Lucy adalah mata-mata yang tidak pernah gagal menjalankan misinya. Namun, kali ini misinya membawa dia menyamar sebagai pacar palsu miliarder muda, Evans Dawson , untuk memancing musuh keluar dari persembunyiannya.
Ketika Evans tanpa sadar menemukan petunjuk yang mengarah pada identitas asli Lucy, hubungan mereka yang semula hanya pura-pura mulai berubah menjadi sesuatu yang nyata.
Bisakah Lucy menyelesaikan misinya tanpa melibatkan perasaan, atau semuanya akan hancur saat identitasnya terbongkar?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lily Dekranasda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Investor Asing
Pagi ini, Lucy bersiap untuk hari keduanya bekerja di Dawson Corporation. Setelah mengenakan pakaian profesionalnya, blazer hitam dengan rok pensil yang elegan, ia menyempatkan diri untuk menghubungi Jenna sebelum berangkat.
"Jenna, aku baru saja mengirimkan link akses ke jaringan kamera tersembunyi yang sudah kupasang di Dawson Corporation," ucap Lucy, memastikan pesannya jelas.
Jenna di ujung sana terdengar mengetik sesuatu. "Sudah kuterima, Lucy. Aku sedang menghubungkan jaringan ini ke sistem pemantauan utama kita. Dalam beberapa menit, tim akan mulai memantau pergerakan di sana."
"Pastikan timmu selalu waspada. Fokus pada wajah-wajah baru atau siapa pun yang terlihat mencurigakan," Lucy mengingatkan. "Aku tidak ingin ada yang terlewat, terutama orang yang berinteraksi langsung dengan Evans."
"Tenang saja, Lucy. Dengan kamera yang kau pasang, kita bisa melihat semuanya dengan jelas. Kamu melakukan pekerjaan yang hebat," puji Jenna.
Lucy tersenyum tipis. "Baiklah. Aku harus segera ke kantor. Aku tidak ingin Evans mencurigai sesuatu. Pastikan timmu memberi tahu jika ada hal aneh di rekaman kamera."
"Dimengerti. Hati-hati di sana," ujar Jenna sebelum menutup telepon.
Sesampainya di Dawson Corporation, Lucy kembali ke meja sekretarisnya. Ia menyalakan komputer dan memeriksa jadwal hari itu. Di sela-sela pekerjaannya, ia membuka aplikasi di ponselnya untuk memastikan bahwa kamera yang ia pasang tetap berfungsi normal.
Kamera di ruang rapat, pantry, dan lorong-lorong menunjukkan aktivitas pagi hari seperti biasa. Namun, Lucy tidak mengabaikan detail kecil, mencatat siapa saja yang tampak dekat dengan Evans atau berperilaku mencurigakan.
Ketika Evans tiba bersama Brandon, Lucy menyapa mereka dengan senyuman profesional. "Selamat pagi, Tuan Dawson. Jadwal Anda hari ini sudah saya siapkan," katanya sambil menyerahkan lembaran agenda.
"Bagus," jawab Evans singkat. Namun, matanya sedikit meneliti Lucy, seolah mencoba memahami lebih jauh siapa sebenarnya wanita ini.
Brandon, yang lebih santai, menambahkan, "Jangan lupa, kita punya pertemuan dengan investor asing siang ini. Lucy, pastikan ruang rapat sudah disiapkan dengan baik."
"Tentu, Tuan Brandon. Akan saya atur," jawab Lucy sambil mencatat.
Sementara itu, di markas organisasi, Jenna dan tim sedang memantau feed dari kamera tersembunyi Lucy. Salah satu anggota tim menunjukkan sesuatu yang menarik di layar. "Jenna, lihat ini. Ada seseorang yang sering muncul di dekat ruang kerja Evans. Wajahnya tidak tercatat dalam database pegawai perusahaan."
Jenna mengernyit. "Tangkap gambar wajahnya. Kirimkan ke Lucy dan minta dia berhati-hati. Orang ini mungkin salah satu target kita."
Di kantor, Lucy menerima pesan dari Jenna. Gambar seorang pria dengan rambut gelap dan wajah serius terpampang di layar ponselnya. Pesan itu berbunyi, "Hati-hati dengan pria ini. Kami belum tahu siapa dia, tapi dia mencurigakan."
Lucy menyembunyikan ponselnya dan melanjutkan pekerjaannya seperti biasa.
...****************...
Lucy membawa setumpuk berkas yang sudah ia periksa dengan teliti. Setiap lembar dokumen sudah ia pastikan tidak ada kesalahan, namun, sebagai bagian dari prosedur, semua itu tetap harus dicek ulang oleh Evans dan ditandatangani.
Ia mengetuk pintu ruang kerja Evans dengan sopan. Setelah mendengar suara rendah di balik pintu yang mempersilakannya masuk, Lucy mendorong pintu dan masuk ke dalam ruangan.
"Selamat pagi, Tuan Dawson. Ini dokumen yang perlu Anda periksa dan tanda tangani," kata Lucy sambil meletakkan dokumen di atas meja kerja besar Evans.
Evans, yang sedang memandangi layar laptopnya, mengalihkan pandangannya ke arah Lucy. Dengan gerakan sederhana, ia memberi isyarat agar Lucy duduk di kursi di depannya.
"Baik," katanya singkat sambil mengambil berkas teratas. "Kamu sudah memastikan semuanya?"
"Tentu saja, Tuan. Tidak ada kesalahan," jawab Lucy percaya diri.
Evans menelusuri dokumen itu dengan mata tajam. Jari-jarinya bergerak cepat membalik halaman demi halaman. Lucy memperhatikan ekspresinya dengan cermat, mencari tahu apakah ada sesuatu yang menarik perhatiannya.
Setelah beberapa menit, Evans menutup dokumen terakhir dan menatap Lucy. "Kamu teliti. Itu bagus," ucapnya sambil menandatangani halaman terakhir.
"Terima kasih, Tuan. Itu bagian dari pekerjaan saya," jawab Lucy sambil tersenyum tipis.
Evans menyerahkan dokumen-dokumen itu kembali padanya. "Brandon akan memberimu dokumen tambahan nanti. Pastikan untuk mengurusnya dengan cara yang sama."
Lucy mengangguk. "Tentu, Tuan Dawson."
Saat ia berdiri untuk keluar dari ruangan, Evans berbicara lagi. "Dan Lucy..."
Lucy berbalik dengan tatapan penuh perhatian. "Ya, Tuan?"
"Kalau ada yang aneh di kantor ini, karyawan, perilaku, atau apa pun, laporkan langsung padaku," kata Evans dengan nada serius.
Lucy menatapnya sesaat sebelum mengangguk. "Saya mengerti, Tuan Dawson."
Lucy meninggalkan ruangan, membawa dokumen yang sudah ditandatangani. Dalam hati, ia berpikir bahwa Evans mungkin lebih tajam daripada yang terlihat. Ia harus lebih berhati-hati.
...****************...
Setelah keluar dari ruangan Evans dengan dokumen yang sudah ditandatangani, Lucy langsung menuju meja resepsionis di lantai CEO. Ia menyerahkan dokumen-dokumen tersebut kepada resepsionis dengan arahan yang jelas.
"Ini dokumen yang sudah ditandatangani oleh Tuan Dawson. Tolong pastikan dokumen ini dikirimkan ke departemen yang bersangkutan," kata Lucy sambil memberikan berkas itu.
Resepsionis mengangguk sopan. "Baik, Nona Lucy. Akan segera saya proses."
Setelah itu, Lucy memeriksa jadwal yang tertera di tabletnya. Ada rapat penting yang dijadwalkan di ruang rapat utama siang ini. Tidak mau ada kekacauan, Lucy segera memanggil seorang Office Boy (OB) melalui telepon internal.
Tak lama kemudian, seorang pria muda dengan seragam OB datang mendekatinya. "Ada yang bisa saya bantu, Nona Lucy?" tanyanya ramah.
Lucy tersenyum tipis. "Ya, tolong bersihkan ruang rapat utama. Pastikan semua meja dan kursi bersih, gunakan pewangi ruangan yang segar, dan siapkan botol-botol air minuman di setiap tempat duduk."
OB itu mengangguk dengan sigap. "Baik, Nona. Saya akan segera melakukannya."
Lucy mengamati pria itu bekerja dari jauh, memastikan semuanya sesuai dengan standar yang ia harapkan. Ia tahu bahwa rapat kali ini penting, jadi semuanya harus sempurna.
Saat ruang rapat selesai dibersihkan dan diatur, Lucy berjalan memeriksa hasilnya. "Bagus, semua terlihat rapi dan wangi," katanya sambil tersenyum puas.
Siang itu, setelah memastikan semuanya beres, Lucy kembali ke mejanya. Ia menulis catatan kecil tentang pengamatannya hari ini, lalu bersiap untuk menghadapi jadwal selanjutnya.
...****************...
Pukul 11.20 tepat, Lucy mengetuk pintu ruangan Evans dengan tiga ketukan tegas namun sopan. Dari dalam, terdengar suara Evans yang khas, "Masuk."
Lucy membuka pintu dan melangkah masuk. Di dalam, ia melihat Evans duduk dengan serius di meja kerjanya, sementara Brandon berdiri di sisi meja, memberikan beberapa laporan. Keduanya tampak terlibat dalam diskusi mendalam.
"Maaf mengganggu, Tuan Dawson," ucap Lucy dengan nada profesional. "Saya ingin mengingatkan, rapat dengan investor asing akan dimulai dalam sepuluh menit. Semua sudah dipersiapkan di ruang rapat utama, termasuk dokumen yang diperlukan dan fasilitas yang diminta."
Evans mengangkat pandangannya dari dokumen di depannya. Matanya mengamati Lucy sejenak sebelum ia memberikan anggukan kecil. "Terima kasih, Lucy. Apakah Anda sudah memastikan semuanya siap, termasuk alat penerjemah jika diperlukan?"
Lucy tersenyum percaya diri. "Sudah, Tuan. Semua detail telah saya cek ulang. Saya juga telah menyiapkan kopi dan teh sesuai preferensi masing-masing investor. Anda hanya perlu membawa diri Anda."
Brandon tersenyum kecil mendengar jawaban Lucy yang terkesan lugas namun penuh perhatian terhadap detail. "Sepertinya sekretaris baru Anda sangat teliti, Tuan," gumamnya kepada Evans.
Evans menoleh ke Brandon, lalu kembali memandang Lucy. "Dia memang layak diandalkan," komentarnya singkat.
Lucy sedikit membungkukkan kepala sebagai tanda terima kasih atas pujian itu. "Kalau begitu, saya akan menunggu di luar ruangan untuk mengawal Anda ke ruang rapat saat waktu sudah tiba," katanya sebelum berbalik keluar.
Setelah pintu tertutup, Brandon menoleh kembali ke Evans dengan nada menggoda. "Sepertinya Anda mulai merasa nyaman dengan Nona Lucy."
Evans menggeleng pelan sambil tersenyum kecil. "Dia memang profesional. Itu saja."
Namun, dalam hatinya, Evans mulai mengakui bahwa Lucy bukan hanya sekadar sekretaris biasa. Keahliannya dalam mengantisipasi kebutuhan dan mengatur semuanya dengan sempurna membuatnya sulit untuk tidak merasa terkesan. Dia masih penasaran siapa sebenarnya Lucy Harlow, seorang wanita dengan kecerdasan dan ketelitian luar biasa.
Sementara itu, Lucy kembali ke meja kerjanya, memastikan tablet di tangannya mencatat setiap detail rapat yang akan berlangsung.
...****************...
Lucy berdiri dengan percaya diri di depan pintu ruangan Evans, memegang dokumen tambahan yang diperlukan untuk rapat penting tersebut. Ia mengetuk pintu dengan ketukan yang tegas, memastikan setiap detil rapat akan berjalan lancar.
"Masuk," terdengar suara Evans dari dalam ruangan.
Lucy membuka pintu dan melangkah masuk. "Investor asing sudah tiba di lobi bawah, Tuan Evans. Semua dokumen yang diperlukan sudah disiapkan." ucap Lucy menatap Evans dengan mata penuh perhatian.
Evans, yang tengah mempersiapkan diri, mengangguk. "Terima kasih, Lucy. Ayo, kita pergi ke ruang rapat." Dengan langkah mantap, ia mengikuti Lucy keluar dari ruangannya.
Brandon, yang sudah menunggu di luar, ikut bergabung. "Saya sudah menyiapkan semuanya. Diharapkan pertemuan ini berjalan lancar," katanya, sebelum mereka bertiga menuju ruang rapat.
Rapat dengan investor asing itu adalah salah satu momen yang sangat menentukan bagi keberlangsungan bisnis Evans.