HARAP BIJAK MEMILIH BACAAN, PASTIKAN UDAH PUNYA KTP YA BUND😙
Bosan dengan pertanyaan "Kapan nikah?" dan tuntutan keluarga perihal pasangan hidup lantaran usianya kian dewasa, Kanaya rela membayar seorang pria untuk dikenalkan sebagai kekasihnya di hari perkawinan Khaira, sang adik. Salahnya, Kanaya sebodoh itu dan tidak mencaritahu lebih dulu siapa pria yang ia sewa. Terjebak dalam permainan yang ia ciptakan sendiri, hancur dan justru terikat salam hal yang sejak dahulu ia hindari.
"Lupakan, tidak akan terjadi apa-apa ... toh kita cuma melakukannya sekali bukan?" Sorot tajam menatap getir pria yang kini duduk di tepi ranjang.
"Baiklah jika itu maumu, anggap saja ini bagian dari pekerjaanku ... tapi perlu kau ingat, Naya, jika sampai kau hamil bisa dipastikan itu anakku." Senyum tipis itu terbit, seakan tak ada beban dan hal segenting itu bukan masalah.
Ig : desh_puspita
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 7
“Auh berisiknya ya Tuhan,” keluh Kanaya begitu masuk ke tempat ini, senakal-nakalnya dia jujur saja belum pernah menginjakkan kaki walau hanya sebatas pintunya.
“Kau baik-baik saja?” tanya Ibra sedikit menunduk karena tubuh Kanaya memang begitu kecil jika dibandingkan dengan dirinya.
“Hm.”
Rasanya ingin dia berlari dari tempat ini, akan tetapibetapa malunya dia jika harus menjilat ludah sendiri. Bukankah di jalan dia seyakin itu bahkan benar-benar memiliki keinginan untuk mencoba melupakan sejenak masalah dengan memilih tempat seperti ini sebagai tempat pelarian.
Kanaya tak ingin terlihat wanita bodoh yang baru keluar kendang,dia hidup di ibu kota bahkan sejak masih dalam kandungan, seharusnya hal semacam ini dia biasa saja, pikirnya.
“Mual, sialan … kenapa lampunya persis hiasan kamar Lorenza.”
Kanaya mengutuk tempat itu, sungguh dia tak kuasa menahan sakitnya. Matanya seakan berkunang-kunang dan jiwanya ingin terbaring seketika. Nampaknya jawaban yang memberikan kepercayaan pada Ibra adalah kesalahannya. Andai saja dia dapat berpikir jernih tadi, mungkin mie ayam depan perumahan enak, pikir Kanaya menyesali keadaan.
“Kau terlihat tidak nyaman, yakin masih mau di sini, Kanaya?” Ibra menatap Kanaya ragu, gelagatnya dapat menjelaskan jika wanita ini masuk angin, pikirnya.
“Sure, santai saja! Aku sudah biasa di tempat seperti ini.”
Menatap tajam Ibra yang tengah menatapnya lekat, Kanaya dengan mental sok kuat menegak satu gelas minuman yang seharusnya menjadi milik Ibra. Hebat sekali, pikir Ibra sejenak menatap kagum wanita di depannya.
“Baiklah, aku percaya kau tidak membual.”
Menikmati pemandangan di depannya, Ibra benar-benar menikmati peran malam ini. Mana kala wanita itu mulai kehilangan kadar warasnya, racauannya membuat Ibra penasaran. Sempat yakin beberapa menit lalu, Ibra kini merubah keyakinannya dan merasa jika dirinya salah besar.
Faktanya, yang ia lihat kini justru Kanaya yang persis ayam sakit. Belum lagi air mata yang tiba-tiba mengalir dan Ibra hapus dengan selembut itu. Sialan, menjadi pria bayaran ternyata tak semudah dibayangkan. Sempat berpikir, bayaran yang ia terima hanya untuk kencan dan menikmati waktu bersama, dan jika sudah begini sama halnya Ibra menjadi pengasuh dadakan untuk Kanaya.
“Heeeiiih, mu-na-fiiiiik!!” racaunya menelurusi wajah Ibra dengan jemari lentiknya, sejak tadi Ibra hanya berusaha agar wanita ini tak menggila di tempat ini.
“Kamu nggak sayang Khaira kan, Mas?” Kanaya tertawa kemudian menangis lagi, Ibra menghela napas kasar, nampaknya wanita ini patah hati berat dan sudah tidak dapat diselamatkan.
“Paling bulan depan juga kamu ceraikan dia … jangan begitu ya, papanya sangat baik padaku.”
“Gibraaaan … I Miss You, kenapa kamu nggak lamar aku saja waktu itu? Hm?”
Jemarinya kini menempel di bibir Ibra, ingin sekali ia gigit demi menyadarkan wanita yang kini sudah setengah gila. Tak pernah sekalipun dia berhadapan dengan seseorang yang melampiaskan keluh kesah terhadapnya, dan kini Ibra paham mengapa Haikal sekesal itu jika dia mabuk-mabukkan.
“Ah iya aku lupa, semuanya memang tidak pernah memihakku bukan? Bahkan papa meninggalkanku tanpa izin … apa kamu juga akan melakukan hal yang sama?” Kanaya anggap siapa Ibra sebenarnya, sorot mata penuh harap dan jiwanya seakan bergejolak.
“Ck, menderita sekali sepertinya hidupmu.” Ibra menepis pelan jemari Kanaya, jika dia perhatikan lekat-lekat, kesedihan Kanaya benar-benar nyata, dan batin Ibra seketika hancur dibuatnya.
“Hahahah memang … pekerjaan, temanpun badjingan semua, huft hidup itu melelahkan.”
“Wuueek.”
“Aeeeuh shhitt!” Ibra mengibas-ngibaskan jemarinya, niat hati mengusap air mata namun justru tangannya tertimpa sial. Kendati wanita itu sempat membuatnya panik, Ibra berusaha sebisa mungkin agar Kanaya tidak terjatuh. Beruntung saja hanya punggung tangan dan tidak mengotori pakaiannya.
Flashback Off
-
.
.
.
“Aaaarrrrggghhh boddohnya Naya!!!”
Kanaya menatap bayangannya di cermin lebar itu, mencoba menutup bercak kemerahan itu dengan skill make-upnya. Meratapi kebodohan yang benar-benar diluar batasnya, apa yang baru saja dia lakukan? Tidur bersama pria yang baru ia kenal kemaren pagi dan lebih bodohnya lagi, Kanaya rela merogoh kocek demi bisa bersama pria itu.
“Aku yang bayar kenapa aku yang dipakek?”
Ingin marah? Tentu saja, sekarang apa yang ia harus lakukan? Lapor polisi? Polisi mana yang akan percaya jika dia korban pelecehan. Toh nyata-nyata dia yang merelakan bahkan memintanya sendiri dari Ibra.
Kanaya benar-benar sekacau itu, hendak menangis namun rasanya akan percuma. Untuk saat ini yang ia bisa hanya berusaha melupakan kejadian paling memalukan yang membuatnya merasa lebih baik ditelan bumi. Mabuk dan meminta seorang pria menemaninya, oh no Kanaya!! Lebih rendah dari wanita malam rasanya.
“Aah sialan, badanku sakit semua.”
Jujur saja dia lelah, kepalanya terasa berat sebelah dan tak bisa dia bayangkan segila apa mereka melakukannya hingga tubuh Kanaya sakit semua.
“Aku harus bagaimana?” Kanaya menatap sendu bayangan dirinya di cermin, wajah sembab dan bibirnya terlihat bengkak, sudah tentu akibat pagutan yang sedikit gila dari Ibra semalam.
“Bisa dipastikan aku sariawan,” tuturnya pasrah menatap hina bibir ranumnya, sungguh tak berharga. Selama ini ia jaga begitu baik, justru hancur secepat itu hanya karena batinnya terasa patah.
Kanaya kembali mengacak rambutnya yang sejak tadi sudah acak-acakan. Sejak tadi Abygail menghubunginya namun Kanaya sama sekali tak memiliki keberanian untuk mengangkatnya. Matilah dia, bagaimana jika Abygail membakarnya hidup-hidup jika mengetahui adiknya sengaja menghancurkan diri sendiri.
“Jangan hubungi aku dulu astaga.” Kanaya meraih ponselnya saja tak kuasa, apalagi mengizinkan kakaknya bicara.
Akan tetapi, dering ponsel itu tak juga berhenti. Kanaya heran sejak kapan Abygail bisa sesabar itu. Biasanya sang kakak akan berhenti jika memang dirinya enggan dihubungi.
“Ck, mau apa sih … Hallo!! Nanti aku pulang, Mas!! Nggak usah dicari.” Emosi masih menguasai batinnya, Kanaya seakan lupa jika seharusnya dia bersikap sopan pada kakaknya.
“Jadi benar kau belum pulang ternyata.”
Tunggu, suara itu bukan suara Abygail ataupun Adrian. Kanaya memastikan siapa yang kini menghubunginya. Matanya membulat sempurna bersamaan dengan mulutnya yang menganga. Bisa dipastikan ini adalah nomor Ibra, Kanaya diam sesaat lantaran bingung harus berbuat apa.
“M-mau apa lagi? Kau ingin meminta biaya tambahan?” tanya Kanaya ragu, pertanyaan polos yang membuat Kanaya semakin terlihat bodoh dari sudut pandang Ibra.
“Tas dan sebelah sepatumu masih di mobilku, dimana kau sekarang?” tanya Ibra baik-baik, sesantai itu dan seakan tidak melakukan kesalahan apapun. Wajar saja, toh memang pekerjaannya begini, pikir Kanaya.
“Ck, tinggalkan saja … nanti aku ambil sendiri.”
Kanaya tak pernah berpikir untuk mau bertemu dengan pria itu sedikitpun. Sama sekali dia tidak mau. Meski dia berpikir keluar sama halnya bunuh diri, tapi balik lagi ke hotel yang menjadi saksi noda hitam dalam hidupnya itu tidak begitu sulit, pikirnya.
“Yakin? Apa tidak sebaiknya aku antarkan saja, Naya?”
“Tidak perlu!! … kau pergilah.” Suaranya bergetar, kenapa dirinya justru seakan korban pelecehan sungguhan, suara Ibra masih terngiang di kepala, menghantui setiap deru napasnya. Kanaya memutuskan sambungan telepon tanpa aba-aba.