah keheningan.
“Jadi, gimana kesanmu tentang pesta tadi? Beneran merasa kayak ikan kecil di kolam hiu?” tanyanya sambil tersenyum iseng.
Reza tertawa kecil. “Lumayan. Tapi, untung ada kamu di sana. Kalau nggak, mungkin aku udah minggir ke sudut ruangan sambil pura-pura sibuk main ponsel.”
Nadia terkikik. “Serius, kamu nggak kelihatan canggung, kok. Bahkan tadi beberapa rekan kerjaku bilang kamu kelihatan santai.”
“Wah, berarti aku sukses pura-puranya,” Reza menjawab sambil menyandarkan tubuhnya ke sofa. “Tapi aku senang bisa ikut. Kayaknya aku jadi lebih tahu sisi lain dari hidupmu.”
“Ya, ini dunia yang harus aku jalani setiap hari,” ujar Nadia sambil memandang ke arah cangkirnya. “Kadang melelahkan, tapi juga menarik.”
Reza mengangguk pelan. “Aku ngerti. Dunia itu kelihatan indah dari luar, tapi aku tahu pasti banyak tekanan di dalamnya.”
“Benar,” jawab Nadia sambil tersenyum tipis. “Tapi aku bersyukur, malam ini nggak terasa seberat biasanya. Kamu bikin aku lupa sejenak soal beban kerja.”
Reza tersenyum kecil, merasa senang bisa sedikit meringankan hati Nadia. Mereka melanjutkan percakapan ringan, berbicara tentang hal-hal kecil yang mereka alami belakangan ini, hingga waktu terasa berlalu begitu cepat.
Saat malam semakin larut, Reza menatap jam tangannya dan berkata, “Kayaknya aku harus pulang, Nad. Udah larut, nanti aku malah ngerepotin kamu.”
Nadia mengangguk pelan, meski sedikit enggan. “Oke, hati-hati di jalan, ya. Terima kasih untuk malam ini, dan untuk teh di apartemenku.”
Reza tersenyum sambil berdiri. “Sama-sama. Kapan pun kamu butuh aku dan butuh ditemani lagi ke acara-acara aneh kayak tadi, kamu tahu harus telepon siapa.”
Nadia terkekeh. “Pasti.”
Setelah berpamitan, Reza meninggalkan apartemen, dan Nadia menutup pintu sambil tersenyum tipis. Malam itu berakhir dengan perasaan hangat yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
Nadia baru saja akan menutup pintu ketika suara keras terdengar dari lorong apartemennya.
“Bruak!”
Dengan cepat ia membuka pintu lagi, mendapati Reza terduduk di lantai sambil meringis kesakitan. Di sekitar lantai terlihat masih sedikit basah, bekas pembersihan petugas apartemen.
“Reza! Kamu nggak apa-apa?” Nadia langsung mendekat dengan wajah panik.
Reza mencoba tersenyum meski wajahnya meringis. “Kayaknya lantainya licin. Aku terpeleset. Aduh, pergelangan kakiku sakit banget.”
Nadia berjongkok di dekatnya, memperhatikan kaki Reza yang tampak sedikit bengkak. “Astaga, kamu harus dibawa masuk. Bisa berdiri nggak?”
Reza mencoba mengangkat tubuhnya, tapi segera meringis lagi. “Kayaknya nggak bisa. Aduh, maaf ya, malah jadi merepotkan.”
“Udah, nggak usah banyak ngomong,” jawab Nadia tegas sambil membantu Reza bangkit. Dengan sedikit susah payah, ia memapah Reza kembali masuk ke apartemennya dan membawanya ke sofa.
“Duduk di sini, aku ambil es batu buat mengompres,” kata Nadia sambil bergegas ke dapur.
Reza mengangguk pasrah, masih memegangi kakinya yang terasa nyeri. “Maaf, Nad. Aku benar-benar nggak sengaja.”
“Sudah kubilang nggak perlu minta maaf,” balas Nadia dari dapur. Tak lama kemudian, ia kembali dengan kantong es yang dibalut kain kecil. Ia berlutut di depan Reza dan mulai mengompres pergelangan kakinya dengan hati-hati.
“Aduh, dingin banget,” ujar Reza spontan, meski ia tetap membiarkan Nadia melanjutkan.
“Namanya juga es,” jawab Nadia, sedikit tersenyum untuk mencairkan suasana. “Kita harus mengurangi bengkaknya dulu. Setelah itu, aku lihat apakah perlu diurut atau cuma butuh istirahat.”
Reza memandang Nadia yang tampak serius. “Kamu beneran perhatian banget, ya. Kalau aku tahu bakal begini, aku pura-pura jatuh dari awal,” candanya meski dengan nada lemah.
Nadia mendengus sambil menahan tawa. “Coba aja kalau kamu beneran pura-pura, aku udah usir kamu keluar!”
Mereka tertawa kecil meski situasinya tidak ideal. Setelah beberapa saat, Nadia mengikat pergelangan kaki Reza dengan perban elastis yang ia temukan di laci dapurnya.
“Untuk sementara, kamu nggak boleh jalan-jalan dulu,” kata Nadia sambil menatap tegas. “Mending kamu istirahat di sini sampai kakimu membaik. Aku nggak akan biarkan kamu pulang malam-malam dalam kondisi begini.”
Reza terkejut. “Maksudmu, aku nginap di sini?”
“Ya, mau gimana lagi? Kalau aku biarkan kamu pulang, nanti malah makin parah,” jawab Nadia sambil membereskan kain dan es batu tadi.
Reza menghela napas, lalu tersenyum tipis. “Oke, aku nurut aja, deh. Tapi janji, aku nggak akan merepotkan kamu.”
“Tenang aja, aku nggak keberatan,” kata Nadia sambil berdiri. “Sekarang, kamu istirahat di sofa. Kalau butuh apa-apa, tinggal bilang.”
Reza mengangguk pelan, merasa bersyukur sekaligus sedikit canggung. Malam itu, ia terpaksa tinggal lebih lama di apartemen Nadia, meski tak pernah ia duga sebelumnya. Di sisi lain, Nadia merasa lega bisa memastikan bahwa Pacarnya baik-baik saja, meski situasi itu datang secara tak terduga.
Setelah selesai membalut kaki Reza dengan perban elastis, Nadia duduk di lantai dekat sofa, memastikan semuanya sudah tertangani dengan baik. Reza, yang masih terduduk di sofa, menatap pacarnya dengan senyuman kecil.
“Terima kasih, Nad,” ucapnya pelan, suaranya penuh kehangatan. “Kamu selalu tahu gimana caranya bikin aku merasa lebih baik.”
Nadia mengangkat wajahnya, menatap Reza dengan lembut. “Aku pacarmu, Reza. Tentu saja aku bakal jagain kamu. Nggak perlu terima kasih segala.”
Keheningan tiba-tiba menyelimuti mereka. Hanya suara detik jam yang terdengar di latar belakang. Pandangan mereka bertemu, mata Reza yang penuh rasa syukur bersentuhan dengan tatapan hangat Nadia.
Reza mengulurkan tangannya, menyentuh pipi Nadia dengan lembut. “Nadia… aku bener-bener beruntung punya kamu.”
Kata-kata itu membuat Nadia tersenyum tipis, wajahnya sedikit memerah. Perlahan, Reza mendekat, memberi isyarat yang cukup jelas. Nadia tak menjauh, malah membiarkan dirinya larut dalam momen itu. Ketika bibir mereka bertemu, ciuman itu terasa lembut namun penuh perasaan.
Setelah beberapa detik, mereka berpisah. Nadia membuka matanya, menatap Reza dengan perasaan campur aduk. “Kamu tahu nggak,” katanya pelan, “kadang aku lupa kamu ini selalu bisa bikin aku merasa spesial, bahkan di momen yang paling nggak terduga.”
Reza tersenyum kecil, tangannya masih menggenggam tangan Nadia. “Karena kamu memang spesial, Nad. Buat aku.”
Nadia bersandar di bahu Reza, merasakan detak jantungnya yang tenang namun penuh arti. Ruangan yang hanya diterangi lampu lembut terasa semakin hangat, seolah waktu berhenti hanya untuk mereka berdua.
Reza membelai lembut rambut Nadia, membuatnya mendongak sedikit untuk menatapnya. Tatapan mereka bertemu lagi, kali ini lebih dalam, lebih penuh perasaan. Dengan perlahan, Reza membungkuk, menyentuhkan bibirnya ke bibir Nadia sekali lagi, namun kali ini dengan lebih dalam, lebih bermakna.
Nadia merespons dengan lembut, tangannya melingkar di leher Reza, menariknya lebih dekat. Ciuman mereka yang awalnya penuh kehangatan perlahan berubah menjadi lebih intens, seolah-olah semua perasaan yang terpendam selama ini dilepaskan dalam momen itu.
Reza menarik wajahnya sedikit, menatap Nadia dengan ekspresi penuh cinta. “Kamu yakin?” tanyanya dengan suara serak, memberi ruang bagi Nadia untuk memutuskan.
Nadia hanya mengangguk pelan, matanya berbicara lebih dari apa yang bisa diungkapkan dengan kata-kata. Ia mempercayai Reza sepenuhnya, dan malam itu terasa seperti momen yang tepat bagi mereka untuk melangkah lebih jauh.
Reza tersenyum lembut, lalu menarik Nadia ke dalam pelukannya. Mereka membiarkan kehangatan dan cinta yang mengalir di antara mereka menjadi penghubung yang lebih dalam. Segala keintiman itu terjadi dengan penuh kesadaran dan rasa saling menghormati, menciptakan malam yang tak terlupakan bagi keduanya.
Dalam keheningan malam, mereka berbagi momen yang tidak hanya mendekatkan tubuh mereka, tetapi juga hati mereka, menguatkan cinta yang telah lama hilang terjalin kembali.
Lanjut Chapter 2.