"Biarkan sejenak aku bersandar padamu dalam hujan badai dan mati lampu ini. Aku tidak tahu apa yang ada dalam hatiku, aku hanya ingin memelukmu ..."
Kata-kata itu masih terngiang dalam ingatan. Bagaimana bisa, seorang Tuan Muda Arogan dan sombong memberikan hatinya untuk seorang pelayan rendah seperti dirinya? Namun takdirnya adalah melahirkan pewarisnya, meskipun cintanya penuh rintangan dan cobaan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Susi Ana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
25. Masa Kritis
Kakek Arlan terus-menerus menguap. Beliau mendengarkan obrolan cucunya bersama Lou sambil terkantuk-kantuk. Kadang kala mata tuanya nggak sanggup lagi terbuka. Dan beliau pun tertidur dalam duduknya. Sementara Helena berbincang-bincang dengan asyiknya. Lou pun menanggapinya dengan senang hati. Gadis cantik yang belia dihadapan nya ini benar-benar sangat menyenangkan. Mampu membuat dirinya melupakan rasa sakit di sekujur tubuhnya.
"Kenapa kakak sampai terluka begini? Aku kira, kakak sudah nggak bisa kami selamatkan. Di sini pedalaman, jauh dari Rumah Sakit. Kendaraan pun sulit kami jangkau."
Awalnya Helena ingin mengorek informasi penyebab Lou terkapar dengan luka yang sangat parah di sekujur tubuhnya. Yang ditanya, sedikit melamun. Karena Lou, seperti mendengar Omelan sahabat dekatnya. Tapi dia lupa namanya. Saat memikirkan siapa orang itu, rasa sakit di kepalanya sudah nggak muncul lagi.
"Ng...." Lou hanya menatap bingung ke arah Helena. Dia tidak fokus pada pertanyaan yang diajukan oleh gadis yang duduk tenang di sisinya. Sedangkan Kakek Arlan mendengkur sambil bersandar di kursi tuanya.
"Ada apa kak? Apakah pertanyaan ku tidak bisa dijawab?" Tanya Helena yang menatapnya balik.
"Maaf, adik. Apa pertanyaan nya? Tadi kakak mencoba mengingat sesuatu. Dan anehnya, kepalaku sudah nggak sakit lagi."
Lou menggaruk-garuk kepalanya, dia merasa senang sekaligus bingung. Meskipun nggak sakit, tapi otaknya masih blank. Belum bisa mengingat apapun tentang kehidupan nya maupun jati dirinya. Pikirannya masih kosong. Dan ada suara yang samar-samar dia dengar tiap kali dia mengingat dirinya. Dan dia, ingin tahu siapa orang itu?
"Mungkin kakak hanya syok sesaat. Kek!! Kakek!!"
Helena langsung menubruk sang Kakek yang terlelap di kursi. Kakek Arlan pun geragapan mendapati tingkah konyol cucunya yang menubruknya dengan keras. Bahkan suara panggilan nya begitu kencang, seolah terjadi gempa bumi. Kakek pun mengucek-ucek mata tuanya yang sulit dibuka.
"Ng...? Ada apa lagi, Helena? Kakek ngantuk sekali."
Jawab Kakek Arlan yang berusaha bangun. Helena pun bersimpuh di kaki kakeknya. Meminta maaf, karena sudah membuat kaget kakeknya. Lou pun nggak menyangka, jika gadis belia nan cantik itu suka sekali menggoda kakeknya.
"Kakak sudah nggak sakit kepala lagi kek. Katanya, samar-samar dia ingat kehidupannya!!"
Jawab Helena yang bicara dengan nada girang meletup-letup. Membuat sang Kakek langsung bangkit dari duduknya. Beliau menyentuh dahi Lou dan melihat luka baru yang sedikit mengeluarkan darah.
"Ambilkan buburnya, Helena. Suruh dia makan, lalu minum obatnya. Malam ini, jangan sampai dia demam. Jika demam, takutnya luka yang di derita infeksi!"
Kakek Arlan yang sedikit mengantuk, berubah cemas. Sehingga rasa kantuknya hilang. Lou dan Helena menatap kebingungan. Kakek pun mengulangi perintahnya lagi.
"Cepat, Helena!! Jika Lou demam, bisa gawat!!"
Perintah sang Kakek dengan tegas. Belum lama rasa tenang mereka rasakan, kini rasa cemas melanda mereka semua. Lou pun merasa bersalah.
"Maafkan aku kek. Aku nggak apa-apa kok," kata Lou yang melihat Kakek Arlan mondar-mandir di dekatnya.
"Malam ini adalah masa kritismu, Lou. Jangan sampai kau demam. Tunggu sebentar...."
Kakek Arlan pergi sejenak, menuju dapur. Di sana, beliau melihat cucunya sibuk membuatkan bubur lagi. Karena bubur yang dia buat tadi pagi sudah rusak. Kakek pun mencari tanaman obat, penghilang demam. Beliau merebusnya ke dalam kuali.
"Biar Lena yang buat kek. Kakek kembali lah, jangan sampai kak Lou kenapa-kenapa."
Helena tampak mencemaskan pemuda tampan itu. Dan kakeknya nya mengerti. Tanpa basa-basi, kakeknya mengangguk dan kembali ke ruang tamu. Helena langsung membuat bubur dan merebus obatnya dalam dua tungku.
"Kakek sangat lelah karena diriku. Bagaimana caraku membalas semua ini kek?" Tanya Lou dengan wajah bersalah.
"Jangan pikirkan hal itu. Yang penting, badanmu malam ini baik-baik saja, itu sudah cukup bagiku. Ucapan adikmu benar, di sini jauh dari Rumah Sakit. Kendaraan pun sulit di dapat. Jadi, bertahanlah malam ini."
Balas Kakek Arlan dengan serius, tatapan mata beliau sangat tajam. Kemudian, beliau mengambil ramuan dan mengoleskannya lagi pada bekas luka yang ada di tubuh Lou. Lou menahan nyeri dan perih, akibat olesan itu. Dia pun meringis tanpa bersuara.
"Ini buburnya kek...."
Helena datang dengan baki di tangan. Dia membawa dua mangkok bubur dan rebusan ramuan. Lagi-lagi, Lou mundur. Mungkinkah dia harus minum ramuan itu lagi? Terlihat jelas wajah takutnya saat melihat Helena meletakkan baki itu di atas meja.
"Ayo, makanlah buburnya selagi panas. Agar tubuhmu hangat, dan angin tidak bisa masuk. Kemudian, minum ramuan pencegah demamnya!"
Perintah Kakek Arlan yang menyodorkan semangkok bubur itu. Dan semangkok lagi, beliau makan. Helena pun membawa semangkok lagi untuk dirinya sendiri.
"Kita makan bersama kak. Aku belum pernah makan bersama orang asing. Hanya ada aku dan Kakek saja di gubuk ini."
Ucapan Helena mampu menghibur ketakutan Lou pada ramuan itu. Ya, dia akan menikmati makan bubur bersama mereka. Urusan minum ramuan, nanti saja. Lou akan gembira menyantap bubur buatan gadis cantik yang sangat lezat. Kapan lagi dia bisa menikmati nya? Saat dia kembali ke kota, dia akan kembali menikmati makanan di warung nasi.
"Apakah ayah dan ibumu sudah meninggal, adik?"
Pertanyaan yang mendadak itu, mengagetkan Helena dan kakeknya. Mereka menghentikan sejenak makannya. Helena pun menatap sang Kakek, dan bergantian menatap Lou.
"Aku nggak tahu, kak." Jawabnya sambil menunduk sedih. Lou pun merasa bersalah.
"Maaf...."
Mulut Lou terasa keluh. Dia menyesal, sudah menanyakan hal itu. Dia nggak tahu, jika pertanyaan nya akan membuat mereka bersedih. Kakek Arlan yang tampak serius dan kadang suka menggoda, berubah diam. Ketiganya menikmati makan bubur tanpa bersuara lagi. Helena langsung membawa mangkok kotor itu ke dapur. Terdengar desahan berat dari mulut Kakek Arlan.
"Kedua orang tuanya hilang tanpa jejak." Jawab Beliau sambil menyodorkan ramuan ke Lou.
Dengan enggan, Lou terpaksa menerima cangkir ramuan itu dan langsung meneguknya. Rasa pahit, membuatnya ingin muntah. Tapi dia tahan sekuat tenaga. Dia sudah membuat tuan rumah kecewa, dan dia nggak mau melakukan nya lagi.
"Maafkan aku kek. Aku sudah membuka luka lama kalian."
Ucapan Lou penuh penyesalan. Kakek pun mengerti, bukan maksud hati pemuda itu membuat cucunya bersedih. Helena pun kembali ke ruangan itu. Wajahnya tampak lelah dan mengantuk.
"Adik istirahat lah. Aku nggak apa-apa kok."
Lou berusaha tersenyum, membuktikan pada mereka bahwa dia baik-baik saja. Meskipun keringat dingin mulai mengalir di pelipisnya. Mungkin pengaruh dari ramuan yang barusan dia minum.
"Kak Lou juga harus tidur. Ayolah kak, tidurlah. Jangan ngobrol lagi. Tenagamu belum pulih benar."
Helena menarik selimutnya. Lalu menyuruh Lou berbaring dan menyelimuti nya. Lou tak ingin mengecewakan nya. Kakek pun menatapnya dan menganggukkan kepalanya.
"Tidurlah, jika masa kritismu berlalu malam ini, kau aman." Katanya sambil duduk lagi di kursi tuanya.
"Selamat tidur kek, selamat tidur adik Lena." Balas Lou yang mencari posisi tidur yang nyaman untuk melindungi luka-lukanya dari rasa nyeri.
"Selamat tidur kak, moga kakak baik-baik saja."
Jawab Helena sambil tersenyum dan berbaring di tikar yang digelar di bawah kaki kakeknya. Gadis belia itu mengalah, tidur di lantai beralas tikar. Sedangkan sang Kakek sudah mendengkur lagi di kursi tuanya. Malam pun berlalu, dan mentari hadir menyambut pagi.