Kembali lagi mommy berkarya, Semoga kalian suka ya.
Mahreen Shafana Almahyra adalah seorang ibu dari 3 anak. Setiap hari, Mahreeen harus bekerja membanting tulang, karena suaminya sangat pemalas.
Suatu hari, musibah datang ketika anak bungsu Mahreen mengalami kecelakaan hingga mengharuskannya menjalani operasi.
"Berapa biayanya, Dok?" tanya Mahreen, sebelum dia menandatangani surat persetujuan operasi.
"500 juta, Bu. Dan itu harus dibayar dengan uang muka terlebih dahulu, baru kami bisa tindak lanjuti," terang Dokter.
Mahreen kebingungan, darimana dia bisa mendapatkan uang sebanyak itu dalam waktu singkat?
Hingga akhirnya, pertolongan datang tepat waktu, di mana CEO tempat Mahreen bekerja tiba-tiba menawarkan sesuatu yang tak pernah Mahreen duga sebelumnya.
"Bercerailah dengan suamimu, lalu menikahlah denganku. Aku akan membantumu melunasi biaya operasi, Hanin," ucap Manaf, sang CEO.
Haruskah Mahreen menerima tawaran itu demi Hanin?
Atau, merelakan Hanin meninggal?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mommy JF, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27: Pertemuan yang Mengharukan
Mahreeen masih tertegun di depan layar ponselnya, tatapannya terpaku pada sosok dua orang yang baru saja masuk ke dalam ruang rawat Hanin. Rasya dan Chana kini berlari kecil menghampirinya dan memeluknya. Mahreeen masih terpaku, jantungnya berdebar-debar, sementara di layar ponselnya, Manaf masih berbicara, namun suaranya terdengar semakin jauh.
"Mahreeen? Apa yang terjadi? Kenapa kamu terdiam?" tanya Manaf dengan nada penasaran.
Chana, dengan suara polosnya, menegur Mahreeen yang masih memegang ponsel.
"Ibu, kenapa ibu bengong? Itu Oma dan Opa yang bawa kami ke sini!" ucap Chana ceria.
Mahreeen tersentak. Dia menatap Chana yang tersenyum riang, Rasya lalu kembali menoleh pada kedua orang yang kini berjalan mendekat ke arah ranjang Hanin. Seketika, Mahreeen merasa darahnya berdesir. Kedua orang itu adalah Manna dan Malika, orang tua Manaf. Tanpa dia sadari, tangannya yang memegang ponsel perlahan menurunkan layar dan menutup panggilan video dengan Manaf. Namun terlambat, Manaf sudah melihat segalanya. Mahreeen baru ingat jika mereka pernah berjumpa di kantor.
Dengan cepat, Mahreeen mencoba merapikan dirinya. Manna dan Malika sudah berdiri di depannya, menatap dengan penuh kehangatan.
"Kamu pasti Mahreeen, kan? Rasya dan Chana bercerita tentangmu saat di perjalanan," ucap Malika tersenyum ramah.
Mahreeen hanya bisa mengangguk, masih terkejut dengan kedatangan mereka. Suasana di ruangan itu mendadak penuh dengan rasa canggung. Bahkan dengan banyak hidangan di sana. Manna, dengan senyum yang tak kalah hangat, maju selangkah.
"Aku Manna, ayahnya Manaf. Kami datang untuk melihat cucu-cucu kami dan... juga menemuimu." ucap Manna ramah, memperkenalkan dirinya.
Mahreeen berdiri kikuk, tak tahu harus berkata apa. Ini adalah pertemuan pertama dengan orang tua Manaf, dan rasanya semua terjadi begitu cepat.
"Saya... saya terkejut. Saya tidak tahu kalian akan datang." ucap Mahreeen dengan suara rendah.
"Kami juga tidak menyangka akan bertemu denganmu dan membawa mereka ke sini. Kami pikir hanya akan menemui Rasya dan Chana." ucap Malika tertawa kecil.
Chana yang sedari tadi sibuk bermain, tiba-tiba memotong pembicaraan mereka dengan polosnya.
"Ibu, Oma dan Opa yang bawa aku dan Kakak ke sini! Mereka sangat baik!" ucap Chana ceria.
Rasya mengangguk, menambahkan.
"Oma juga membawakan cokelat untuk kami!" ucap Rasya antusias.
"Terima kasih-" terpotong ucapan Mahreeen.
"Panggil kami Mama dan Papa, jangan ucapkan terima kasih. Karena kamu akan menikah dengan Manaf, dan mereka dalah cucuku mulai saat ini," pinta Malika.
"Benar apa yang di katakan istriku," ucap Manna.
Mahreeen tersenyum kecil, perlahan merasakan suasana mencair. Dia mempersilakan Manna dan Malika untuk duduk di sofa yang ada di ruangan itu. Percakapan ringan pun dimulai, saling memperkenalkan diri dan berbicara tentang hal-hal sederhana. Namun di balik semua itu, ada rasa canggung yang tak bisa dihindari, terutama karena Mahreeen tahu hubungan rumit antara dirinya dengan Manaf dan Farisa.
Manaf duduk di kursi pesawat, melayangkan pandangannya ke jendela. Langit senja yang terbentang di luar terasa seperti refleksi dari perasaannya saat ini—gelap, namun masih ada seberkas cahaya yang tersisa di ujung horizon. Pikirannya tak bisa tenang sejak video call terakhir dengan Mahreeen. Dia masih terbayang sosok kedua orang tuanya yang tiba-tiba muncul di layar, berdiri bersama Rasya dan Chana di ruang rawat Hanin. Hatinya berdebar-debar, perasaan gundah mulai menguasai dirinya.
Bagaimana mereka bisa sampai di sana? Apa yang akan mereka pikirkan setelah bertemu dengan Mahreeen dan anak-anak? Batin Manaf.
Sementara pikirannya terus berputar, Manaf tak bisa menyembunyikan kekhawatirannya. Dia mengusap wajahnya dengan kedua tangan, berusaha meredakan gejolak hatinya. Tiba-tiba, memori masa lalunya melintas—kenangan tentang pernikahan kontraknya dengan Farisa, pengkhianatan yang dia terima dari Queen, dan sekarang, hubungan rumit yang dia jalani dengan Mahreeen. Beban itu seolah menggulungnya seperti ombak yang tak henti-hentinya menghantam.
"Apa aku bisa menyelesaikan ini semua dengan baik?* tanya sendiri Manaf yang mendesah pelan.
Namun, di balik rasa khawatirnya, ada satu hal yang membuatnya tetap tegar—Mahreeen. Wanita itu selalu ada untuknya, dengan caranya yang sederhana namun penuh perhatian. Saat ini, ia tak bisa membayangkan hidupnya tanpa Mahreeen dan kedua anak-anaknya. Perasaan itu begitu kuat, hingga dia tak sabar untuk segera sampai dan memastikan semuanya baik-baik saja.
Pesawat mulai mendarat, dan Manaf merasakan getaran kecil di lantai pesawat. Dia meremas gagang kursinya, mencoba menguatkan diri untuk menghadapi apa pun yang menantinya. Hatinya masih berkecamuk, namun ada keteguhan yang dia simpan dalam diam. Dia tahu bahwa apa pun yang terjadi, dia harus melindungi Mahreeen dan memastikan masa depannya bersama mereka.
***
Kembali ke ruang rawat Hanin, percakapan antara Mahreeen, Manna, dan Malika mulai lebih mendalam. Mereka saling berbagi cerita, terutama tentang Rasya dan Chana yang begitu disayangi oleh keluarga Omar. Mahreeen terkejut melihat betapa hangatnya sambutan kedua orang tua Manaf, sesuatu yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.
"Manaf sering bercerita tentangmu, Mahreeen. Dia tampaknya sangat menghargaimu." jelas Manna dengan nada serius.
Mahreeen tersenyum malu, merasa tak enak hati dengan pujian itu. Namun, sebelum ia sempat menjawab, Malika menambahkan.
"Kami tahu situasinya tidak mudah. Kami juga baru tahu tentang kondisi Manaf beberapa waktu yang lalu. Tapi, kami bisa melihat dari cara dia bicara tentangmu... kamu adalah orang yang sangat berarti baginya." ucap Malika dengan suara lembut.
Mahreeen terdiam sejenak, mencerna kata-kata Malika. Dia tak tahu harus menjawab apa, tapi di dalam hatinya, dia merasa sedikit lega mendengar hal itu.
"Manaf adalah orang yang baik... dia selalu ada untuk saya dan anak-anak." ucap Mahreeen perlahan.
Malika tersenyum lembut, lalu menatap Mahreeen dengan tatapan penuh arti.
"Kami hanya berharap kamu bisa bahagia, Mahreeen. Apa pun yang terjadi, kami akan mendukungmu." ucap Malika dengan nada serius.
Mahreeen merasa terharu mendengar itu. Dia tak menyangka akan mendapatkan dukungan dari keluarga Manaf, terutama dari kedua orang tuanya. Namun, di balik perasaan hangat itu, ada kecemasan yang menyelimuti dirinya. Dia tahu bahwa perjalanan ke depan tidak akan mudah, terutama dengan keberadaan Farisa dan perjanjian yang masih mengikat antara Manaf dan istrinya.
***
Di penghujung malam itu, ketika percakapan mulai menurun dan suasana semakin tenang, pintu ruang rawat terbuka. Manaf, yang baru saja tiba dari perjalanannya, berdiri di ambang pintu dengan wajah penuh kelegaan. Melihat Mahreeen, anak-anak, dan kedua orang tuanya di ruangan itu, dia merasa tenang. Namun, ada perasaan campur aduk yang tak bisa dia abaikan.
"Aku sampai juga." ucap Manaf dengan nada tenang.
Mahreeen tersenyum, sementara Manna dan Malika menyambut kedatangan anak mereka dengan pelukan hangat.
"Kami sudah berbicara banyak dengan Mahreeen. Dia wanita yang luar biasa." jelas Manna menepuk bahu Manaf.
Manaf menatap Mahreeen dengan penuh perasaan, lalu beralih ke kedua orang tuanya.
"Terima kasih sudah datang. Aku tahu ini tidak mudah bagi kalian." ucap Manaf dengan nada serius.
"Kami di sini untukmu, Manaf. Dan juga untuk Mahreeen. Bahkan mereka sangat lucu," ucap Malika tersenyum lembut.
Manaf hanya bisa tersenyum tipis. Di balik kehangatan yang dia rasakan, ada kecemasan yang masih menggelayut di dalam hatinya. Namun, dia tahu bahwa bersama Mahreeen dan dukungan dari keluarganya, dia akan mampu menghadapi apa yang akan terjadi di depan.
...****************...
Hi semuanya, like dan komentarnya ya di tunggu.
bentar lagi up ya di tunggu
Yang suka boleh lanjut dan kasih bintang ⭐⭐⭐⭐⭐
Dan yang ga suka boleh skip aja ya.
Terima kasih para raiders ku.