Hujan deras di tengah malam menyatukan langkah dua orang asing, Dasha dan Gavin di bawah payung yang sama. Keduanya terjebak di sebuah kafe kecil, berbagi cerita yang tak pernah mereka bayangkan akan mengubah hidup masing-masing.
Namun hubungan mereka diuji ketika masa lalu Gavin yang kelam kembali menghantui, dan rahasia besar yang disimpan Dasha mulai terkuak. Saat kepercayaan mulai retak, keduanya harus memilih menghadapi kenyataan bersama atau menyerah pada luka lama yang terus menghantui.
Mampukah Dasha dan Gavin melawan badai yang mengancam hubungan mereka? Ataukah hujan hanya akan menjadi saksi bisu sebuah perpisahan?
Sebuah kisah penuh emosi, pengorbanan, dan perjuangan cinta di tengah derasnya hujan. Jangan lewatkan perjalanan mereka yang menggetarkan hati.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ika Putri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24
Hari ini menjadi hari yang istimewa bagi keluarga Gavin. Setelah minggu lalu Gavin terlalu sibuk dengan pekerjaan, akhirnya ia memutuskan untuk meluangkan waktu khusus bersama Nathan dan Dasha. Nathan sudah sejak lama ingin menonton pertandingan kuda, dan Gavin tahu betapa anaknya telah menanti momen ini.
Pagi itu, Gavin bangun lebih awal. Ia memastikan semuanya siap tiket pertandingan, camilan favorit Nathan, dan tempat duduk yang nyaman untuk Dasha, yang kini sedang mengandung. Ia ingin memastikan semuanya sempurna untuk keluarganya.
"Nathan, ayo cepat! Kita tidak mau ketinggalan pertandingan, kan?" panggil Gavin sambil tersenyum.
Nathan berlari keluar dari kamarnya dengan wajah penuh semangat, mengenakan kaus bergambar kuda. "Aku sudah siap, Dad! Aku tidak sabar melihat kudanya bermain!" katanya sambil melompat-lompat kegirangan.
Dasha keluar dari kamar dengan senyum lembut, satu tangannya mengelus perutnya yang mulai terlihat membesar. "Aku senang akhirnya kita bisa pergi bersama hari ini," katanya kepada Gavin.
Di perjalanan menuju arena pertandingan, Gavin dan Nathan bercanda tentang tim favorit mereka, sementara Dasha duduk nyaman, menikmati kebahagiaan sederhana bersama keluarganya.
Setibanya di arena, Nathan tampak sangat antusias. Matanya berbinar-binar melihat kuda-kuda besar yang linca dan mencetak poin. Gavin menggendong Nathan agar ia bisa melihat lebih jelas, sementara Dasha duduk di kursi penonton khusus, tersenyum melihat keakraban suami dan anaknya.
"Wow, Dad! Kudanya keren banget! Aku mau jadi pemain kuda kalau sudah besar!" seru Nathan dengan penuh semangat.
Gavin tertawa dan mengusap kepala Nathan. "Kalau begitu, kamu harus belajar kerja keras seperti mereka. Tapi ingat, apa pun yang kamu pilih, aku akan selalu mendukungmu."
Hari itu penuh dengan tawa, sorakan, dan kebahagiaan. Bagi Dasha, melihat Gavin meluangkan waktu untuk Nathan dan dirinya adalah hal yang paling berarti. Gavin menyadari betapa pentingnya momen seperti ini momen kecil yang mempererat hubungan mereka sebagai keluarga.
Di akhir pertandingan, Nathan tak henti-hentinya bercerita tentang aksinya nanti sebagai pemain basket kuda, membuat Gavin dan Dasha tertawa sepanjang perjalanan pulang. Hari itu bukan hanya tentang pertandingan, tapi tentang cinta dan kehangatan keluarga yang selalu mereka jaga.
Jangan Heran dengan panggilan Nathan yang berbeda-beda kepada orang tua nya, sebab dia saat ini ada difase yang ingin memanggil orang tua nya mengikuti temannya jadi Gavin dan Dasha pun membiarkan hal tersebut selama masih sopan dan wajar.
.
.
.
.
.
Sesampainya di rumah, Nathan masih penuh energi. Ia meminta sang Daddy itu mengambil kuda kecilnya dan mulai bermain di halaman, mencoba menirukan gerakan kuda-kuda yang dilihatnya tadi. Gavin memutuskan untuk bergabung, mengajaknya bermain sambil sesekali mengajarkan teknik sederhana.
"Kalau mau jadi pemain kuda, kamu harus belajar keseimbangan dulu, Nak," kata Gavin sambil mendemonstrasikan gerakan sederhana. Nathan mengangguk serius, lalu mencoba mengikuti, meskipun bola lebih sering memantul ke arah yang salah.
Dasha, yang duduk di kursi taman sambil menikmati udara sore, tersenyum melihat kedua pria dalam hidupnya begitu akrab. Tangannya sesekali mengelus perutnya, membayangkan betapa lengkapnya keluarga kecil ini nantinya dengan kehadiran bayi mereka.
"Gavin," panggil Dasha lembut. "Kamu hebat hari ini. Terima kasih sudah meluangkan waktu untuk Nathan. Aku tahu ini sangat berarti baginya, juga untukku."
Gavin berjalan mendekat, mengusap pundaknya dengan penuh kasih. "Kamu dan Nathan adalah prioritasku, Sha. Aku mungkin sibuk, tapi aku tidak akan pernah lupa apa yang benar-benar penting."
Malam itu, setelah makan malam bersama, mereka berkumpul di ruang keluarga. Nathan tidak henti-hentinya menceritakan detail pertandingan tadi, bahkan mencoba menggambar salah satu kuda favoritnya di buku sketsa kecil. Gavin dan Dasha mendukung penuh imajinasinya, meskipun gambar Nathan lebih mirip bola dengan empat kaki.
Ketika waktu tidur tiba, Gavin mengantar Nathan ke kamarnya. Sebelum menutup mata, Nathan memeluk Gavin erat dan berkata, "Dad, aku sayang kamu. Terima kasih sudah ajak aku hari ini."
Kata-kata sederhana itu menyentuh hati Gavin. "Aku juga sayang kamu, Nak. Jangan pernah ragu untuk bilang apa yang kamu mau, ya? Aku akan selalu mencoba ada untukmu."
Setelah Nathan tertidur, Gavin kembali ke kamar dan menemukan Dasha sudah berbaring, tersenyum lembut. Ia bergabung di sampingnya, memegang tangan Dasha dengan penuh rasa syukur.
"Kita beruntung memiliki Nathan," kata Dasha dengan suara pelan.
Gavin mengangguk, menatap perut Dasha yang mulai membesar. "Dan sebentar lagi, kita akan punya satu lagi. Aku tidak sabar melihat keluargaku tumbuh."
Di bawah sinar lampu tidur yang temaram, mereka berbagi kehangatan sebagai pasangan dan orang tua. Hari itu adalah pengingat manis bahwa cinta, keluarga, dan momen sederhana bersama adalah hal yang paling berharga dalam hidup.
.
.
.
.
Keesokan harinya, Nathan bangun lebih awal dari biasanya. Ia begitu bersemangat untuk pergi ke taman kanak-kanak dan berbagi pengalaman serunya menonton pertandingan basket kuda dengan teman-temannya. Setelah sarapan cepat bersama Gavin dan Dasha, ia mengenakan seragam sekolahnya dan memeluk mereka sebelum berangkat.
Saat tiba di sekolah, Nathan langsung bergabung dengan teman-temannya di area bermain. Wajahnya penuh antusiasme, dan ia tidak bisa menahan diri untuk mulai bercerita.
"Kalian tahu nggak? Kemarin aku nonton pertandingan kuda!" serunya dengan mata berbinar-binar.
Beberapa temannya tampak bingung. "kuda? Maksudnya pertandingan kuda?" tanya salah satu temannya, Mia, dengan alis terangkat.
"Iya! Kudanya besar-besar" jelas Nathan, sambil mencoba menirukan gaya kuda melompat.
"Wow, keren banget!" seru teman lainnya, Arka. "Aku nggak pernah tahu ada pertandingan kuda. Mereka belajar dari mana, ya?"
Nathan mengangguk penuh percaya diri. "Aku nggak tahu, tapi mereka hebat banget! Aku bahkan mau jadi pemain kuda kalau sudah besar!"
Guru mereka, Bu Lisa, yang mendengar percakapan itu, tersenyum dan mendekat. "Nathan, apa kamu mau ceritakan pengalamanmu kepada seluruh kelas nanti?"
Nathan langsung mengangguk dengan semangat. "Mau, Bu!"
Ketika waktu bercerita tiba, Nathan berdiri di depan kelas dengan bangga. Ia menceritakan setiap detail pertandingan, mulai dari bagaimana kuda-kuda berlari di lapangan, mencetak poin, hingga bagaimana ia dan ayahnya bersorak mendukung tim favorit mereka.
"Dan kalian tahu apa? Setelah itu aku menunggangi kuda sama ayahku di rumah. Dia bilang aku harus belajar keseimbangan dulu kalau mau jadi pemain kuda!" katanya dengan senyum lebar.
Seluruh kelas tertawa mendengar ceritanya. Bahkan Bu Lisa tak bisa menahan senyum melihat antusiasme Nathan.
"Keren sekali, Nathan," kata Bu Lisa. "Kamu hebat sekali menceritakan pengalamanmu. Siapa tahu, suatu hari nanti kamu benar-benar bisa jadi pemain basket kuda!"
Sepulang sekolah, Nathan berlari keluar dengan wajah ceria, langsung memeluk Gavin yang menjemputnya.
"Dad, teman-temanku suka banget cerita aku! Mereka bilang aku harus jadi pemain kuda sungguhan!"
Gavin tertawa dan mengusap kepala Nathan. "Tentu saja, Nak. Kalau kamu mau, aku akan selalu mendukungmu."
Hari itu, Nathan pulang dengan hati yang penuh kebahagiaan, membawa semangat baru untuk mewujudkan impiannya, sementara Gavin dan Dasha merasa bangga melihat anak mereka tumbuh menjadi pribadi yang percaya diri dan ceria.