Amira kira setelah menikah hidupnya akan bahagia tapi ternyata semua itu tak sesuai harapan. Ibu mertuanya tidak menyukai Amira, bukan hanya itu setiap hari Amira hanya dijadikan pembantu oleh mertua serta adik iparnya. Bahkan saat hamil Amira di tuduh selingkuh oleh mertuanya sendiri tidak hanya itu setelah melahirkan anak Amira pun dijual oleh ibu mertuanya kepada seorang pria kaya raya yang tidak memiliki istri. Perjuangan Amira begitu besar demi merebut kembali anaknya. Akankah Amira berhasil mengambil kembali anaknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Non Mey, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
mulai bekerja
Pagi itu, rumah Bu Ratna terasa lebih sunyi dari biasanya. Amira telah berangkat bekerja di laundry milik Bu Sari tanpa memberitahu siapa pun kecuali Angga. Ia sengaja tidak membicarakan hal itu kepada mertuanya, khawatir Bu Ratna tidak akan setuju.
Namun, kepergiannya mulai memicu kemarahan. Bu Ratna, yang terbiasa melihat Amira menyapu halaman atau mencuci piring sejak pagi, merasa ditinggalkan. Ketika menemukan dapur yang belum rapi dan pekerjaan rumah yang masih menumpuk, ia semakin kesal.
"Loli! Mana si Amira? Kenapa rumah masih berantakan seperti ini?" tanya Bu Ratna dengan nada tinggi.
Loli yang sedang asyik dengan ponselnya hanya mengangkat bahu. "Aku nggak tahu, Bu. Mungkin dia jalan-jalan entah ke mana."
Mendengar itu, Bu Ratna mendengus. "Kurang ajar! Sudah tinggal di rumah orang, masih saja malas. Mentang-mentang menantu, dia pikir bisa santai-santai?"
Seharian itu, suasana rumah dipenuhi dengan omelan Bu Ratna. Ia memarahi Loli karena tidak membantu, tetapi kemarahannya lebih banyak ditujukan pada Amira yang tidak terlihat sepanjang hari.
Saat matahari mulai tenggelam, Amira akhirnya pulang. Tubuhnya lelah setelah bekerja seharian, tetapi ia merasa puas karena hari itu ia berhasil membantu Bu Sari melayani pelanggan dengan baik.
Namun, begitu ia melangkah masuk ke dalam rumah, wajah Bu Ratna langsung berubah menjadi gelap.
"Amira!" seru Bu Ratna dengan nada tajam.
Amira terhenti, menatap mertuanya yang berdiri di ruang tengah dengan tangan di pinggang.
"Ke mana saja kamu seharian ini? Apa kamu pikir ini hotel yang bisa kamu tinggalkan sesuka hati?" lanjut Bu Ratna dengan suara meninggi.
Amira menundukkan kepala, mencoba menenangkan dirinya sebelum menjawab. "Maaf, Bu. Saya bekerja di laundry Bu Sari sejak pagi."
Ratna terbelalak. "Bekerja? Kamu ini menantu atau pembantu di rumah ini? Kalau memang mau bekerja, kenapa tidak bangun lebih pagi dan menyelesaikan pekerjaan rumah dulu? Kamu pikir saya ini mau jadi pembantu di rumah sendiri?"
Amira merasa darahnya mendidih, tetapi ia mencoba menahan emosinya. "Bu, saya ingin membantu Mas Angga menabung supaya kami bisa pindah rumah. Saya tidak bermaksud meninggalkan pekerjaan rumah, tapi pagi tadi saya benar-benar harus berangkat lebih awal."
Namun, penjelasan itu tidak meredakan kemarahan Bu Ratna. "Jadi kamu lebih memilih bekerja untuk orang lain daripada membantu di rumah ini? Kalau memang begitu, seharusnya kamu tidak usah menikah dengan Angga. Kami tidak butuh menantu yang hanya bisa mengeluh dan lari dari tanggung jawab!"
Di sudut ruangan, Loli hanya duduk sambil menonton drama di ponselnya. Ia sama sekali tidak menunjukkan kepedulian terhadap pertengkaran itu. Ketika Amira meliriknya, berharap mendapat dukungan, Loli hanya berpura-pura tidak mendengar.
Bu Ratna melanjutkan omelannya. "Besok, kalau kamu masih mau bekerja, bangun lebih awal! Selesaikan pekerjaan rumah dulu, termasuk masak lauk untuk makan seharian. Jangan biarkan saya yang repot mengurus semuanya!"
Amira mengangguk perlahan, meski hatinya terasa hancur. Ia tahu bahwa Bu Ratna tidak akan pernah mengerti perjuangannya.
Malam harinya, setelah Angga pulang kerja, Amira menceritakan semuanya dengan suara gemetar. Ia berharap Angga bisa membelanya atau setidaknya memberi solusi.
"Mas, aku sudah berusaha menjelaskan ke Ibu soal pekerjaanku, tapi Ibu malah marah. Katanya aku harus tetap mengurus pekerjaan rumah dulu sebelum berangkat kerja," kata Amira sambil menahan air mata.
Angga menghela napas panjang. Ia merasa terjebak di antara tanggung jawab sebagai anak dan suami. "Aku ngerti, Mira. Ibu memang sulit menerima perubahan. Dia terbiasa berpikir bahwa menantu itu harus fokus pada keluarga, bukan pekerjaan."
"Tapi, Mas, kalau aku terus seperti ini, kapan kita bisa menabung untuk pindah rumah? Aku ingin membantu, Mas. Aku ingin kita punya kehidupan yang lebih baik," kata Amira dengan nada putus asa.
Angga meraih tangan Amira, mencoba menenangkannya. "Aku akan bicara lagi dengan Ibu, Mira. Tapi kamu juga harus sabar. Aku tahu ini sulit, tapi aku yakin kita bisa melewatinya bersama."
Malam itu, Amira merenung. Ia tahu bahwa perjalanan ini tidak akan mudah, tetapi ia juga yakin bahwa dirinya tidak boleh menyerah. Amira memutuskan untuk membuktikan bahwa ia bisa menjalani pekerjaan dan tanggung jawab rumah tangga sekaligus, meski itu berarti harus mengorbankan lebih banyak waktu dan tenaga.
Ia percaya, suatu hari nanti, semua usahanya akan terbayar. Impian untuk hidup mandiri bersama Angga mungkin masih jauh, tetapi ia tidak akan berhenti berjuang untuk mencapainya.
Malam itu, Angga memutuskan bahwa sudah waktunya untuk berbicara tegas kepada ibunya. Ia tidak tahan lagi melihat Amira terus-menerus diperlakukan tidak adil. Setelah makan malam, Angga memanggil ibunya dan Loli ke ruang tamu.
"Bu, Loli, aku ingin kita bicara," kata Angga dengan nada serius.
Ratna dan Loli menatap Angga dengan penasaran, meskipun Loli terlihat malas-malasan sambil terus memegang ponselnya.
"Ada apa, Angga? Kamu terlihat serius sekali," tanya Ratna, melipat tangan di depan dada.
Angga menarik napas panjang, berusaha menjaga nada suaranya tetap tenang. "Aku ingin bicara soal Amira. Mulai sekarang, aku tidak ingin Ibu atau Loli menyuruh Amira melakukan semua pekerjaan rumah sendirian."
Mendengar itu, Loli langsung memutar bola matanya dengan malas. "Hah? Jadi kakak mau kita yang kerja? Memangnya Amira nggak bisa ngurus rumah? Bukannya itu tugas dia?"
Angga menggeleng tegas. "Tidak, Loli. Amira sekarang bekerja di laundry Bu Sari. Dia sudah cukup lelah setelah seharian membantu orang lain. Kalau ada yang harus membantu di rumah ini, itu kamu, Loli. Kamu nggak bekerja, nggak sekolah lagi, dan hanya menghabiskan waktu bermain ponsel."
Loli langsung memasang wajah tidak terima. "Kakak ini gimana sih? Aku ini adikmu, dan aku tinggal di rumah ini! Amira itu orang asing, dia yang harus mengurus semuanya! Bukannya aku!"
Ucapan Loli yang menyebut Amira sebagai "orang asing" membuat darah Angga mendidih. Ia tidak bisa lagi menahan amarahnya. Dalam sekejap, tangannya terangkat dan mendarat di pipi Loli dengan tamparan keras.
"ANGGA!" Ratna berseru kaget.
Loli memegang pipinya yang memerah, matanya penuh kemarahan dan air mata. "Kakak jahat! Cuma gara-gara dia!" teriaknya, menunjuk ke arah Amira yang berdiri terpaku di sudut ruangan.
Namun, Angga tidak menyesal. Ia menatap adiknya dengan tajam. "Dengar baik-baik, Loli. Amira bukan orang asing. Dia sekarang bagian dari keluarga kita. Sama seperti aku, dia kakakmu. Kamu harus menghormatinya!"
Loli tidak menjawab, tetapi air matanya mengalir deras. Dengan penuh emosi, ia berlari ke kamarnya dan membanting pintu keras-keras.
Bu Ratna menatap Angga dengan mata berapi-api. "Kamu sudah keterlaluan, Angga! Menampar adikmu hanya karena perempuan itu?"
"Maaf, Bu, tapi Loli sudah terlalu jauh!" jawab Angga dengan nada tinggi. "Amira tidak pantas diperlakukan seperti ini. Dia bekerja keras untuk membantu keluarga kami, tetapi Ibu dan Loli malah memperlakukannya seperti pembantu. Itu tidak adil!"
Ratna terdiam sejenak, terkejut mendengar keberanian Angga. Namun, ia segera membalas. "Angga, ini rumah Ibu! Dan Amira itu menantu, seharusnya dia tahu diri! Kalau dia tidak mau melakukan tugas rumah, buat apa dia tinggal di sini?"
Angga menggeleng, merasa kecewa. "Bu, justru karena ini rumah Ibu, kita harus saling mendukung. Amira tidak pernah meminta apa-apa. Dia bekerja untuk membantu tabungan kami supaya bisa pindah. Apa salahnya kalau Loli membantu sedikit di rumah?"
Ratna tidak menjawab, tetapi wajahnya menunjukkan bahwa ia tidak puas dengan penjelasan Angga.
Setelah suasana sedikit mereda, Amira mendekati Angga di kamar mereka. Ia menatap suaminya dengan mata berkaca-kaca.
"Mas, kenapa Mas sampai menampar Loli? Aku nggak ingin ada keributan seperti ini," kata Amira pelan.
Angga memegang tangan Amira dengan lembut. "Mira, aku tidak tahan lagi melihat mereka memperlakukanmu seperti itu. Loli sudah keterlaluan, dan aku harus menegurnya. Aku nggak mau kamu terus disakiti."
Amira menggeleng. "Tapi aku nggak ingin menjadi alasan keluarga Mas bertengkar."
Angga menarik napas panjang. "Kamu bukan alasan, Mira. Justru ini tentang mereka yang harus belajar menghormati orang lain. Aku nggak akan membiarkan siapa pun merendahkanmu, termasuk keluargaku sendiri."
Malam itu, meski suasana rumah masih tegang, Amira merasa ada sedikit kelegaan di hatinya. Ia tahu bahwa Angga benar-benar mendukungnya, bahkan berani menghadapi keluarganya demi membela dirinya.
Namun, ia juga sadar bahwa perjuangannya masih panjang. Bu Ratna dan Loli mungkin tidak akan berubah dengan cepat, tetapi Amira bertekad untuk tetap bersabar dan membuktikan bahwa dirinya layak mendapatkan tempat di keluarga ini.
Ia memandang Angga yang tertidur di sampingnya dan tersenyum kecil. "Aku nggak akan menyerah, Mas. Demi kita, aku akan bertahan," bisiknya pelan.