Winarsih, seorang gadis asal Jambi yang memiliki impian untuk bekerja di ibukota agar bisa memberikan kehidupan yang layak untuk ibunya yang buruh tani dan adiknya yang down syndrome.
Bersama Utomo kekasihnya, Winarsih menginjak Jakarta yang pelik dengan segala kehidupan manusianya.
Kemudian satu peristiwa nahas membuat Winarsih harus mengandung calon bayi Dean, anak majikannya.
Apakah Winarsih menerima tawaran Utomo untuk mengambil tanggungjawab menikahinya?
Akankah Dean, anak majikannya yang narsis itu bertanggung jawab?
***
"Semua ini sudah menjadi jalanmu Win. Jaga Anakmu lebih baik dari Ibu menjaga Kamu. Setelah menjadi istri, ikuti apa kata Suamimu. Percayai Suamimu dengan sepenuh hati agar hatimu tenang. Rawat keluargamu dengan cinta. Karena cintamu itu yang bakal menguatkan keluargamu. Ibu percaya, Cintanya Winarsih akan bisa melelehkan gunung es sekalipun,"
Sepotong nasehat Bu Sumi sesaat sebelum Winarsih menikah.
update SETIAP HARI
IG @juskelapa_
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon juskelapa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
3. Perjalanan
Winarsih berada di bus bersama utomo yang duduk di sebelah kanannya. Sesaat lagi mereka akan tiba di terminal. Sepanjang perjalanan itu mereka tak banyak bicara. Utomo hanya sesekali menunjukkan suatu tempat yang mereka lewati dan menjelaskan tentang tempat itu sedikit.
Utomo yang lumayan sering ke ibukota mengurus usaha orangtuanya, tampak begitu bangga ketika menjelaskan tempat-tempat yang pernah ia kunjungi.
Sedangkan Winarsih yang baru sekali bepergian jauh meninggalkan rumah, mendengarkan uraian Utomo dengan cermat. Sorot matanya yang cerdas begitu antusias meski terlihat lelah.
Ketika bus melewati jajaran perkebunan sawit dan tanaman karet, keduanya kembali membisu.
Pikiran Winarsih kembali mengingat saat berpamitan dengan ibunya dan Yanto kemarin sore. Bahkan setelah menghabiskan satu malam di dalam bus, tak membuat Winarsih melupakan wajah sendu sang ibu yang menatap kepergiannya yang menumpangi ojek dengan memeluk tas jinjing perca.
Kini Winarsih menatap ke luar jendela dengan terkantuk-kantuk dan pikiran melayang ke rumah. Sudah makankah Yanto? Apa yang dimasak Ibu untuk adiknya hari ini?
Utomo memandang bagian belakang kepala Winarsih yang memunggunginya. Sejujurnya, saat ini Utomo masih merasa canggung dan malu mengingat apa yang telah ia lakukan di pondok bekas pos ronda kemarin malam.
Dia benar-benar tak bermaksud buruk pada kekasihnya. Ia cinta Winarsih dan menginginkan wanita itu menjadi istrinya kelak. Hanya saja ia sering tak bisa menahan diri jika berduaan dengan kekasihnya itu belakangan ini.
Winarsih menyadari apa yang membuat Utomo begitu kaku dan gelisah sepanjang perjalanan mereka. Pasti karena kejadian kemarin malam. Winarsih cemberut. Sumpah ia tidak mau mengingatnya lagi.
Dalam hati, dia telah memaafkan Utomo dan dirinya sendiri. Tak mau berlarut-larut merasa tak enakan dengan Utomo. Bagaimanapun juga, dia masih mencintai kekasihnya itu seperti sebelumnya. Meski sekarang Winarsih sedikit merasa was-was jika berduaan terlalu lama dengan Utomo.
Perjalanan dari desa mereka menuju ibukota menghabiskan waktu hampir 18 jam dengan perjalanan darat yang berganti dua kali. Harusnya dalam perjalanan panjang itu, Winarsih bisa bermanja-manja dengan Utomo mengingat kini mereka bebas berpacaran setelah keluar dari desa.
Di ibukota, tak akan ada yang mengenali ataupun melarang mereka kontak fisik terang-terangan seperti bergandengan tangan, berpelukan atau bahkan berciuman.
Tapi karena sikap canggung Utomo, Winarsih jadi ikut-ikutan canggung dan risi. Bahkan saat tidur di bus kemarin malam, Winarsih menggerak-gerakkan kepalanya mencari sandaran tidur dengan gelisah. Ia tidur bersandar ke dinding bus hingga pagi sampai lehernya terasa pegal karena terlalu lama berada di posisi yang sama selama berjam-jam.
“Kita sudah sampai, Win.” Utomo menggamit lengan Winarsih agar berdiri. Ia lalu berjalan menyusuri deretan kursi bus yang sudah nyaris kosong sambil membantu membawakan tas kain perca kekasihnya.
Penumpang bus turun satu-persatu melalui pintu depan dan belakang. Winarsih yang dari rumah tadi mengenakan rok berwarna hitam dan kaos lengan panjang berwarna merah tampak celingak-celinguk memperhatikan tiap sudut terminal yang ramai.
Baru kali itu Winarsih menginjak salah satu terminal di ibukota. Biasanya saat membawa ayahnya berobat, Winarsih hanya mampir di sebuah perhentian bus kecil di kabupaten.
Utomo memegangi lengan Winarsih sepanjang berjalan keluar terminal. Langkahnya melambat ke tempat beberapa taksi yang parkir menunggu penumpang.
“Ke alamat sini bisa, Pak?” Utomo mengulurkan sebuah kertas kepada salah seorang supir taksi yang pertama kali mereka temui di luar pintu terminal.
Beberapa saat membaca tulisan pada kertas yang disodorkan Utomo, supir taksi tadi mengangguk.
“Ini enggak jauh. Bawaannya mana? Biar saya taruh di belakang," kata supir taksi.
“Bawaannya cuma sedikit, Pak. Masih bisa dipangku. Nggak apa-apa," jawab Utomo yang kemudian membukakan pintu belakang taksi agar Winarsih bisa segera masuk.
Taksi berjalan membelah kepadatan ibukota yang saat itu telah lewat tengah hari. Perut mereka berdua sebenarnya sangat lapar, tapi rasa canggung dalam diri mereka kini telah bertukar menjadi rasa tegang yang mengalahkan kebutuhan lambung.
Winarsih merasa tegang dan antusias sekaligus dalam perjalanan menuju rumah majikannya. Hatinya terus bertanya-tanya orang-orang seperti apa yang bakal menjadi majikannya kelak. Bagaimana jika dirinya nanti tidak mendapat perlakuan baik di sana. Atau bagaimana kalau ia merindukan keluarganya? Semua pikiran itu datang saat dirinya nyaris tiba.
Seperti mengetahui kekhawatiran hatinya, Utomo meraih tangan kiri Winarsih dan menggenggamnya.
“Kantorku nanti di Jakarta Pusat. Enggak jauh dari tempat kamu bekerja. Mess yang disediakan kantor buat kami juga nggak jauh dari rumah itu. Di rumah majikanmu ini banyak telepon yang bisa dipakai. Kamu bisa menghubungi ponselku kalau ada keperluan apa pun. Aku juga sudah menyimpan nomor telepon khusus ruangan belakang yang biasa digunakan para pegawai di rumah itu. Kamu nggak perlu khawatir. Jaga diri kamu ya, Win. Ingat semua hal yang aku bilang malam itu. Aku bakal nunggu."
Utomo semakin mengeratkan genggamannya pada tangan Winarsih. Winarsih menoleh ke arah Utomo dan bibirnya menarik senyuman hangat.
Tak berapa lama kemudian taksi yang mereka tumpangi masuk ke perumahan yang ukurannya besar-besar. Semua rumah yang berjajar di kanan-kiri jalan nyaris berukuran sama besar dengan tampilan sama mewahnya.
Seumur hidup baru kali itu Winarsih melihat rumah yang benar-benar mirip seperti istana di film-film yang ia tonton. Tak ada satu pun pedagang kaki lima yang ia lihat melintas di jalanan. Sepanjang jalan yang mereka lalui sangat bersih dan rindang.
Taksi berhenti di sebuah rumah putih besar bergaya klasik yang memiliki delapan tiang tinggi di terasnya. Pagar rumah itu tingginya hampir tiga kali pria dewasa. Dengan warna hitam kombinasi emas dan model besi meliuk-liuk yang amat rumit. Bagian teras depan rumah itu tak tampak dari jalan karena tertutupi pagar tembok yang sama tingginya. Depan pagar tembok ditumbuhi beberapa pohon palem yang letaknya bersisian dengan trotoar jalan raya.
Utomo masih membantu Winarsih menjinjing tas kain batik perca. Setelah membayar ongkos taksi, Utomo menggandeng Winarsih mendekati sisi pintu pagar yang bersebelahan dengan pos satpam.
“Pak! Permisi ...." Utomo memanggil salah seorang satpam yang baru keluar dari pos di sisi kanan pagar.
“Ya ...? Ada yang bisa dibantu?” tanya satpam dengan menjengukkan kepala sedikit menoleh ke arah Utomo dan Winarsih.
“Saya Utomo dari Desa Beringin; temannya Jaka dari Grup Cahaya Mas yang sudah punya janji dengan pemilik rumah ini. Bu Amalia. Saya yang membawakan calon asisten rumah tangga bagian dapur," jelas Utomo pada satpam yang sepertinya masih enggan menggeser pagar.
Mendengar penjelasan Utomo, satpam itu mengangguk dan berkata, “Sebentar saya telepon ke dalam dulu.”
Tak lama kemudian satpam tadi kembali keluar dari pos dan menghampiri pagar. Kali ini satpam itu bersedia menggeser pagar besinya yang tampak begitu berat. Urat-urat di tangan satpam itu seketika menonjol keluar saat mendorong mundur pagar besi.
Winarsih melihat pagar yang terbuka sudah lebih dari cukup untuk ia lewati bersama Utomo. Tapi satpam itu membukanya terlalu lebar.
“Maaf, Mas, Mbak, bisa minggir sedikit? Mobil Pak Dean sebentar lagi lewat,” ujar satpam yang bernama Rojak. Winarsih melirik bordiran nama yang menempel di seragam satpam itu.
Ternyata pemilik rumah itu yang akan lewat, pantas saja pagar itu langsung terbuka lebar, pikir Winarsih.
“Pemilik rumah ini?” tanya Utomo spontan.
“Pak Dean, anaknya Bu Amalia dan Pak Hartono. Yang punya rumah ini, ya Pak Hartono. Ya tapi secara tidak langsung, rumah ini milik Pak Dean juga, sih.” Rojak meringis ke arah Utomo yang terus melongok ke arah jalan seolah turut menanti kedatangan anak pemilik rumah tersebut.
Winarsih terus meringis sambil menyipitkan mata karena silau. Cahaya matahari pukul dua siang tengah menaungi mereka semua. Tubuhnya terasa gerah dan lengket. Perutnya mengeluarkan suara kriuk-kriuk tanda kelaparan.
Saat Winarsih sedang menunduk menatap flat shoes murahan yang membungkus kakinya, sebuah SUV putih bertuliskan RANGE ROVER memasuki gerbang. Rojak mengangguk ke arah mobil dari sisi seberang di mana Winarsih dan Utomo berdiri.
Dengan cekatan, Utomo menarik lengan Winarsih agar sedikit merapat ke pagar dan memberi ruang terhadap mobil yang akan masuk.
Saat Utomo menarik lengannya, Winarsih menegakkan kepala melihat ke arah mobil. Dirinya penasaran ingin mengetahui bagaimana rupa bentuk salah satu calon majikannya.
Sejenak matanya tertuju pada sosok pria penumpang di kursi bagian belakang. Pria itu sempat beradu pandang melalui kaca dengannya selama beberapa detik. Kemudian pria itu kembali menunduk menghadap satu benda persegi yang memantulkan cahaya ke wajah tampan pria itu.
Winarsih terhenyak. Bagaimana mungkin ketampanan, kemewahan dan keangkuhan yang seolah membalut pria itu menjadi satu, bisa menghadirkan paduan yang begitu sempurna. Meski hanya melihat sekilas, Winarsih sudah bisa membayangkan seberapa menyebalkan anak majikannya itu.
Winarsih terpukau dengan pemandangan yang baru saja ia lihat. Selama ini dia selalu melihat Utomo sebagai pria paling tampan yang ia temui. Tapi hari ini keyakinan Winarsih selama ini terpatahkan.
Utomo yang berdiri di sebelah Winarsih menghela napas panjang saat RANGE ROVER putih itu berlalu dari hadapan mereka dan berhenti tepat di depan teras.
“Bagus sekali, ya,” gumam Utomo.
“Apanya, Mas?” tanya Rojak.
“Mobilnya, Pak.” Utomo tersenyum malu karena menyadari telah menyuarakan pujiannya begitu jelas. Winarsih ikut tersipu saat Utomo mengatakan hal yang menurutnya tidak perlu dikatakan saat itu.
Ternyata Utomo ini termasuk pria yang isi kepala dan kata-katanya selalu sama, pikir Winarsih.
“Ayo, Mas, Mbak ... itu Bu Amalia baru pulang bersama Pak Dean. Mari ikut saya.” Rojak berjalan di depan mendahului Winarsih dan Utomo.
Setelah menurunkan majikannya, RANGE ROVER putih tadi pergi berlalu menuju ke sisi kiri rumah.
“Maaf, Bu ... ini ada yang cari Ibu. Katanya rekan Pak Jaka dari Desa Beringin yang mau mengantar asisten rumah tangga bagian dapur.” Rojak sedikit bergeser ke samping letak agar majikan perempuannya bisa melihat calon asisten rumah tangga bagian dapur yang sedang berdiri tegak tersenyum manis. .
“Kamu calon pegawainya? Bisa masak? Umur berapa kamu?” tanya Bu Amalia.
Dean masih berdiri di teras rumah bersama ibunya. Sejak tadi pandangannya tak beralih dari sebuah tablet yang terus-menerus ia gulir dan ia pencet.
“Dua puluh satu tahun, Bu,” jawab Winarsih masih dengan senyum termanisnya. Kedua lesung pipinya di kanan-kiri menjadi nilai tambah siang itu mengingat penampilannya sudah sangat acak-acakan.
“Ini suami kamu?” selidik Bu Amalia sembari melihat ke arah Utomo.
“Bukan, Bu. Kami masih berpacaran dan berasal dari desa yang sama,” jawab Winarsih polos.
Saat Winarsih mengatakan ‘kami masih berpacaran' pandangan menyelidik Dean berpindah dari Winarsih ke Utomo. Lalu kembali menatap sepasang kekasih di depannya bergantian.
“Dua puluh satu tahun dan belum menikah. Sebenarnya kamu terlalu cantik untuk jadi pembantu. Saya, kok, jadi kurang sreg. Tapi ya sudahlah. Susah sekali cari orang kerja yang cocok zaman sekarang. Kamu ngapain masih di sebelah Mama?” Bu Amalia yang tadinya berbicara kepada Winarsih dan Utomo kini menyadari kehadiran Dean yang belum beranjak dari sisinya.
“Ya udah, Jak ... kamu bawa aja si....siapa nama kamu?” tanya Bu Amalia pada Winarsih.
“Winarsih, Bu.”
“Iya. Ya sudah kamu ikut Rojak ke kamar yang di bawah, ya. Yang di sayap kiri, Jak. Terus bawa ke dapur buat diperkenalkan ke Mbah.”
Bu Amalia mengibas tangan kemudian pergi menggandeng lengan putra bungsunya itu.
Sesaat sebelum Dean berjalan di sebelah ibunya, pria dua puluh sembilan tahun itu sempat menoleh dan melihat tajam ke arah Winarsih.
Utomo ternyata menangkap basah pandangan Dean barusan dan saat itu juga wajahnya langsung berubah masam.
“Belum apa-apa ... anak majikan kamu sudah begitu mandangin kamu, Win,” sungut Utomo.
“Begitu bagaimana? Kan, wajar, Mas. Aku bakal bekerja di rumahnya. Masa Pak Dean tadi enggak boleh melihat aku bicara dengan ibunya?" Winarsih menghela napas kasar. Sedikit jengkel dengan Utomo yang kekanakan. “Kalau kamu begitu terus ... kamu bisa stres, Mas. Aku juga lama-lama bakal capek,” sambung Winarsih.
“Sudah berantemnya? Kalau sudah ... mari saya antar ke kamarnya Mbak Winarsih. Untuk kali ini Mas-nya boleh mengantarkan sampai ke kamar; dengan pengawalan saya tentunya. Tapi lain kali kalau ingin bertamu, silakan hubungi saya di pos atau telepon ke nomor khusus asisten di ruangan belakang. Nanti bakal bertemu dengan si Mbah," terang Rojak ramah kepada Winarsih dan Utomo yang hanya mendengar dan mengangguk-angguk.
“Soal Pak Dean ... Tidak usah sering-sering dibahas. Pak Dean itu punya pacar. Cantik sekali. Khas kota.” Rojak menekankan kata ‘khas Kota’ demi meyakinkan Utomo yang baru saja mencemburui pacarnya. Pria Desa Beringin itu hanya tersenyum-senyum.
Tak sampai lima menit berjalan, tibalah mereka di sebuah kamar yang letaknya sangat terpencil di sayap kiri rumah. Meski terlihat sangat kecil, Winarsih bahagia karena kamar itu bakal ditempatinya seorang diri. Akhirnya, meski harus menjadi seorang pembantu rumah tangga, Winarsih bisa memiliki kamarnya sendiri.
Winarsih sangat berharap, kamar itu akan menjadi rumah keduanya setelah sepetak kamar lusuh di Desa Beringin.
To be continued