Pinky, gadis rusuh dan ceplas-ceplos, tergila-gila pada Dev Jaycolin meski cintanya selalu ditolak. Suatu kejadian menghancurkan hati Pinky, membuatnya menyerah dan menjauh.
Tanpa disadari, Dev diam-diam menyukai Pinky, tapi rahasia kelam yang menghubungkan keluarga mereka menjadi penghalang. Pinky juga harus menghadapi perselingkuhan ayahnya dan anak dari hubungan gelap tersebut, membuat hubungannya dengan keluarga semakin rumit.
Akankah cinta mereka bertahan di tengah konflik keluarga dan rahasia yang belum terungkap? Cinta Gadis Rusuh & Konglomerat adalah kisah penuh emosi, perjuangan, dan cinta yang diuji oleh takdir.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon linda huang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26
Beberapa saat kemudian, Pinky beranjak keluar dari kantor polisi dengan langkah cepat dan raut wajah yang sulit ditebak. Mark, ayahnya, segera menyusul dengan langkah gusar, jelas tidak puas dengan situasi yang baru saja terjadi.
"Berhenti! Kau belum memberi penjelasan," sergah Mark dengan suara yang menggelegar. "Sejak kapan kau menjual apartemen itu?"
Pinky menghentikan langkahnya dan menoleh, menatap Mark dengan tatapan dingin. "Beberapa hari yang lalu," jawabnya singkat, suaranya penuh ketegasan.
"Kenapa kau menjualnya tanpa memberitahuku?" tanya Mark lagi, nadanya semakin tinggi.
"Kenapa?" Pinky menyilangkan tangan di depan dadanya. "Marah? Untuk apa aku harus memberitahumu? Kau bahkan tidak peduli selama ini. Apakah kau tahu, harga apartemen kumuh yang kau miliki itu bahkan tidak cukup untuk melunasi hutangku. Aku sampai harus berhutang lagi pada orang lain! Jumlah uang yang aku dapat dari unit itu tidak sebanding dengan biaya hidupku dan Mama selama dua puluh tahun kau mengabaikan kami!"
Mark tertegun sejenak, wajahnya memerah karena emosi yang bercampur malu. "Aku tahu kau sedang marah padaku," balasnya dengan nada menahan diri. "Tapi tahukah kau, akibat perbuatanmu perusahaan Sania mengalami kerugian besar? Bahkan mungkin saja akan bangkrut. Kalau itu terjadi, tempat tinggalku akan diambil oleh pihak bank! Lalu aku harus tinggal di mana?"
Pinky tersenyum sinis, lalu berkata dengan suara penuh sindiran, "Tepi jalan saja. Mengemis pada pejalan kaki. Atau lebih baik, minta saja anak kebanggaanmu yang membiayai hidupmu!"
Mark mendadak terdiam, tidak mampu membalas. Sebelum sempat berkata lagi, Pinky sudah melangkah pergi, meninggalkan pria itu dengan kekesalannya.
---
Pinky berjalan menuju pusat kota dengan wajah murung. Meskipun ia telah berhasil meluapkan amarah dan membalas rasa sakit yang ia alami selama bertahun-tahun, tidak ada sedikit pun kebahagiaan yang terpancar dari wajahnya. Rasa puas itu hanya sesaat, kini ia kembali dihantui oleh kenyataan hidup yang sulit.
"Melawan ayah sendiri... Rasanya aneh. Tapi dia yang memulai lebih dulu!" gumamnya pada dirinya sendiri. Ia mendesah panjang, kepalanya penuh dengan pikiran. "Harus ke mana aku mencari uang untuk membayar hutang orang?"
Langkahnya terhenti saat matanya tertumbuk pada sosok pria yang ia kenali di dalam sebuah kafe. Dengan cepat, ia menyadari siapa pria itu.
"Dev Jaycolin?" gumam Pinky, suaranya dipenuhi rasa ingin tahu. "Kenapa aku tidak terpikir ya? Lagi pula, hanya pinjam uang, bukan meminta. Seharusnya tidak berlebihan." Ia menghela napas dalam dan mendorong pintu kafe, melangkah masuk dengan percaya diri.
---
Dev sedang duduk santai di pojokan kafe, fokus membaca koran yang terlipat rapi di tangannya. Ketika ia mendongak dan melihat Pinky berjalan mendekat, ia langsung menghela napas panjang dengan ekspresi kesal.
"Kenapa kau di sini?" tanya Dev tanpa basa-basi.
Pinky duduk di hadapannya dengan senyum tipis. "Tidak suka melihatku? Sudah aku katakan, kamu adalah calon suamiku. Tentu saja aku mendekatimu di mana pun kau berada," balasnya, setengah menggoda.
Dev mendengus sinis. "Aku ingin sendirian. Pergi!"
Pinky mengabaikan perintahnya. "Pinjamkan aku uang," pintanya langsung tanpa basa-basi.
Dev menatapnya tajam. "Apakah kau berhak meminjam uang dariku?"
"Aku akan membayarmu. Tenang saja. Aku hanya ingin melunasi hutangku," jawab Pinky dengan suara tegas.
Dev tertawa kecil, nada sinis terdengar jelas. "Apa kau tidak tahu malu, meminjam uang pada orang yang tidak ada hubungan denganmu?"
"Orang yang ada hubungan denganku saja tidak bisa aku harapkan. Jadi, aku hanya bisa meminjam darimu. Tapi tenang, aku akan membayarnya," balas Pinky dengan nada yang mulai kehilangan kesabaran.
"Tidak ada!" tegas Dev, melipat korannya dengan gerakan kasar. "Setidaknya sudah terbukti kalau kau tidak berbeda dengan wanita lain yang hanya suka uang."
Pinky mendekatkan tubuhnya sedikit, menatap Dev tajam. "Jangan samakan aku dengan wanita yang mengincarmu. Aku mengincarmu bukan demi uang!"
Dev mendengus lagi, kali ini lebih keras. "Aku punya uang, tapi aku tidak ingin meminjamkannya padamu," katanya dingin. "Biasakan cari uang sendiri dan jangan menyusahkan orang!"
Pinky tersenyum tipis, tapi senyum itu jelas dipaksakan. Ia merogoh saku bajunya dan mengeluarkan kartu nama. "Baiklah, aku akan meminta bantuan seseorang saja," ucapnya, nada suaranya menantang.
Dev langsung menajamkan pandangannya. "Siapa yang kau hubungi?" tanyanya penuh kecurigaan.
Pinky melambaikan kartu nama itu ke arah Dev sambil berkata santai, "Calon mertuaku. Aku akan minta izin darinya untuk pinjam uangmu."
Ekspresi Dev berubah drastis, wajahnya penuh kekhawatiran. "Apa kau sudah gila?" sergahnya sambil merebut ponsel Pinky.
Pinky tertawa kecil, kali ini dengan nada mengejek. "Kenapa? Kau takut dengan ibumu? Jangan lupa, aku ada dukungan darinya. Kalau kau menolak juga, tidak apa-apa. Aku tidak akan memaksamu!" katanya, lalu bersiap melangkah pergi, meninggalkan Dev dalam dilema.
"Berapa yang kau minta?" tanya Dev, suaranya datar namun jelas terdengar nada kesal di baliknya.
Pinky tersenyum tipis, seolah tidak peduli pada sikap dingin pria di hadapannya. "Tidak banyak, hanya seribu dolar," jawabnya dengan nada yang dibuat santai, meskipun ada ketegangan yang tersembunyi.
Dev menatapnya tajam, seolah menimbang-nimbang sesuatu. Setelah beberapa detik yang terasa seperti selamanya bagi Pinky, ia mendesah panjang, lalu meraih buku cek dari dalam tasnya. Gerakannya kasar, seolah ingin menunjukkan betapa tidak sukanya ia dengan permintaan itu. Dengan cepat, ia menulis nominal yang diminta oleh Pinky.
"Ambil saja," katanya dingin sambil menyodorkan selembar cek ke hadapan Pinky. "Dan tidak perlu repot-repot mengembalikannya. Yang penting, jangan pernah muncul di hadapanku lagi!"
Nada suaranya tegas, seakan memberi peringatan terakhir. Dev berdiri dari kursinya tanpa menunggu reaksi dari Pinky, lalu beranjak pergi dengan langkah cepat.
Pinky terdiam sejenak, memandangi cek yang kini berada di tangannya. Ia mencoba tersenyum, tetapi senyum itu terasa hampa. "Yang namanya hutang, aku pasti bayar," ujarnya pelan, meski ia tahu ucapannya hanya akan menguap di udara. Dev sudah tidak peduli, buktinya pria itu terus melangkah keluar dari kafe tanpa sedikit pun menoleh ke arahnya.
Setelah sosok Dev menghilang dari pandangannya, Pinky menunduk, menatap cek itu lebih lama. Angka di atas kertas itu terlihat jelas, tapi bukannya merasa senang, ia justru merasa sedih.
"Demi rumah yang nyaman," gumamnya dengan suara hampir tak terdengar. "Aku harus mengemis pada orang lain, bahkan dipandang rendah."
Pinky mengepalkan tangan yang memegang cek itu, matanya mulai berkaca-kaca. Ia menghela napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. "Bukan salah dia juga," lanjutnya dengan nada penuh kegetiran. "Aku memang bukan siapa-siapa baginya."
"Kalau bukan karena waktu yang diberikan hanya seminggu, aku juga tidak akan pinjam dengannya," batin Pinky.