Deskripsi:
Di sebuah ruang sunyi yang dihiasi mawar merah dan lilin-lilin berpendar redup, seorang pengantin dengan gaun merah darah duduk dalam keheningan yang mencekam. Wajahnya pucat, matanya mengeluarkan air mata darah, membawa kisah pilu yang tak terucap. Mawar-mawar di sekelilingnya adalah simbol cinta dan tragedi, setiap kelopaknya menandakan nyawa yang terenggut dalam ritual terlarang. Siapa dia? Dan mengapa ia terperangkap di antara cinta dan kutukan?
Ketika seorang pria pemberani tanpa sengaja memasuki dunia yang tak kasat mata ini, ia menyadari bahwa pengantin itu bukan hanya hantu yang mencari pembalasan, tetapi juga jiwa yang merindukan akhir dari penderitaannya. Namun, untuk membebaskannya, ia harus menghadapi kutukan yang telah berakar dalam selama berabad-abad.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Doni arda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 9: UJIAN DI KUIL GELAP
Pintu batu yang berat tertutup di belakang mereka dengan bunyi gemuruh yang memekakkan telinga. Jalan masuk ke kuil bawah tanah itu kini menjadi satu-satunya jalur menuju apa yang mungkin menjadi penyelamat mereka—atau akhir dari perjalanan ini. Udara di dalam kuil terasa lebih dingin dari yang mereka bayangkan, dengan aroma tanah basah dan besi yang memenuhi setiap sudut ruang sempit itu.
Vera menyalakan obor yang dia bawa, cahayanya menerangi sedikit demi sedikit ukiran-ukiran yang menempel di dinding batu. Setiap ukiran seolah bercerita, menggambarkan perang yang sudah lama terjadi antara manusia dan kegelapan. Namun, semakin jauh mereka melangkah, ukiran-ukiran itu berubah, menjadi lebih kelam dan penuh dengan kekerasan. Gambar manusia yang disiksa, roh-roh yang terperangkap, dan makhluk mengerikan yang tak bisa didefinisikan dengan kata-kata.
"Ini lebih buruk dari yang kubayangkan," Vera bergumam, mengusap bagian dinding yang menggambarkan manusia berubah menjadi makhluk bayangan. "Ini adalah cerita tentang mereka yang gagal melewati ujian di sini."
"Ujian?" Arjuna bertanya dengan nada gugup. "Apa maksudmu?"
"Gerbang ini bukan hanya sekadar pintu fisik," Raka menjelaskan. Dia berdiri di depan kelompok itu, stafnya menyala redup dengan cahaya biru. "Ini adalah perbatasan antara dunia manusia dan dunia lain. Setiap orang yang mencoba menutup gerbang ini harus melalui ujian, bukan hanya dari tubuh mereka, tetapi juga dari jiwa mereka."
"Dan kalau kita gagal?" Arjuna melanjutkan, meskipun dia tahu jawabannya tidak akan menyenangkan.
Maya menatapnya dengan serius. "Kalau kita gagal, kita tidak hanya mati. Jiwa kita akan terperangkap di sini, menjadi bagian dari kuil ini, seperti mereka." Dia menunjuk ke salah satu ukiran yang menggambarkan wajah-wajah manusia yang terjerat di dalam dinding, ekspresi mereka penuh rasa sakit dan ketakutan.
---
Setelah beberapa menit berjalan di lorong yang semakin sempit, mereka tiba di sebuah ruangan besar yang terbuka. Langit-langitnya tinggi, dengan cahaya samar dari kristal-kristal yang menggantung di atas mereka. Namun, yang membuat mereka semua tertegun adalah empat pintu besar yang berada di sisi ruangan itu. Masing-masing pintu memiliki simbol berbeda di atasnya: seekor ular, seekor burung hantu, sebuah matahari hitam, dan sebuah tangan yang menggenggam belati.
"Ini pasti bagian dari ujian itu," Dimas berkata, menatap pintu-pintu tersebut dengan penuh perhatian.
"Tapi bagaimana kita tahu pintu mana yang harus kita pilih?" tanya Arjuna, mencoba membaca simbol-simbol itu.
Raka melangkah ke tengah ruangan, menatap keempat pintu itu dengan ekspresi penuh pertimbangan. "Kita tidak bisa memilih secara acak. Setiap pintu membawa kita pada ujian yang berbeda. Kita harus memahami apa yang disimbolkan oleh pintu-pintu ini."
Vera maju ke depan, mengamati simbol-simbol itu lebih dekat. "Ular biasanya melambangkan pengkhianatan atau tipu daya. Burung hantu adalah simbol kebijaksanaan, tetapi juga sering dikaitkan dengan kematian. Matahari hitam... itu pasti simbol kehancuran. Dan tangan dengan belati? Itu mungkin ujian kekuatan fisik."
"Kalau begitu, kita harus memilih yang paling bisa kita atasi," Maya menyarankan. "Tapi bagaimana kalau masing-masing dari kita harus masuk ke pintu yang berbeda?"
Sebuah suara tiba-tiba menggema di ruangan itu, suara dalam yang tidak berasal dari salah satu dari mereka. "Pilih dengan bijak. Setiap pintu membawa ujian yang sesuai dengan hatimu. Tidak ada jalan kembali."
Ruangan itu mulai bergetar, dan keempat pintu mulai bersinar dengan cahaya yang berbeda. Satu per satu, mereka merasa tertarik ke arah pintu tertentu, seolah-olah sesuatu yang tidak terlihat memanggil jiwa mereka.
"Kita harus berpisah," kata Raka dengan nada tegas. "Ini sudah ditentukan."
---
Arjuna melangkah ke arah pintu dengan simbol matahari hitam. Dia merasa tubuhnya bergerak sendiri, seolah-olah pintu itu benar-benar memanggilnya. Saat dia melewati pintu itu, dia tiba di sebuah ruangan gelap dengan hanya satu sumber cahaya di tengahnya—sebuah cermin besar.
Ketika dia mendekati cermin itu, bayangannya sendiri berubah. Wajahnya tampak lebih tua, penuh luka, dan matanya memancarkan kebencian yang mendalam. Bayangan itu mulai berbicara, suaranya seperti gema dari dalam hatinya.
"Kau tidak bisa melindungi mereka," bayangan itu berkata. "Kau bahkan tidak bisa melindungi dirimu sendiri. Kau hanya beban bagi mereka."
"Itu tidak benar," Arjuna membantah, meski suaranya terdengar tidak yakin. "Aku di sini karena aku ingin menghentikan semua ini."
Bayangan itu tertawa, dingin dan menusuk. "Kau tidak ingin menyelamatkan siapa pun. Kau hanya ingin menyelamatkan dirimu sendiri dari rasa bersalah. Kau tahu itu benar."
Arjuna mencoba menghindar dari cermin itu, tetapi ruangan tersebut mulai berputar, membuatnya sulit untuk tetap berdiri. Dia merasa seolah-olah seluruh ketakutan dan keraguan dalam dirinya mulai menyerangnya.
"Kau harus menghadapinya," sebuah suara lembut terdengar, suara yang asing tetapi menenangkan. "Ketakutanmu adalah musuh terbesarmu. Jika kau lari, kau akan terjebak di sini selamanya."
Dengan sisa keberaniannya, Arjuna berbalik, menatap cermin itu dengan tegas. "Aku mungkin takut. Aku mungkin tidak cukup kuat. Tapi aku tidak akan berhenti. Aku akan berjuang."
Bayangannya di cermin tersenyum tipis, lalu menghilang. Ruangan itu menjadi terang, dan pintu keluar muncul di hadapannya.
---
Sementara itu, Vera masuk ke pintu dengan simbol burung hantu. Dia mendapati dirinya di sebuah hutan gelap dengan pohon-pohon besar yang tampak hidup. Suara-suara berbisik terdengar dari segala arah, seperti ribuan roh yang berbicara sekaligus.
Di tengah hutan itu, dia melihat sebuah meja kecil dengan sebuah buku tua di atasnya. Ketika dia mendekati meja itu, buku itu terbuka dengan sendirinya, menampilkan halaman yang penuh dengan simbol-simbol kuno.
"Ini pasti petunjuk," pikirnya. Tapi saat dia mencoba membaca simbol-simbol itu, suara-suara bisikan semakin keras, dan cahaya di sekitarnya mulai redup.
"Apakah kau yakin bisa memahami ini, Vera?" suara lain terdengar, suaranya tajam dan penuh ejekan. "Bukankah selama ini kau hanya menggunakan orang lain untuk mencapai tujuanmu?"
"Tidak! Aku melakukan ini untuk menyelamatkan dunia!" Vera berteriak, meskipun di dalam hatinya, dia tahu ada kebenaran dalam kata-kata itu.
Buku itu tiba-tiba menyala, dan simbol-simbol di dalamnya mulai melompat keluar, mengelilinginya. Mereka berubah menjadi bentuk bayangan yang menyerangnya dari segala arah. Dengan belatinya, Vera melawan, tetapi setiap kali dia menebas satu bayangan, yang lain muncul.
"Kau harus memahami kebenaran dalam dirimu," sebuah suara lembut terdengar. "Hanya dengan menerima siapa dirimu, kau bisa melanjutkan perjalanan ini."
Dengan napas terengah, Vera menutup matanya dan berkata, "Aku mungkin egois, tapi aku tidak akan berhenti. Aku akan menyelesaikan ini, apapun risikonya."
Bayangan itu menghilang, dan cahaya muncul dari buku itu, membuka jalan ke pintu keluar.
---
Sementara Arjuna dan Vera menghadapi ujian masing-masing, Maya, Raka, dan Dimas juga berada dalam perjalanan mereka sendiri di balik pintu-pintu lain. Setiap dari mereka dihadapkan pada ketakutan, keraguan, dan rasa bersalah yang mendalam.
Namun, mereka tidak menyadari bahwa di balik ujian ini, sesuatu yang lebih gelap sedang menunggu. Kuil itu bukan hanya tempat ujian, tetapi juga perangkap. Dan seseorang di antara mereka menyimpan rahasia yang bisa mengubah segalanya.
Di dalam bayang-bayang kuil, sebuah suara tertawa kecil, menunggu momen untuk muncul. "Semuanya sesuai rencana," suara itu berbisik.