Alinea Prasasti, seorang gadis berusia 25 tahun yang mengidap gangguan skizoafektif akibat trauma di masa lalu, berjuang untuk menemukan jalan hidupnya. Di usianya yang tidak lagi muda, ia merasa terjebak dalam ketidaktahuan dan kecemasan, tetapi berkat dukungan sepupunya, Margin, Aline mulai membuka diri untuk mengejar mimpinya yang sebelumnya tertunda—berkarier di bidang mode. Setelah bertemu dengan Dr. Gita, seorang psikiater yang juga merupakan mantan desainer ternama, Aline memulai perjalanan untuk penyembuhan mentalnya. Memasuki dunia kampus yang penuh tantangan, Aline menghadapi konflik batin, dan trauma di masa lalu. Tapi, berkat keberanian dan penemuan jati diri, ia akhirnya belajar untuk menerima semua luka di masa lalu dan menghadapi masa depannya. Namun, dalam perjuangannya melawan semua itu, Aline harus kembali menghadapi kenyataan pahit, yang membawanya pada pengakuan dan pemahaman baru tentang cinta, keluarga, dan kehidupan.
"Alinea tidak akan sempurna tanpa Aksara..."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon AMDee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34
Aline menarik napas panjang sebelum ia masuk ke ruangan Mrs. Laura. Begitu ia mengetuk pintu, Aline mendengar suara melengking Mrs. Laura yang menyuruhnya masuk ke dalam.
"Anda memanggil saya, Mrs?"
"Ya, duduklah."
Aline menuruti permintaan Mrs. Laura. Gadis itu menuruti permintaan Mrs. Laura, ia melangkah ke samping lemari arsip dan duduk di atas sofa kayu yang bentuknya persis seperti kursi goyang berukuran panjang. Mrs. Laura mengambil sebotol air mineral di kulkasnya, menuangkan ke gelas berukuran rendah dan disajikannya di depan Aline.
"Bagaimana kabar kesehatanmu saat ini? Jauh lebih baik, atau—apa kau akan memutuskan untuk keluar dari kampus ini secara sukarela?"
Deg. Aline mengangkat wajahnya, memandang lurus ke arah wanita angkuh yang duduk di depannya.
"Mohon maaf, Mrs. Tapi, kenapa saya harus keluar dari kampus ini?"
Mrs. Laura mengerucutkan bibirnya. Ekspresi wajahnya menunjukkan ketidaksukaan begitu mendengar jawaban Aline.
"Rupanya kau masih belum mengerti, ya?" Mrs. Laura melemparkan tatapan tajam. "Alinea Prasasti, apa kau tahu masalah apa yang sudah kamu timbulkan di kampus ini?"
Aline terdiam. Sungguh, ia tidak sepenuhnya paham dengan apa yang dibicarakan Mrs. Laura saat ini. Namun ia menduga, hal ini ada kaitannya dengan semua yang dikatakan Levi di asrama tempo lalu.
"Kamu sudah banyak melakukan kesalahan di sini. Pertama, kau memberikan kesan buruk di saat Luna datang berkunjung. Kau juga mempermalukan nama baik sekolah dan diri kamu sendiri. Apa kau sudah mengingat itu? Oh, maaf, saya yakin kamu pasti sudah melupakan kejadian itu,"
Mrs. Laura tersenyum miring sebelum akhirnya meneruskan kalimatnya, "Salah saya, seharusnya saya tidak pernah menerima kamu di kampus ini. Namun, apa yang bisa saya lakukan ketika orang yang meminta untuk menampungmu di sini adalah salah satu alumni terbaik di kampus ini. Kau adalah tanggungjawab orang itu, jadi saya tidak mungkin menolak kehadiranmu di sini. Ini membuat saya jengkel. Sebetulnya kau hanya beruntung saja bisa diterima di kampus ini. Kau pasti tidak akan menduga bahwa, orang yang memiliki kepribadian ganda sepertimu itu ternyata mendapatkan pendidikan tinggi dengan cara licik seperti ini. Kau tidak sepenuhnya diterima di sini karena kau hebat dalam menggambar pola, Nona kecil. Coba saja kamu bayangkan— pikirkan dengan otak kecil kamu itu—bagaimana nasib sekolah ini, jika mahasiswanya justru menderita penyakit mental?"
Aline menelan ludahnya. Ia memandang Mrs. Laura dengan tatapan yang dipenuhi amarah.
"Oh, maafkan saya, Aline. Saya tidak bermaksud untuk menyerangmu secara psikis, saya hanya ingin mengatakan hal yang sebenarnya. Setahu saya selama ini kau adalah seorang pasien yang mengalami gangguan anxiety disorder, bukan? Kau juga memiliki riwayat gangguan skizoafektif, dan usia kamu sekarang—Oh, kau sudah hampir dua puluh enam tahun. Bagaimana mungkin kau bisa berpikir produktif di usia yang tidak lagi muda ini? Belum lagi otakmu sangat lambat dalam mencerna kata-kata. Maaf sekali lagi, Aline, tetapi sebagai penanggungjawab di kampus ini, saya tidak bisa mempertahankan status mahasiswi yang kau peroleh dengan cara curang. Apalagi setelah kabar percobaan bunuh diri yang kau lakukan kemarin itu menyebar sampai ke luar kampus. Saya tidak akan tinggal diam saja, jadi silakan putuskan. Apa kau mau sukarela keluar dari kampus ini, atau saya yang harus mengeluarkanmu?"
Mata Aline berubah menjadi merah. Aline merasakan indra penglihatannya dipenuhi oleh rasa panas dan perih, lalu semua itu menyerang ke seluruh tubuhnya. Denyut jantung Aline seakan-akan berpacu dengan sesuatu yang membuat dirinya dipenuhi oleh jutaan emosi. Hatinya hancur lebur persis seperti remahan roti yang tersisa di piring Mrs. Laura saat itu.
Situasi ini sangat menjengkelkan. Entah mengapa, perkataan Mrs. Laura benar-benar membuat Aline ingin menumpahkan seluruh kekesalannya. Memangnya kenapa jika usia Aline sekarang sudah hampir dua puluh enam tahun? Memangnya kenapa jika otak Aline terlalu lambat dalam mencerna kata-kata? Memang kenapa jika Aline memiliki masa lalu yang buruk? Di mana kesalahan Aline?
Aline bergumam di dalam hati.
Apakah aku tidak berhak kuliah di sini? Apakah faktor usia, otak, kesehatan mental, dan kecemasanku menghambat aktivitas pendidikanku? Justru karena aku ingin membuat revolusi, justru karena aku ingin mengubah hidupku menjadi lebih baik—itulah sebabnya aku ada di sini untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Tetapi mengapa? Mengapa orang ini selalu berusaha untuk menyingkirkanku? Apakah aku tidak pantas kuliah di sini? Mengapa? Apa masalahnya?
Aline murka. Tangannya mengepal di bawah meja, Aline menggigit bagian dalam bibirnya.
Mrs. Laura menyeringai. Ia mengambil secarik kertas putih dari laci mejanya, dan melemparkan kertas itu ke hadapan Aline.
"Lebih baik kau segera buat pernyataan bahwa, kau akan pergi dari kampus ini karena kau menyadari kondisimu yang tidak baik-baik saja. Sebelum kau semakin mempermalukan kampus saya dan dirimu sendiri, sebaiknya kau lakukan apa yang harus kau lakukan sekarang. Tandatangani surat pernyataan yang saya minta. Itu akan jauh lebih baik untukmu daripada kau harus ditertawakan oleh semua orang. Bukankah begitu?"
"Ya, Anda benar. Saya memang harus menulis sebuah pernyataan di lembar kosong ini." Aline menarik kertas yang dilemparkan Mrs. Laura itu dan membolak-baliknya.
"Lakukan segera." Mrs. Laura tersenyum licik.
Aline membalas tatapan Mrs. Laura dengan senyuman tipis. "Mrs. Laura tenang saja, saya akan melakukannya sesegera mungkin. Saya akan menulis ten—"
Brak.
Tiba-tiba pintu terbuka dan Ode menerobos masuk ke ruang kerja Mrs. Laura. Gadis itu tampak berkeringat, napasnya juga masih ngos-ngosan ketika ia sampai di tempat itu.
"Kak Ode?"
"Jangan terpengaruh oleh perkataan Mrs. Laura, Lin. Aku mohon, berhenti. Kamu tidak perlu melakukan apa pun. Jangan menandatangani atau menulis apa pun yang diperintahkan oleh Mrs. Laura."
"Apa maksud Kak Ode?"
Aline mengernyit heran. Ode yang kini sudah berdiri di sampingnya segera mengajak Aline keluar. Wajah Ode merah padam, lensa matanya bersinar menatap Mrs. Laura.
"Lepaskan Aline, dia harus melakukan tugasnya."
"Tidak akan. Aku akan membawa Aline ke luar dari sini."
"Ode, hentikan! Apa yang kau lakukan? Kau mau menentang ibu?" Mrs. Laura beranjak dari sofa, dari raut wajahnya yang mengerut dan nada suaranya yang melengking tinggi jelas sekali bahwa saat ini Mrs. Laura tampak begitu marah.
Ode menghentikan langkahnya di depan meja Mrs. Laura. "Ibu tidak malu melakukan ini? Karena Ibu sudah tidak bisa mengaturku lagi, apa sekarang ibu berniat untuk membuat Aline menyerahkan masa depannya begitu saja?"
Ode menyeringai, "Ibu sungguh tidak tahu malu?"
"Anak kurang ajar! Tinggalkan dia di sini," Mrs. Laura melepaskan tangan Aline yang digenggam Ode.
"Apa sih, Bu? Tidak. Aku tidak akan memberikan Aline pada Ibu."
Aline yang terlempar ke lantai sejujurnya masih kaget begitu tahu bahwa hubungan Ode dan Mrs. Laura ternyata adalah ibu dan anak. Begitu mengetahui hal ini, Aline sadar akan maksud dari permintaan Levi di hari itu.
"Kau tidak usah ikut campur. Keluar!"
"Tidak! Aku hanya akan keluar jika Aline pergi denganku!"
"Dasar anak tidak tahu diuntung!"
Mrs. Laura hendak menampar Ode, namun Aline segera bergerak dan menghalanginya. Aline berdiri di depan Ode, menangkap tangan Mrs. Laura dengan berani.
"Sudah cukup, Mrs. Meskipun Kak Ode adalah putri dari Mrs. Laura, tapi dia bukan boneka yang bisa diperlakukan seenaknya. Kak Ode berhak menentukan masa depannya sendiri. Sebagai seorang ibu, seharusnya Mrs. Laura memiliki sisi lembut. Anda seharusnya dapat memahami putri Anda. Bukan malah menyiksanya seperti ini."
"Menyiksa? Kau menganggap saya menyiksa putri saya sendiri? Menggelikan sekali. Padahal kau saja tidak pernah dididik oleh orang tua sendiri, bisa-bisanya kau mengganggap hal ini sebagai penyiksaan. Saya tidak pernah menyiksa putri saya, saya hanya mendidiknya agar dia tidak tumbuh menjadi orang sepertimu. Sebagai orangtua, hanya saya yang tahu apa yang terbaik untuk putri saya. Dan, kau... Kau hanyalah orang luar yang tidak tahu apa-apa, jadi kau tidak usah ikut campur urusan ini. Buat saja pernyataan itu dan tandatangani."
"Benar. Saya memang orang luar, tetapi saya juga paham bahwa, hubungan antara orangtua dan anak juga memiliki batasannya. Yang terbaik menurut orang tua belum tentu baik bagi anaknya. Anda lupa, putri Anda juga manusia. Dia bukan tanah liat yang dapat Anda bentuk dan atur sesuai keinginan Anda. Putri Anda juga punya masa depan sendiri, dan dia berhak untuk memilih jalan hidupnya sendiri."
"Tidak usah banyak omong. Kau jangan pernah mencampuri urusan keluarga saya. Kau urus saja kehidupanmu yang hancur berantakan itu. Kau lupa, kau hanya orang gila yang bermimpi meraih kesuksesan di usia yang tidak lagi muda. Kau itu naif, Aline. Kau pikir semua hal yang kau lakukan itu wajar, hah?"
"Kenapa tidak? Saya tidak melanggar ataupun melakukan kesalahan, bukan?"
Aline melangkah maju untuk menghadapi Mrs. Laura. Sedari tadi darahnya sudah mendidih sejak mendengar kata-kata Mrs. Laura yang menyakiti hatinya. Kalau hal ini akan berakhir buruk, lebih baik sekalian saja Aline melawan wanita angkuh itu.
"Mau apa kamu?" Mrs. Laura melangkah mundur, ia tampak takut melihat sorot mata Aline yang menyala-nyala. Mrs. Laura berusaha meraih pulpen di atas meja.
"Mundur!"
"Tidak akan." Aline semakin maju.
"Mundur, atau saya akan..." Tangan Mrs. Laura hendak menodongkan pulpen ke wajah Aline, tetapi Aline sudah menyadarinya sejak awal.
"Apa yang akan Anda lakukan? Anda ingin melukai saya? Silakan, coba saja kalau Anda berani. Saya tidak takut wajah saya tergores oleh ujung pena Anda. Lagi pula, saya sudah pernah mati satu kali. Anda bisa lihat tangan saya ini," Aline menaikkan lengan kemejanya, memperlihatkan beberapa luka sayatan yang ada di pergelangan tangan hingga sikunya.
"Bagaimana menurut Anda?" Aline menyeringai.
"Kau gila!" Mrs. Laura menendang perut Aline dengan kakinya hingga Aline terjatuh.
"Aline," Ode menatap nanar pada Mrs. Laura dan berjalan ke arah Aline yang kini duduk bersimpuh di atas karpet merah. Rambutnya yang hitam panjang dan berkilau terurai ke depan, menutupi mata dan separuh wajahnya yang kecil. Sudut bibir Aline bergerak-gerak merapatkan sesuatu. Aline tertawa kecil. Ia menengadah, melemparkan tatapan pada Mrs. Laura.
"Aline, kamu tidak apa-apa?"
Aline mengabaikan pertanyaan Ode.
"Anda benar, Mrs. Saya adalah orang gila."
Aline kembali berdiri, posisinya kini membelakangi Mrs. Laura. Aline memandang sekeliling ruangan Mrs. Laura dengan seksama, ia melihat Ode yang sedang menatapnya sambil menangis, kemudian Aline kembali memandang ke arah Mrs. Laura.
"Mungkin Anda belum tahu. Saya adalah orang gila yang membawa kotak hitam. Anda tidak akan tahu, kapan saya akan menunjukkan jati diri saya yang sebenarnya. Dan sekarang, karena perbuatan Anda, kotak hitam itu sedikit terbuka. Jadi, saya akan memperkenalkan kepada Anda. Inilah saya—si gila yang akan menunjukkan kebenaran kepada Anda."
Mrs. Laura menggeleng-gelengkan kepalanya. "Kau...."
Mrs. Laura mundur satu langkah saat Aline memainkan pulpen di mejanya.
"Sepertinya saya harus berterima kasih kepada Anda. Secara tidak langsung, Anda baru saja mengajari saya tentang sesuatu yang sangat penting—sebelum kamu mempermalukan diri sendiri, lakukanlah apa yang sebaiknya kamu lakukan—Anda sudah mengatakan hal yang benar untuk diri saya. Saya akan selalu mengingat kalimat Anda itu. Dan mulai hari ini, saya akan melakukan semua hal yang sebaiknya saya lakukan untuk masa depan saya. Mungkin, Anda juga akan memerlukan ini,"
Aline mengambil kertas yang tadi disodorkan Mrs. Laura. Gadis itu menuliskan sesuatu di sana.