Sang penjaga portal antar dunia yang dipilih oleh kekuatan sihir dari alam
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon faruq balatif, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Cinta itu Datang
Araya membuka matanya perlahan, masih setengah mengantuk saat sinar pagi menyelinap melalui celah jendela kamar. Suara burung berkicau di kejauhan, menandai awal dari hari yang tenang di desa. Pagi ini terasa sangat berbeda, seakan-akan ada kedamaian yang hanya bisa ia rasakan di sini. Ia tersenyum kecil, mengingat dirinya yang tidak terbiasa dengan kehidupan sederhana, tapi entah bagaimana, desa ini telah menjadi rumah sementara yang membuatnya nyaman.
Dengan langkah ringan, ia berjalan menuju dapur. Di sana, ia melihat Muya yang sudah sibuk menyiapkan adonan roti. Pagi ini sedikit berbeda, karena mereka akan datang sedikit lebih lama ke toko roti. Paman Buno dan Bibi Eva telah lebih dulu berangkat ke toko.
Araya memperhatikan setiap gerakan Muya. Dengan pakaian sederhana dan senyum hangatnya, Muya terlihat begitu alami. Ada ketenangan yang selalu ia rasakan setiap kali melihat sosok Muya yang penuh dedikasi dan ketulusan.
"Araya, sudah bangun?" tanya Muya sambil tersenyum, ketika melihat Araya masuk ke dapur.
"Ya, pagi yang damai," jawab Araya, berusaha menyembunyikan rasa gugup yang tiba-tiba muncul. Entah kenapa, hari ini ia merasakan sesuatu yang berbeda setiap kali memandang Muya. Ia mulai menyadari hal-hal kecil yang biasanya tidak begitu ia perhatikan, seperti cara Muya merapikan rambutnya yang berantakan ke belakang telinga saat tangannya berlumur tepung, atau caranya bersenandung pelan saat menguleni adonan.
Hari itu berlalu dengan kehangatan. Araya membantu Muya membawa roti-roti ke toko, dan dalam perjalanan, mereka berbincang-bincang, berbagi cerita ringan tentang tanaman, cara membuat roti, hingga mimpi-mimpi kecil yang mereka miliki. Setiap kali Muya tertawa, Araya merasakan kehangatan menjalari hatinya. Ia belum pernah merasakan hal seperti ini sebelumnya.
Di tengah obrolan, Muya tiba-tiba berhenti, menatap mata Araya sambil tersenyum lembut. "Kau tahu, Araya, aku senang kau bisa berlama-lama di sini. Rasanya hari-hari di desa ini jadi lebih cerah," ujarnya sambil mengangguk kecil.
Araya merasa pipinya memanas. "Aku juga merasakannya, Muya. Desa ini... terasa seperti tempat yang bisa memberi ketenangan," jawabnya hati-hati, menyembunyikan perasaan yang bergejolak di dalam hatinya.
Keseharian mereka ditoko roti sangatlah menyenangkan, suasana hangat dan tawa ceria membuat mereka terlihat seperti keluarga. Araya yang hanya mendapat kasih sayang nenek dan kakeknya sejak ia lahir, mendadak mendapatkan rasa hangat dari keluarga kecil ini.
Menjelang sore, mereka duduk di depan toko roti, menghadap ke arah lembayung yang perlahan menyelimuti langit. Hening, hanya ditemani suara angin yang menyapu lembut. Dalam ketenangan itu, Araya merasakan sebuah perasaan hangat yang perlahan-lahan memenuhi ruang hatinya, sebuah perasaan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Desa ini, yang awalnya hanya tempat persinggahannya, kini terasa seperti tempat yang menyimpan kenangan dan perasaan yang sulit untuk ia tinggalkan.
Ketika matahari hampir tenggelam, Paman Buno menyuruh Muya untuk membawa Araya kembali ke desa, agar ia dan Bibi Eva bisa menutup toko roti lebih awal. Di perjalanan pulang, Muya mengajak Araya untuk singgah sejenak ke bukit kecil di belakang desa, sebuah tempat yang menawarkan pemandangan indah dari seluruh desa.
"Araya, kau harus lihat ini," ajak Muya sambil tersenyum penuh semangat. Mereka berjalan bersisian, membawa keranjang kue yang kini sudah kosong. Dalam perjalanan itu, mereka terus berbagi cerita dan tawa. Sesekali, tangan mereka tanpa sengaja bersentuhan, membuat Araya merasakan getaran hangat yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Semua rasa khawatir dan kekhawatiran yang dulu ia rasakan di desa ini seolah lenyap, digantikan oleh kenyamanan yang hanya ia temukan saat bersama Muya.
Saat mereka tiba di bukit, Muya dan Araya duduk di atas rerumputan, menghadap ke arah desa yang mulai temaram. Muya memetik sekuntum bunga liar yang tumbuh di dekatnya, lalu dengan perlahan menyelipkannya di belakang telinga Araya. Gagap sejenak, Araya hanya bisa terdiam, tidak tahu harus berkata apa. Tapi dalam keheningan itu, ia membiarkan dirinya tenggelam dalam tatapan Muya, merasakan ketenangan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
"Muya..." Araya memanggil pelan, suaranya hampir tenggelam dalam semilir angin senja.
"Ya?" jawab Muya sambil menatap Araya dengan senyuman lembutnya yang khas.
"Aku... aku merasa nyaman bersamamu. Lebih dari yang pernah kurasakan dengan siapa pun," kata Araya lirih, tak lagi mampu menyembunyikan perasaan yang memenuhi hatinya.
Muya hanya tersenyum, lalu perlahan menggenggam tangan Araya, memberi kehangatan yang sederhana namun penuh makna. Dalam hening itu, mereka berdua saling terhubung dalam perasaan yang tak terucap. Araya merasakan hatinya semakin hangat, sebuah perasaan yang tak bisa ia jelaskan, namun begitu nyata.
Di hatinya, Muya juga merasakan hal yang sama. Ia ingin menyatakan apa yang ia rasakan, tapi mengingat Araya akan segera meninggalkan desa, ia memilih untuk menyimpan kata-katanya dalam hati. Muya menatap Araya sejenak, memutuskan untuk menikmati momen ini tanpa terburu-buru mengungkapkan perasaan yang terpendam.
Hari beranjak malam, dan mereka kembali ke desa. Dalam perjalanan pulang, Araya merasakan kedamaian yang ia tahu tak akan bisa ia temukan di tempat lain. Rasanya, hari-hari yang ia lalui di desa ini begitu berarti. Keheningan mereka terasa nyaman, tanpa perlu kata-kata berlebihan untuk menyampaikan apa yang mereka rasakan. Namun, di dalam hati, ia sadar bahwa mungkin kebersamaan ini tak akan berlangsung lama.
Setibanya di rumah, mereka langsung berpisah menuju kamar masing-masing dan mereka saling menatap, seolah-olah mengungkapkan perasaan mereka melalui tatapan yang penuh arti.
"Terima kasih untuk hari ini, Muya," ujar Araya dengan senyum kecil.
Muya membalas senyum itu, lalu perlahan berkata, "Kau tahu, Araya... aku akan merindukan saat-saat seperti ini." Kalimat itu singkat, tapi penuh makna, membuat Araya sejenak terdiam.
"Begitu juga aku," jawab Araya lirih, perasaannya semakin dalam kepada Muya. Tanpa sadar, ia berharap bisa kembali ke desanya ini suatu hari nanti, hanya untuk merasakan kembali kebersamaan yang begitu hangat ini.
Mereka berkumpul bersama di meja makan untuk makan malam terakhir Araya di rumah itu. Dengan hati yang dipenuhi perasaan yang belum sempat diungkapkan sepenuhnya. Namun bagi Araya, malam itu telah meninggalkan jejak kenangan indah yang akan terus ia ingat, meski ia harus melanjutkan perjalanannya esok hari.