800 setelah perang nuklir dahsyat yang melibatkan Amerika Serikat, Rusia, dan Tiongkok, dunia telah berubah menjadi bayangan suram dari masa lalunya. Peradaban runtuh, teknologi menjadi mitos yang terlupakan, dan umat manusia kembali ke era primitif di mana kekerasan dan kelangkaan menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari.
Di tengah reruntuhan ini, legenda tentang The Mockingbird menyebar seperti bisikan di antara para penyintas. Simbol harapan ini diyakini menyimpan rahasia untuk membangun kembali dunia, namun tak seorang pun tahu apakah legenda itu nyata. Athena, seorang wanita muda yang keras hati dan yatim piatu, menemukan dirinya berada di tengah takdir besar ini. Membawa warisan rahasia dari dunia lama yang tersimpan dalam dirinya, Athena memulai perjalanan berbahaya untuk mengungkap kebenaran di balik simbol legendaris itu.
Dalam perjalanan ini, Athena bergabung dengan kelompok pejuang yang memiliki latar belakang & keyakinan berbeda, menghadapi ancaman mematikan dari sisa-s
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Doni arda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9: Di Ambang Harapan dan Ketakutan
Malam di Hakar seakan menggigil oleh hembusan angin dingin yang membawa aroma asap dan darah. Athena duduk di sudut ruangan yang remang-remang, menatap api kecil yang berkeretak di tungku. Di luar, suara tangisan seorang ibu terdengar lirih, memecah keheningan. Tangisan itu berasal dari seorang wanita yang anaknya diambil oleh Militer Timur sebagai "jaminan ketertiban."
Athena mengepalkan tangan. Perasaan bersalah membebani dirinya, meskipun ia tahu bahwa serangan terhadap gudang penyimpanan adalah langkah yang perlu. Ia mulai meragukan keputusan yang telah diambilnya. Apakah ia benar-benar membantu, atau justru membawa lebih banyak penderitaan?
Varek menghampirinya, menepuk pundaknya dengan lembut. "Kau tidak bisa menyelamatkan semua orang, Nak," katanya dengan nada rendah. "Tapi kau bisa memberi mereka sesuatu yang lebih besar dari ketakutan—harapan."
Athena mengangguk, tetapi hatinya tetap gelisah. Di tengah rasa bersalah itu, sebuah ketukan keras di pintu membuyarkan pikirannya.
---
Sila masuk dengan tergesa-gesa, wajahnya pucat. "Mereka datang," katanya terengah-engah.
Athena berdiri. "Siapa?"
"Konvoi Militer Timur. Mereka membawa lebih banyak pasukan dan perlengkapan berat. Mereka tidak datang hanya untuk mencari pemberontak. Mereka akan menghancurkan kota ini."
Kata-kata itu seperti tombak yang menusuk jantung Athena. Ia menatap Sila, mencoba memastikan bahwa itu bukan sekadar rumor.
"Mereka tidak ingin hanya menghukum kita," lanjut Sila. "Mereka ingin menjadikan Hakar contoh bagi kota-kota lain."
---
Athena dan para pemberontak lainnya segera berkumpul di tempat persembunyian. Peta kecil kota Hakar terhampar di atas meja kayu yang goyah.
"Mereka punya tank kecil, senjata berat, dan setidaknya satu peleton penuh," kata Karos sambil menunjuk rute yang akan dilalui pasukan musuh. "Dengan kekuatan itu, mereka bisa meratakan Hakar dalam hitungan jam."
"Kalau begitu, kita harus menghentikan mereka sebelum mereka sampai ke sini," jawab Athena.
Karos tertawa pendek, penuh sinisme. "Dan bagaimana kau berencana melakukannya? Kita bahkan tidak punya cukup senjata untuk melawan setengah dari mereka."
Athena menatap peta dengan serius. "Kita tidak perlu mengalahkan mereka. Kita hanya perlu memperlambat mereka."
Varek memandangnya penuh tanda tanya. "Apa yang kau maksud?"
"Kita jebak mereka," kata Athena, matanya menyala dengan tekad. "Jalan menuju Hakar melewati jurang sempit di sisi utara. Jika kita bisa memblokir jalan itu, mereka tidak akan bisa maju."
"Dan bagaimana kita melakukannya tanpa senjata berat?" tanya Sila.
"Kita punya bahan peledak dari gudang penyimpanan," jawab Athena. "Kita bisa menggunakannya untuk menjatuhkan tebing di atas jalan."
---
Malam itu juga, Athena memimpin tim kecil menuju jurang utara. Mereka membawa bahan peledak yang tersisa dari gudang penyimpanan, bergerak dengan cepat dan diam di bawah naungan kegelapan.
Namun, perjalanan itu tidak mudah. Mereka harus melewati hutan yang penuh bahaya, termasuk ranjau yang ditinggalkan dari perang besar berabad-abad lalu. Suara ranting patah di bawah kaki mereka terasa seperti dentuman yang memecah keheningan, membuat mereka tegang setiap saat.
Ketika mereka mencapai jurang, fajar hampir menyingsing. Jalan yang akan dilalui pasukan Militer Timur terbentang seperti ular, dikelilingi tebing curam di satu sisi dan jurang dalam di sisi lainnya.
"Kita harus bekerja cepat," kata Athena, membagi tugas pada kelompoknya.
Mereka mulai memasang bahan peledak di sepanjang tebing. Namun, suara gemuruh dari kejauhan membuat mereka berhenti.
"Mereka sudah dekat," bisik Karos, wajahnya tegang.
---
Pasukan Militer Timur tiba lebih cepat dari yang mereka perkirakan. Suara deru mesin dan langkah kaki yang berbaris menggema di udara. Athena menyadari bahwa mereka tidak punya cukup waktu untuk menyelesaikan pemasangan bahan peledak.
"Pasang apa yang bisa kita pasang," perintah Athena dengan suara tegas. "Dan sisanya, kita lakukan secara manual!"
Sila dan Karos bekerja dengan panik, sementara Athena mempersiapkan senjatanya. Ia tahu bahwa mereka harus menahan pasukan cukup lama untuk membuat rencana ini berhasil.
Ketika pasukan musuh mendekat, tembakan pertama dilepaskan oleh pemberontak. Ledakan kecil meletus di dekat barisan depan musuh, membuat mereka berhenti sejenak.
"Serang mereka!" teriak seorang perwira musuh, memerintahkan pasukannya maju.
Athena dan kelompoknya bersembunyi di balik batu-batu besar, melepaskan tembakan seadanya untuk mengulur waktu. Namun, jumlah mereka jauh lebih sedikit dibandingkan pasukan Militer Timur.
"Athena!" teriak Sila. "Bahan peledak sudah siap, tapi kita harus menyalakannya dari jarak dekat!"
Athena menatap Sila, lalu ke arah pasukan musuh yang semakin dekat. Ia tahu apa yang harus dilakukan, meskipun itu berarti mempertaruhkan nyawanya.
"Kalian pergi!" perintah Athena. "Aku akan menyalakannya!"
"Tidak mungkin!" protes Karos.
"Tidak ada waktu untuk debat!" balas Athena. "Pergi sekarang, atau semuanya akan sia-sia!"
---
Athena menunggu sampai kelompoknya pergi sebelum ia merangkak ke posisi bahan peledak. Tembakan dari pasukan musuh terus menghujani tempat persembunyiannya, tetapi ia tetap bergerak maju.
Ketika ia mencapai bahan peledak, jarak antara dirinya dan pasukan musuh sudah terlalu dekat. Dengan tangan gemetar, ia menyalakan sumbu dan berlari sekuat tenaga menjauh dari tempat itu.
Ledakan besar mengguncang bumi, menjatuhkan tebing ke jalan di bawahnya. Jeritan terdengar dari pasukan musuh yang tertimpa reruntuhan, sementara debu tebal menyelimuti udara.
Athena terjatuh di tanah, napasnya tersengal-sengal. Telinganya berdenging akibat ledakan, tetapi ia tahu bahwa mereka berhasil. Jalan menuju Hakar kini tertutup, setidaknya untuk sementara waktu.
Ketika Athena kembali ke Hakar, ia disambut dengan keheningan yang penuh emosi. Penduduk dan pemberontak lainnya menatapnya dengan campuran rasa kagum dan ketakutan.
"Kau hampir mati," kata Varek, suaranya bergetar.
"Tapi aku masih hidup," jawab Athena. "Dan kita baru saja memenangkan satu pertempuran. Perang ini masih panjang."
Athena tahu bahwa perjuangan mereka belum selesai. Namun, untuk pertama kalinya, ia merasa bahwa mereka punya peluang untuk melawan. Dan itu adalah sesuatu yang tidak pernah mereka miliki sebelumnya: harapan.