"Biarkan sejenak aku bersandar padamu dalam hujan badai dan mati lampu ini. Aku tidak tahu apa yang ada dalam hatiku, aku hanya ingin memelukmu ..."
Kata-kata itu masih terngiang dalam ingatan. Bagaimana bisa, seorang Tuan Muda Arogan dan sombong memberikan hatinya untuk seorang pelayan rendah seperti dirinya? Namun takdirnya adalah melahirkan pewarisnya, meskipun cintanya penuh rintangan dan cobaan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Susi Ana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
27.Kecemburuan
Kakek Arlan mencoba menahan diri untuk tidak emosi. Dida adalah seorang pemuda belia. Usianya hampir sama dengan cucunya. Hanya selisih beberapa bulan. Helena dan Dida adalah teman sekolah sekaligus teman bermain. Kakek pun sedikit banyak mengenal tabiat pemuda itu.
Pemuda yang keras kepala, karena merasa menjadi anak kepala suku satu-satunya. Sejak kecil, dia selalu bilang bahwa Helena adalah miliknya. Dia nggak akan membiarkan orang lain merebutnya darinya. Bahkan dia berani bilang, akan menembak siapa pun yang berani melarikan Helena darinya. Dan kini, Kakek Arlan baru menyadarinya. Ucapan pemuda dihadapan nya ini nggak main-main.
"Cucuku bukan barang yang harus kau miliki!! Cucuku punya hati!! Dia berhak menentukan hidupnya sendiri!! Ada hak apa kau begitu ngotot bicara begitu?" Tanya Beliau dengan tenang, walau mati-matian menyembunyikan kejengkelannya.
"Sudahlah Kakek, jangan berdebat lagi. Lebih baik, Kakek temani kakak Lou. Biar kak Dida membantuku. Hari masih pagi kek. Perut pun belum diisi. Nggak baik bertengkar tentangku."
Helena berusaha mendinginkan suasana yang memanas itu. Meskipun nada bicara Kakek Arlan tenang, Helena menangkap amarah pada mata Beliau. Dida pun berdiri, menanggapi ucapan Helena.
"Kakekmu lebih membela anak kota itu, Helena!! Kutegaskan pada kalian!! Jika terjadi yang kucemaskan, aku mampu menembak kalian semua!!"
Sehabis bicara lantang dan suaranya terdengar oleh Lou, Dida langsung pergi dengan wajah bersungut-sungut. Wajah manisnya tampak garang, apalagi saat di ruang tamu berpapasan dengan Lou. Dengan tangan menuding ke arah Lou, pemuda itu pun bicara dengan nada meletup-letup lagi.
"Ingat hal ini, anak kota!! Helena adalah calon istriku!! Siapa pun tak kuijinkan merebutnya dariku!! Termasuk kau!! Mengerti!?"
Lou menatap tajam ke arah Dida. Dia nggak suka, tangan itu menuding ke arahnya. Layaknya dia penjahat saja. Jika dia nggak terluka, meskipun dia sadar nggak pintar berkelahi. Dia akan menghajar pemuda kurang ajar itu. Lou pun lalu tersenyum. Dia masih waras, dan nggak mau bikin masalah lagi untuk Kakek dan cucunya.
"Tenang saja, aku nggak akan merebutnya. Jika kau adalah seorang lelaki yang penuh percaya diri bahwa kau sanggup melindunginya dan membahagiakan nya, buat apa takut? Percayalah pada kemampuan, bukan karena gertakan!"
Ucapan Lou begitu mantap, dan mampu membuat Dida bungkam. Pemuda itu melotot marah. Bukan karena ucapan Lou yang santai namun mantap. Tapi dia merasa, ucapan Lou ada benarnya. Tapi dia gengsi untuk mengakuinya.
"Tutup mulutmu, anak kota!!" Gertaknya dengan keras.
"Namaku Lou, Lou Meiyer Antaga. Bukan anak kota...." Goda Lou dengan santainya.
Melihat wajah Dida yang merah seperti kepiting rebus, membuat rasa jahil muncul di hati Lou. Dia ingin sekali menggoda pemuda itu sepuasnya. Dia memang nggak jago berantem. Tapi setidaknya, dia masih jago berdebat. Karena otaknya lebih lancar ketimbang ototnya.
"Aku nggak peduli dengan namamu!! Awas saja, jika kau merebutnya dariku!! Huh!!"
Dida langsung pergi dengan cepat meninggalkan gubuk Kakek Arlan. Lou pun tersenyum sambil menggelengkan kepala. Saat Kakek Arlan berdiri di pintu masuk dapur, Lou menatapnya sambil nyengir. Tangan nya pun mengusap rambutnya. Pertanda, dia bersalah sudah meladeni orang yang terbawa emosi.
"Maaf, Kakek....hehehe."
"Dida nggak main-main, lho."
Sahut Kakek Arlan sambil membawa teh dan nampannya ke atas meja. Di belakang, Helena membawa nasi beserta lauknya. Lauk ayam yang tadi dia bawa. Lou ingin sekali membantu mereka. Tapi kakinya belum stabil untuk berdiri. Lagi-lagi, rasa bersalah menghantuinya.
"Kita sarapan dulu kak, barulah minum obatmu." Kata gadis cantik nan belia itu sambil mengambil nasi dan lauknya untuk Lou.
"Maafkan aku, adik. Aku nggak bisa melindungi mu."
Balas Lou sambil menerima piring dari tangan Helena. Keduanya pun saling berpandangan. Ada kesedihan di mata Helena. Helena sadar, pemuda kota ini nggak akan membawanya pergi. Dan mau nggak mau, dirinya harus tetap di pedalaman ini. Menunggu Dida memperistrinya.
"Ayo, kita makan. Jangan bicarakan hal berat dulu. Perut kita sudah minta diisi. Jika perut kosong, yang ada otak ikut kosong." Sahut Kakek Arlan yang duluan menyantap sarapannya.
"Kalau Kakek sih, meski perut kenyang otak Kakek tetap kosong. Seperti gentong!"
Godaan Helena sanggup mencairkan suasana yang sedih menjadi riang kembali. Lou pun tersenyum, melihat Kakek Arlan terkekeh sambil makan. Sehingga Beliau tersedak. Helena dengan cepat mengambilkan segelas air.
Lou menikmati sarapan paginya dengan nyaman. Di temani oleh gadis cantik nan belia di sampingnya. Ingatannya tentang Simboknya, kuliahnya, Bu Ani dan Bahama, sahabatnya belum kembali. Dia hanya merasakan sakit dan perih di sekujur tubuhnya. Dan dia juga masih belum ingat tentang mereka yang sudah membuat nya terluka seperti itu. Dan kini, dia harus menghadapi musuh baru dalam cintanya yaitu Dida, Si Anak Kepala Suku.
Lou dalam pemulihan di pedalaman itu. Sementara, sahabatnya yang kini sudah menjadi anak buah mafia terkenal di Kota S, sepak terjangnya sudah nggak bisa dikendalikan lagi. Tuan Vengsier Eiger sudah beberapa kali memberikan misi penting padanya. Dan hasilnya sangat memuaskan.
"Bagaimana keadaan Tiger Ba?"
Tanya Tuan Vengsier Eiger kepada Handrille Versiger yang pada waktu itu membawa Bahama dalam keadaan luka tembak. Saat itu, misi penyelundupan senjata terjadi di Pelabuhan Kasat Mata. Namun ada mata-mata yang berhasil membocorkan misi tersebut. Demi melindungi Snake dan anak buahnya, Bahama ambil keputusan berbahaya. Dia mengumpankan dirinya menjadi sasaran Penembak Jitu dari Angkatan Laut setempat.
"Larilah, kak Snake!! Aku nggak mau kehilangan kalian lagi!! Cepat, lari!!" Perintah Bahama pada saat genting itu.
"Tidak Tiger Ba!! Misi ini adalah misi kita!! Jika gagal, lebih baik kita mati bersama!!"
Tolak Snake yang bersikukuh membangkang perintah Bahama. Namun Bahama terus mendesak nya agar meloloskan diri bersama kapal yang membawa ratusan senjata.
"Aku nggak mau mati!! Percayalah kak!! Aku pasti hidup!! Aku belum bertemu dengan Lou sahabatku!! Jadi, aku nggak akan mati!! Selamatkan diri kalian!! Jika kalian hidup, misi kita juga dianggap berhasil!!"
Bahama meloncat dari kapal, dan berenang menjauhi kapal itu. Sementara bidikan kembali diarahkan kepadanya. Karena Bahama berusaha menuju ke kapal Patroli Angkatan Laut tersebut. Dengan berat hati, Snake dan kawan-kawan memacu kapalnya secepat mungkin menjauhi perairan yang sudah di kepung.
"Kau harus kembali dalam keadaan hidup, Tiger Ba!! Aku berjanji, di saksikan oleh lautan berdarah ini!! Aku dan anak buah ku, akan setia padamu!! Hiduplah!! Dan kembalilah pada kami!!"
Rintihan bernada doa harapan, keluar dari mulut Snake. Semua anak buahnya mendengar hal itu. Mereka pun melawan dengan tembakan jitu saat sebagian kapal Patroli Angkatan Laut itu masih mengejar kapal mereka.
Saat Bahama mengalihkan perhatian, kapal Handrille Versiger melindunginya. Namun, peluru sudah dilepaskan dan mengenai tubuh Bahama. Sebelum Bahama tenggelam di lautan berdarah itu, seluruh anak buah Handrille Versiger melawan kapal Patroli Angkatan Laut hingga mereka kabur melarikan diri.
Handrille Versiger terjun langsung ke laut menyelamatkan Bahama. Pria sangar yang beringas itu tidak mampu lagi melihat air mata Bibi Chan mengalir lagi. Karena di depan mata Handrille Versiger lah, tragedi berdarah Putra Bibi Chan terjadi.