Calista Izora, seorang mahasiswi, terjerumus ke dalam malam yang kelam saat dia diajak teman-temannya ke klub malam. Dalam keadaan mabuk, keputusan buruk membuatnya terbangun di hotel bersama Kenneth, seorang pria asing. Ketika kabar kehamilan Calista muncul, dunia mereka terbalik.
Orang tua Calista, terutama papa Artama, sangat marah dan kecewa, sedangkan Kenneth berusaha menunjukkan tanggung jawab. Di tengah ketegangan keluarga, Calista merasa hancur dan bersalah, namun dukungan keluarga Kenneth dan kakak-kakaknya memberi harapan baru.
Dengan rencana pernikahan yang mendesak dan tanggung jawab baru sebagai calon ibu, Calista berjuang untuk menghadapi masa depan yang tidak pasti.
Dalam perjalanan ini, Calista belajar bahwa setiap kesalahan bisa menjadi langkah menuju pertumbuhan dan harapan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rrnsnti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
pendarahan
Calista duduk di atas kasur, memandangi layar handphone-nya sambil memainkan beberapa aplikasi. Ia masih merasa sedikit lemas, tetapi setidaknya rasa pusing yang membuatnya hampir pingsan di kampus sudah mulai mereda. Hari ini, beberapa anggota keluarganya datang untuk menjaganya. Kania, Resa, Jehar, dan baby sitter Jehar sudah berkumpul di rumah, memastikan Calista baik-baik saja. Suasana hangat terasa di rumah, meskipun rasa khawatir masih membayangi pikiran mereka.
Kenneth, suaminya, sudah bersiap untuk pergi ke kantor Juan. Sejak hari pertama bekerja sebagai asisten Juan, Kenneth berusaha keras untuk menyeimbangkan kehidupan pekerjaannya dengan merawat Calista yang tengah hamil. Meskipun mereka tidak mengalami krisis keuangan, Kenneth tetap ingin menabung lebih banyak untuk persiapan persalinan Calista nanti. Semua itu demi masa depan mereka dan si jabang bayi yang akan lahir.
"Kamu yakin nggak apa-apa aku tinggal, Cal?" tanya Kenneth sambil memeriksa sekali lagi keadaan istrinya. Dia terlihat sangat khawatir, mata cokelatnya yang biasanya cerah kini dipenuhi kekhawatiran.
Calista tersenyum tipis dan menjawab, "Nggak apa-apa, Ken. Di sini ada Kak Resa dan yang lain. Aku bakal baik-baik aja." Dia berusaha meyakinkan Kenneth, meskipun dalam hati dia tahu bahwa tubuhnya masih belum sepenuhnya fit.
Kenneth masih terlihat ragu. Biasanya saat dia bekerja, Calista sibuk dengan kegiatan kuliah. Tapi sekarang, dengan keadaan hamil dan kondisi tubuhnya yang tak menentu, Kenneth khawatir meninggalkan Calista sendirian, meskipun ada keluarga di rumah. Dia tahu betul bagaimana perasaan Calista belakangan ini.
"Woy bucin! Cepetan berangkat kerja!" seru Kania dari pintu kamar mereka berdua, membuat Kenneth menoleh dengan kesal.
"Ckk, sabar kek kak!" balas Kenneth dengan nada bercanda, mencoba untuk mencairkan suasana.
Calista tertawa kecil, melihat interaksi ringan antara suaminya dan kakaknya. "Udah sana, berangkat aja. Aku beneran nggak apa-apa," katanya meyakinkan suaminya sekali lagi.
Kenneth akhirnya menyerah, mencium kening Calista, dan berpamitan kepada kakak-kakaknya. "Kak Kania, Kak Resa, jagain Calista ya, yang bener!" perintah Kenneth setengah bercanda, tetapi jelas ada kekhawatiran dalam suaranya.
"Iya, iya, bawel banget sih kamu," gumam Kania, malas mendengar Kenneth yang terlalu protektif, meskipun ia juga merasa khawatir.
Setelah Kenneth pergi, Kania mendekati Calista yang masih duduk di tepi kasur. "Kamu beneran nggak apa-apa, Cal? Gak mau ke rumah sakit aja? Kakak bisa temenin kok, sama Mbak Resa juga," tawar Kania, mengamati wajah adiknya yang terlihat pucat.
Calista menggeleng lemah. "Aku beneran udah baik-baik aja, kak. Tadi aja udah bisa jalan seperti biasa." Dia berusaha menghilangkan keraguan Kania, walau hatinya sedikit berdebar.
Namun, Kania dan Resa masih merasa cemas. Mereka tak bisa menepis perasaan khawatir, terutama karena Calista sepertinya enggan menceritakan sepenuhnya bagaimana perasaannya selama kehamilan. Resa, yang sudah lebih berpengalaman dengan kehamilan, merasa Calista terlalu menyepelekan tanda-tanda yang mungkin berbahaya.
Di lantai bawah, terdengar suara tawa dan teriakan Jehar, keponakan kecil Calista. Keceriaan anak kecil itu membuat suasana rumah menjadi lebih hidup, dan Calista merasa senang karena suasana tak lagi sepi. Ia merindukan Jehar, yang biasanya sering bermain dengannya sebelum ia sibuk dengan kuliah dan persiapan menjadi ibu. "Jehar! Onty Calista di sini!" seru Calista dengan riang, menyambut keponakannya yang berlari menghampirinya.
Jehar tersenyum lebar, dan mereka pun bermain bersama. Melihat Calista tampak bahagia, Resa dan Kania sedikit merasa lega. Namun, Resa masih memaksa Calista untuk makan meski Calista tampak tidak terlalu lahap. "Nih, makan sayurnya. Ini kesukaan kamu kan? Kakak masakin spesial buat kamu," ujar Resa sambil menyodorkan semangkuk sayur.
Calista mengangguk dan mulai makan, tetapi nafsu makannya jelas berkurang. "Enak, Kak, tapi perutku nolak," keluh Calista.
"Nggak boleh kayak gini terus, Cal. Kamu harus makan supaya sehat," kata Resa tegas. "Kamu morning sickness-nya parah banget, harusnya kita periksa ke dokter deh."
"Benar, Cal. Teman Kakak juga pernah ngalamin ini, tapi nggak separah kamu. Takutnya ada yang nggak beres," tambah Kania, mencemaskan kesehatan adiknya.
Namun, Calista tetap bersikeras. "Aku baik-baik aja kok, Kak. Nggak perlu ke rumah sakit," ujarnya menolak dengan tegas.
Kania dan Resa saling bertukar pandang, tak yakin dengan keputusan Calista. Mereka merasa Calista terlalu menutupi apa yang sebenarnya dia rasakan selama kehamilan. Meski begitu, mereka memilih untuk tidak memaksa Calista lebih jauh.
Setelah makan, Calista kembali bermain dengan Jehar. Dia merasa senang bisa kembali dekat dengan keponakannya, mengalihkan pikirannya dari rasa pusing yang masih kadang muncul. Gelak tawa Jehar membuat suasana hati Calista sedikit lebih baik.
Namun, tiba-tiba Calista merasa ada sesuatu yang salah. Saat dia bangkit dari tempat duduknya, ada sensasi aneh di tubuhnya, seperti ada cairan yang mengalir di antara kakinya. Dia menengok ke bawah, dan matanya langsung membelalak. Darah! Darah mengalir cukup banyak dari dirinya.
"Calista! Darah!" teriak Kania kaget, suaranya penuh kepanikan.
"Hah?!" Calista juga terkejut, matanya langsung menatap ke arah bawah, melihat darah yang keluar. Kakinya melemas, dan tubuhnya perlahan terduduk di lantai. Tangannya gemetar, dan ia merasa panik.
Resa yang mendengar teriakan Kania segera berlari dari lantai atas. "Ada apa?!" tanyanya dengan cemas, wajahnya langsung berubah ketika melihat keadaan Calista.
"Calista pendarahan!" jawab Kania dengan suara gemetar.
Resa langsung mendekati Calista dan berusaha menenangkannya. "Nia, kita harus segera bawa Calista ke rumah sakit," perintah Resa, nada suaranya menunjukkan betapa seriusnya situasi ini.
Kania mengangguk, segera membantu Resa membopong Calista menuju mobil. Dengan cepat mereka memasukkan Calista ke dalam mobil, sementara Kania mengatur posisi duduk agar Calista lebih nyaman. Resa segera menyalakan mesin dan melaju menuju rumah sakit secepat mungkin, hati mereka berdebar kencanG.
Di dalam mobil, Resa mencoba menelepon suaminya, Juan, untuk mengabari Kenneth agar segera menyusul mereka ke rumah sakit. Namun, jari-jari tangannya sedikit gemetar saat menekan tombol di ponselnya, karena ia merasa sangat khawatir dengan kondisi Calista.
"Mas Juan, ini aku. Calista pendarahan, tolong kabarin Kenneth. Kami sekarang lagi di jalan menuju rumah sakit," kata Resa dengan suara terburu-buru, berusaha tetap tenang meski ketakutan menyelimuti hatinya.
"Ya ampun, pendarahan? Oke, aku kabarin Kenneth sekarang juga. Kamu hati-hati di jalan," jawab Juan dengan nada serius.
Setelah panggilan berakhir, Resa dan Kania berusaha tetap tenang, meski rasa cemas tidak bisa disembunyikan. Di kursi belakang, Calista terbaring lemah, matanya berkedip-kedip, berusaha tetap sadar di tengah rasa sakit yang semakin mendera.
"Mbak Resa, pelan-pelan, tapi cepet ya!" desak Kania yang terus memegangi tangan Calista, berharap semua akan baik-baik saja. "Cal, kamu dengar suara kita? Coba fokus ya, kita bakal segera sampai."
Calista mengangguk pelan, meskipun wajahnya tampak sangat pucat. Rasa sakit mulai mengganggu fokusnya, dan rasa takut perlahan menjalar ke seluruh tubuhnya. "Kak… aku…," ucap Calista dengan suara lemah, merasakan kekhawatiran melanda hatinya.
"Shh, jangan bicara, Cal. Cuma fokus buat bertahan, ya," jawab Kania sambil menahan air mata. Ia berusaha terlihat tegar untuk Calista.
Mobil melaju kencang, melawan arus lalu lintas yang padat. Resa mengemudi dengan hati-hati namun cepat, berusaha mencapai rumah sakit secepat mungkin. Ketegangan di dalam mobil semakin terasa, seolah-olah waktu berjalan lambat. Setiap detak jantung